Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Fokus AS Bukan Lagi Indo-Pasifik, Kapal-Kapal Perang ke Timur Tengah untuk Show of Force ke Iran

Manuver AS ini upaya menghalangi Iran dan proksinya melakukan serangan yang dapat berkembang menjadi perang habis-habisan dengan Israel.

Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
zoom-in Fokus AS Bukan Lagi Indo-Pasifik, Kapal-Kapal Perang ke Timur Tengah untuk Show of Force ke Iran
Angkatan Laut AS Janae Chambers/Handout – Anadolu Agency
Pemandangan udara kapal induk Angkatan Laut Amerika Serikat USS Gerald R. Ford dan USS Dwight D. Eisenhower bersama-sama di Mediterania timur pada tanggal 3 November 2023. 

Fokus AS Bukan Lagi Indo-Pasifik, Kerahkan Kekuatan Angkatan Laut ke Timur Tengah untuk Show of Force ke Iran

TRIBUNNEWS.COM - Situs web Amerika Serikat (AS), Axios melaporkan kalau pemerintah AS telah menempatkan sekitar 18 kapal perang termasuk dua kapal induk di dan sekitar Timur Tengah.

Manuver AS ini, kata laporan tersebut, sebagai upaya menghalangi Iran dan proksinya melakukan serangan yang dapat berkembang menjadi perang habis-habisan dengan Israel.

AS memang sudah menyatakan akan mati-matian membela Israel jika Iran benar-benar menyerang sebagai pembalasan pemboman di Teheran yang menewaskan pemimpin Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh, 31 Juli 2024 lalu.

Baca juga: Penerbangan ke-500 Tiba, Israel Terima 50 Ribu Ton Senjata dari AS

Gambaran Besar

Dalam ulasan di Axios yang ditulis Colin Demarest tersebut, disebutkan kalau tahun ini merupakan tahun yang menegangkan bagi Angkatan Laut AS.

Beberapa kapal tempur yang beroperasi di Laut Merah dan Teluk Aden telah memerangi kelompok perlawanan Houthi Yaman yang bersekutu dengan Iran selama berbulan-bulan.

"Kini, lebih banyak aset Angkatan Laut dan Angkatan Udara AS didatangkan sebagai bagian dari aksi 'Show of Force' (unjuk kekuatan) terhadap Houthi maupun Iran," tulis ulasan tersebut dikutip, Kamis (29/8/2024).

BERITA TERKAIT

Apa saja kekuatan perang yang dikerahkan AS ke kawasan Timur Tengah?

Selain dua kelompok penyerang kapal induk yang sekarang beroperasi di Timur Tengah, skuadron Angkatan Udara F-22 Raptor telah tiba di wilayah tersebut dan USS Georgia — kapal selam berpeluru kendali — mengintai di dekatnya.

"Secara sengaja mengungkapkan lokasi atau tujuan operasi kapal selam seperti USS Georgia bertenaga nuklir adalah langkah yang langka. Ini memang disengaja untuk unjuk kekuatan.

"Secara keseluruhan, "ada lebih dari 500 rudal Tomahawk yang siap menyerang Iran dan lebih dari 100 pesawat siap membela sekutu untuk merespons," kata Bryan Clark, direktur Pusat Konsep dan Teknologi Pertahanan Hudson Institute.

Amerika Serikat memerintahkan kapal induk USS Eisenhower kembali ke Laut Merah untuk kembali menghadapi militer Yaman setelah kapal induk tersebut sempat ditarik dari Laut Merah menuju Mediterania, April lalu.
Amerika Serikat memerintahkan kapal induk USS Eisenhower kembali ke Laut Merah untuk kembali menghadapi militer Yaman setelah kapal induk tersebut sempat ditarik dari Laut Merah menuju Mediterania, April lalu. (American Photo Archive)

Fokus AS Berubah

Semua kekuatan senjata yang terkonsentrasi di Timur Tengah yang lebih luas ini menggagalkan prioritas lama Departemen Pertahanan AS yaitu Indo-Pasifik.

"Peningkatan kekuatan akan memengaruhi kemampuan Angkatan Laut untuk mempertahankan kehadiran yang kuat atau kapasitas respons di Pasifik, karena banyak dari kapal-kapal ini akan berakhir dalam periode pemeliharaan tahun depan," kata Clark kepada Axios.

Juru bicara Pentagon Mayjen Pat Ryder menepiskan kekhawatiran melemahnya kekuatan AS di Indo-Pasifik dengan mengatakan kalau Departemen Pertahanan AS "bisa berjalan dan mengunyah permen karet pada saat yang sama."

