Takut Ditangkap, Netanyahu Ogah Singgah di Eropa dalam Penerbangan ke AS
Pemerintah Israel takut Netanyahu ditangkap jika singgah di Eropa dalam penerbangan ke AS, terkait isu surat perintah penangkapannya dari ICC.
Penulis: Yunita Rahmayanti
Editor: Nanda Lusiana Saputri
TRIBUNNEWS.COM - Perusahaan Penyiaran Israel mengungkapkan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, memutuskan untuk tidak singgah di Eropa selama perjalanannya ke Amerika Serikat (AS) yang rencananya dilakukan pada 24 Juli 2024.
Keluarga sandera yang masih ditawan di Jalur Gaza akan bergabung dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dalam penerbangan perdana Air Force One versi Israel menuju Washington.
Kantor Netanyahu mempelajari berbagai opsi untuk singgah di Eropa.
Hal ini karena takut akan surat perintah penangkapan yang disiapkan oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) terhadapnya.
Bahkan, kantor Netanyahu mempertimbangkan untuk mengadakan pertemuan politik di Republik Ceko atau Hongaria, negara yang dianggap bersahabat dengan Israel.
Namun, pada akhirnya, Netanyahu memilih untuk tidak berhenti sama sekali dan melakukan penerbangan langsung ke AS, seperti diberitakan El Balad.
Israeli Surati 25 Menteri Luar Negeri untuk Batalkan Surat Perintah ICC
Sebelumnya, surat kabar Israel, Walla, memberitakan Menteri Luar Negeri Israel, Yisrael Katz, mengirim surat kepada 25 menteri luar negeri dari seluruh dunia untuk bergabung dengan Inggris dan mengajukan pendapat hukum ke Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag terhadap permintaan tersebut.
Jaksa Agung ICC, Karim Khan, mengajukan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant.
“Kami percaya jika negara Anda mengajukan pendapat hukum pada tanggal 12 Juli 2024 yang menegaskan Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag tidak memiliki yurisdiksi atas warga negara Israel, atau menyatakan keberatan lain yang Anda miliki mengenai proses yang sedang berlangsung (terkait perang Israel di Gaza), hal ini akan konsisten dengan komitmen Anda terhadap penerapan aturan hukum yang tepat di ICC," bunyi isi surat itu.
“Israel akan sangat menghargai bantuan dan dukungan mendesak Anda, dan kami meminta Anda mengarahkan penasihat hukum Anda untuk melakukan konsultasi mengenai masalah ini dengan para ahli hukum kami," lanjutnya.
Baca juga: Pasca Dilantik, PM Baru Inggris Keir Starmer Janji Bakal Dukung Rencana ICC Tangkap Netanyahu Cs
Pejabat senior Kementerian Luar Negeri Israel mengatakan jika negara-negara ini atau bahkan beberapa di antaranya, mengirimkan pendapat hukum tersebut ke pengadilan di Den Haag, para hakim mungkin yakin tidak ada alasan untuk menyetujui permintaan Jaksa ICC Karim Khan.
Jaksa ICC Ajukan Surat Perintah Penangkapan Pejabat Israel dan Hamas
Sebelumnya pada 20 Mei 2024, Jaksa ICC Karim Khan mengajukan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu; Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant; Pemimpin Hamas di Jalur Gaza, Yahya Sinwar; Komandan Brigade Al-Qassam, Muhammad Deif; dan Kepala Biro Politik Hamas di Qatar, Ismail Haniyeh.
Mereka dicurigai atas tuduhan melakukan kejahatan perang dan kemanusiaan dengan latar belakang Operasi Banjir Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023 dan agresi Israel di Jalur Gaza.
ICC juga mengeluarkan surat tersebut terhadap Netanyahu dan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan termasuk menyebabkan kelaparan, pembunuhan berencana, dan pemusnahan.
Dokumen itu telah diajukan oleh Jaksa Karim Khan kepada hakim ICC beberapa bulan lalu dan belum mendapat jawaban.
ICC menegaskan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel adalah bagian dari serangan yang meluas dan sistematis terhadap warga Palestina, seperti diberitakan Arab48.
Jika hakim ICC menyetujui usulan surat perintah tersebut, maka negara-negara yang mengakui yuridiksi ICC dapat melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang tercantum dalam surat itu ketika berada di negara mereka.
Jumlah Korban
Saat Israel masih melancarkan agresinya di Jalur Gaza, jumlah kematian warga Palestina meningkat menjadi lebih dari 38.153 jiwa dan 87.828 lainnya terluka sejak Sabtu (7/10/2023) hingga Minggu (7/7/2024), dan 1.147 kematian di wilayah Israel, seperti dilaporkan Xinhua.
Sebelumnya, Israel mulai membombardir Jalur Gaza setelah gerakan perlawanan Palestina, Hamas, meluncurkan Operasi Banjir Al-Aqsa pada Sabtu (7/10/2023) untuk melawan pendudukan Israel dan kekerasan di Al-Aqsa sejak tahun 1948.
Israel memperkirakan kurang lebih ada 120 sandera yang hidup atau tewas dan masih ditahan Hamas di Jalur Gaza, setelah pertukaran 105 sandera dengan 240 tahanan Palestina pada akhir November 2023.
Sementara itu, lebih dari 21.000 warga Palestina yang masih berada di penjara-penjara Israel, menurut laporanYedioth Ahronoth pada awal Juli 2024.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Berita lain terkait Konflik Palestina vs Israel