Pernyataan Ganjil Joe Biden: Akui Jadi Zionis, tapi Mengklaim Paling Banyak Bantu Palestina
Preside AS Joe Biden mengakui sebagai Zionis, tetapi dia juga mengaku jadi orang yang paling banyak membantu Palestina.
Penulis: Febri Prasetyo
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM – Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengeluarkan pernyataan yang bisa dibilang agak ganjil perihal konflik Israel-Palestina.
Di satu sisi, Biden mengaku bahwa dia adalah seorang Zionis atau pendukung Zionisme alias gerakan pendirian negara bangsa Yahudi.
Namun, di sisi lain, politikus Partai Demokrat itu mengklaim dia telah “melakukan lebih banyak bagi masyarakat Palestina dibandingkan dengan siapa pun”.
Hal itu disampaikan Biden saat dia diwawancarai dalam acara 360 with Speedy. Hasil wawancara itu diterbitkan hari Senin lalu, (15/7/2024).
Dalam wawancara tersebut Biden ditanya apakah dia seorang Zionis. Dia pun mengiyakannya.
“Anda tidak perlu menjadi seorang Yahudi agar menjadi Zionis,” kata Biden dikutip dari The New Arab.
“Entah apakah Israel jadi tempat aman bagi orang Yahudi karena sejarah tentang bagaimana mereka dipersekusi.”
Biden sudah berulang kali mengaku sebagai Zionis. Dia juga menegaskan dukungannya kepada Israel, terutama ketika menemui Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada bulan November 2023.
Tatkala ditanya tentang dukungannya kepada Israel, dia berujar semua Yahudi di seluruh dunia akan “berisiko” jika tidak ada negara Israel. Biden menyebut Israel harus menjadi negara yang kuat.
Biden kemudian disinggung tentang alasan AS menyetujui tambahan bantuan perang senilai $26 miliar kepada Israel.
Dia mengatakan yang disetujui adalah senjata “pertahanan”, bukan senjata untuk menyerang.
Baca juga: Serangan Udara Israel di Zona Kemanusiaan Gaza Buat Perundingan Gencatan Senjata Terhenti Lagi
“Saya sudah menjelaskan bahwa mereka tidak bisa menggunakan senjata yang kita berikan kepada mereka untuk digunakan di area sipil,” ujar Biden.
Adapun AS saat ini menjadi penyedia senjata terbanyak bagi Israel. AS menggelontorkan bantuan militer sebesar $3,8 miliar per tahun kepada Israel.
Pada bulan Mei lalu Biden mengatakan Israel barangkali telah melanggar hukum internasional sehubungan dengan penggunaan senjata AS.
Sementara itu, kelompok HAM sudah menyebutkan puluhan serangan Israel yang menjadi bukti bahwa negara Zionis itu melanggar hukum perang.
Serangan itu menyasar konvoi kendaraan pengangkut bantuan, tenaga medis, wartawan, sekolah, dan pusat pengungsian.
Dalam wawancara itu Biden mengklaim bahwa tak seorang pun yang lebih banyak membantu Palestina daripada dia.
“Saya adalah orang paling banyak membantu masyarakat Palestina daripada siapa pun,” ucap suksesor Donald Trump itu.
Dia juga mengaku “sangat mendukung rakyat Palestina”.
“Saya adalah orang yang membuka semua aset. Saya adalah orang yang mematikan bahwa saya meminta Mesir untuk membuka perbatasan agar bantuan masuk, obat-obatan dan makanan.”
Di samping itu, dia juga mengaku sebagai orang yang bisa menyatukan semua negara-negara Arab agar setuju untuk membantu warga Palestina dengan makanan dan tempat berlindung.
Mesir telah sepakat dengan AS untuk mengizinkan aliran bantuan kemanusiaan ke Gaza untuk sementara setelah Israel menguasai perbatasan Rafah.
Baca juga: 5 Kader NU yang Temui Isaac Herzog Dinilai Tak Paham Situasi Israel-Palestina, Terjebak Propaganda
Akan tetapi, kepungan Israel membuat hanya ada jauh lebih sedikit makanan yang memasuki Gaza dibandingkan dengan sebelum perang meletus.