Hal yang menjadi sorotan utama adalah, manuver AS ini dilakukan setelah Hizbullah meluncurkan serangan rudal dan pesawat nirawak yang menargetkan Israel pada hari Minggu kemarin.

Serangan ini diklaim Israel telah sebagian besar diredam melalui serangan pendahuluan, namun Hizbullah membantahnya dan mengatakan serangan mereka mengenai sasaran secara telak namun tidak diakui entitas pendudukan.

Selain dari Hizbullah, pembalasan lebih lanjut atas pembunuhan dan serangan Israel baru-baru ini juga digadang-gadang dari Iran dan kelompok Houthi Yaman.

Milisi Perlawanan Irak juga menyatakan ikut serta dalam serangan terkoordinasi apa yang disebut sebagai "Poros Perlawanan".

Baca juga: Perlawanan Irak Tembaki Pembangkit Listrik Israel di Haifa, Hizbullah Lumpuhkan Radar IDF di Glilot

Serangan Iran Dipercepat?

Adapun Israel juga sudah melakukan langkah-langkah militer peredaman dengan membombardir lokasi yang mereka anggap sebagai simpul-simpul Poros Perlawanan.

Israel dilaporkan melakukan serangan udara ke daerah pinggiran provinsi Homs dan Hama di pusat Suriah, Sabtu (24/8/2024).

Markas besar brigade ke-47 tentara Suriah, fakultas farmasi dan pusat penelitian di pinggiran Hama, serta markas besar batalyon pertahanan udara tentara Suriah di pinggiran Homs menjadi sasaran serangan angkatan udara Tentara Pendudukan Israel (IDF), tulis laporan MNA.

Al-Mayadeen melaporkan bahwa pertahanan udara tentara Suriah melakukan serangan balik dengan rudal agresif di sekitar kota Hama.

Laporan tersebut menambahkan bahwa ledakan besar terdengar di pinggiran kota Homs dan Hama.

Agresi Israel ini mengakibatkan terlukanya 7 warga sipil dan kerusakan material, SANA melaporkan.

Lokasi serangan udara Israel ke Suriah
Lokasi serangan udara Israel ke daerah pinggiran provinsi Homs dan Hama di pusat Suriah, Sabtu (24/8/2024). Markas besar brigade ke-47 tentara Suriah, fakultas farmasi dan pusat penelitian di pinggiran Hama, serta markas besar batalyon pertahanan udara tentara Suriah di pinggiran Homs menjadi sasaran serangan angkatan udara Tentara Pendudukan Israel (IDF), tulis laporan MNA.

Mengapa Israel Terus Melancarkan Serangan di Suriah?

Serangan ini menjadi lanjutan dari bombardemen udara yang dilakukan Israel, termasuk dua serangan terbesar dan paling mematikan terhadap Suriah pada awal April silam.

Saat itu, jet tempur Israel menembakkan rudal ke konsulat Iran di ibu kota Suriah, Damaskus yang menewaskan Mohammad Reza Zahedi, seorang jenderal komandan militer senior Iran.

Iran kemudian membalas dengan mengirimkan serangan langsung bersejarah yang melibatkan ratusan drone dan rudal dari jarak jauh yang menyasar pusat Israel di Tel Aviv.

Baca juga: Pakar Israel: Iron Dome Gagal Menghancurkan Satu Pun Rudal Iran

Mengapa Israel terus melancarkan serangan udara terhadap negara berdaulat dan apa yang akan terjadi selanjutnya?

Militer Israel telah menyerang Suriah selama lebih dari satu dekade, mengambil keuntungan dari kekacauan negara itu pasca perang saudara yang dimulai pada tahun 2011.

Perang sebagian besar telah berakhir, dan dukungan Iran dan Rusia selama bertahun-tahun terhadap pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad telah membuatnya berkuasa di sebagian besar negara.

Namun Suriah masih terpecah, dengan berbagai faksi menguasai berbagai bagian negara, yang memberi Israel kesempatan untuk melancarkan serangan udara.

Ketika pemerintah al-Assad yang disetujui Barat berhadapan dengan pasukan Kurdi yang didukung AS, pasukan oposisi, operasi militer Turki di utara, dan ISIL (ISIS), Israel sering menggunakan Dataran Tinggi Golan yang diduduki untuk melancarkan serangan terhadap Suriah dan Lebanon – sementara rezim Assad tidak dapat menghentikannya.

Serangan tersebut semakin intensif sejak 2017 – hampir menjadi serangan mingguan – untuk menargetkan meningkatnya kehadiran dan pengaruh Iran dan Hizbullah di Suriah.