AS sudah membuat dermaga apung senilai $320 juta sebagai rute pengiriman bantuan. Namun, dermaga itu terbukti gagal dan hampir tak berguna bagi warga Palestina.
Di sisi lain, AS masih terus menghentikan pendanaan untuk UNRWA, badan PBB yang menangani pengungsi Palestina dan menyalurkan bantuan kemanusiaan.
Al Jazeera mengabarkan sebanyak 16 negara sempat menghentikan pendanaan untuk UNRWA pada bulan Januari lalu setelah Israel menuding badan itu terlibat dalam serangan Hamas. Namun, saat ini 14 di antaranya sudah kembali mendanai.
AS menjadi donor terbesar UNRWA, tetapi parlemen AS melarang pengiriman dana apa pun kepada badan itu hingga 25 Maret 2025.
Sejarah Zionisme
Menurut Encyclopedia Britannica, Zionisme adalah gerakan nasionalis Yahudi yang bertujuan mendirikan dan mendukung negara bangsa Yahudi di Palestina.
Zionisme berasal dari kata Zion, yaitu nama salah satu bukit di Yerusalem kuno.
Awalnya, pada abad ke-16 dan ke-17 ada sejumlah "mesiah" yang mengimbau orang Yahudi untuk "kembali" ke Palestina.
Meski demikian, ada pula gerakan Yahudi yang mendukung orang Yahudi untuk berasimilasi saja dengan kebudayaan sekuler Barat. Gerakan itu dikenal dengan nama Haskala.
Yahudi di Eropa Timur memilih untuk tidak mengasimilasi diri. Mereka kemudian membentuk Hovevei Ziyyon atau "Kekasih Zion" untuk menorong adanya pemukiman petani dan perajin Yahudi di Palestina.
Seorang jurnalis Austria bernama Theodor Herzl pada akhir abad ke-19 menggagas politik Zionisme.
Pada 1897, dia menggelar Kongres Zionis pertama di Swiss yang menghasilkan pernyataan, "Zionisme bertujuan mendirikan rumah bagi orang Yahudi di Palestina, diamankan dengan hukum publik".
Sebelum Perang Dunia I, Zionisme hanya mewakili sejumlah minoritas Yahudi, terutama dari Rusia.
Gerakan itu membuat propaganda melalui para orator dan pamflet serta membuat surat kabarnya sendiri.
Kegagalan Revolusi Rusia 1905 dan gelombang pogrom (pembunuhan terorganisir) serta penindasan membuat banyak pemuda Yahudi Rusia pindah ke Palestina.
Setelah Perang Dunia I, dua tokoh Zionis bernama Chaim Weizmann dan Nahum Sokolow berperang penting dalam mendapatkan Deklarasi Balfour dari Inggris (1917). Inggris berjanji mendukung pendirian negara Yahudi di Palestina.
Orang-orang Yahudi mulai mendirikan pemukiman di desa dan kota di Palestina. Pada 1933, jumlah penduduk Yahudi di Palestina mencapai 238.000 jiwa.
Aliran imigrasi orang Yahudi ke Palestina makin deras setelah kemunculan Adolf Hitler di Eropa.
Sementara itu, orang-orang Arab mulai khawatir Palestina kelak bisa menjadi negara Yahudi. Mereka menolak Zionisme.
Agar tetap mendapat dukungan dari orang Arab dalam Perang Dunia II, Inggris kemudian membatasi imigrasi orang Yahudi ke Palestina tahun 1939.
Pembatasan itu ditolak oleh kelompok bawah tanah Yahudi. Mereka melakukan tindakan terorisme dan pembunuhan terhadap orang Inggris serta mengorganisir imigrasi ilegal Yahudi ke Palestina.
Pada 1947, PBB mengusulkan pembagian Palestina menjadi dua, yakni negara orang Arab dan negara orang Yahudi.
Negara Israel kemudian didirikan pada14 Mei 1948. Namun, negara-negara Arab tidak menerimanya sehingga melakukan invasi, tetapi dikalahkan Israel.
Ketika perjanjian gencatan senjata ditandatangani, Israel menguasai wilayah lebih besar daripada yang seharusnya menurut rencana PBB.
Sekitar 800.000 orang Arab melarikan diri atau terusir dari area yang kemudian menjadi Israel.
(Tribunnews/Febri)