Iran, Hizbullah Lebanon, dan Suriah bersekutu melawan Israel dan pendukung militer dan keuangan utamanya, Amerika Serikat, bersama dengan kelompok bersenjata dan politik di Irak dan Yaman dalam apa yang disebut “poros perlawanan”.

Serangan ke Suriah Penting Bagi Israel

Dari kaca mata Israel, serangan terhadap Suriah dianggap punya faktor penting untuk melemahkan kekuatan "Poros Perlawanan"

Terlepas dari serangan langsung di Teheran yang menewaskan pemimpin Polit Biro Hamas, Ismail Haniyeh pada 31 Agustus 2024 silam, Israel juga telah melancarkan dua serangan terbesar dan paling mematikan terhadap Suriah.

Faktor Hamas telah meningkatkan frekuensi dan intensitas serangan Israel secara signifikan sejak dimulainya perang brutal di Gaza, dengan secara bebas menargetkan Iran dan sekutunya, Hizbullah, di Suriah, terutama di sekitar ibu kota, Damaskus, tempat adanya kehadiran dua elemen Poros Perlawanan tersebut.

Serangan udara Israel yang menghancurkan gedung konsulat Iran di Damaskus, menewaskan tujuh anggota Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran, termasuk dua jenderal yang memimpin Pasukan Elite Quds di Suriah dan Lebanon .

Brigadir Jenderal Mohammad Reza Zahedi merupakan penghubung utama antara IRGC dan Hizbullah, yang telah beroperasi dengan para pemimpin Hizbullah seperti Hassan Nasrallah dan Imad Mughniyeh, yang dibunuh oleh Israel, selama beberapa dekade.

Ini adalah pembunuhan tingkat tertinggi sejak komandan Pasukan Quds Mayor Jenderal Qassem Soleimani dibunuh oleh AS di Irak pada Januari 2020.

Pukulan terhadap IRGC terjadi setelah kepentingannya berulang kali dipukul di Suriah, dengan serangan pada akhir Desember yang menewaskan Razi Mousavi, komandan tinggi Pasukan Quds lainnya di Suriah.

Beberapa hari sebelum serangan terhadap konsulat Iran, militer Israel telah melancarkan serangan besar-besaran di provinsi utara Suriah, Aleppo, yang menewaskan sedikitnya 40 orang, sebagian besar dari mereka adalah tentara.

Serangan tersebut tampaknya mengenai depot senjata, yang mengakibatkan serangkaian ledakan yang juga menewaskan enam pejuang Hizbullah.

Serangan paling telak, tidak disanggah atau diiyakan Israel, adalah serangan di Teheran yang menewaskan Haniyeh.

Iran menegaskan akan kembali membalas Israel atas serangan ini, namun lewat cara, metode, dan waktu pelaksanaan yang hingga kini masih misterius.

Serangan terbaru Israel ke Suriah diduga juga terkait upaya melemahkan kekuatan pembalasan Iran

Bakal Terus Ada Serangan Lanjutan Israel di Suriah

Serangan udara Israel yang meningkat terhadap Suriah diperkirakan akan terus berlanjut karena perang di Gaza – pendorong utama meningkatnya konflik di seluruh wilayah saat ini – belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir meskipun lebih dari 40.000 warga Palestina telah tewas dan mendapat kecaman internasional.

Pertahanan udara yang dikerahkan oleh militer Suriah berhasil menangkal dan mencegat beberapa serangan terhadap negara tersebut, tetapi gagal menghentikannya sepenuhnya.

Rusia mengutuk keras serangan udara Israel tetapi tidak melakukan tindakan apa pun terhadap serangan tersebut.

Aron Lund, seorang peneliti di lembaga pemikir Century International yang berbasis di AS, mengatakan serangan Israel yang lebih berani pada tingkat tertentu merupakan respons terhadap kemungkinan meningkatnya pengiriman senjata Iran ke Hizbullah melalui Suriah.

"Namun secara umum saya pikir hal ini mencerminkan Israel yang melepaskan diri dan mengerahkan lebih banyak upaya untuk melemahkan logistik Hizbullah dan Iran," katanya kepada Al Jazeera.

“Serangan terhadap konsulat Iran adalah bagian dari pola penargetan Israel yang lebih agresif.”

Perang Besar di Depan Mata, Kapan?

Pembalasan Teheran diyakini akan terjadi atas kematian Haniyeh, serangan terus-terusan Israel ke Suriah menjadi faktor percepatan pembalasan itu.

"Pun, Teheran berada di bawah tekanan untuk menanggapi (membalas) serangan terbaru Israel, tetapi ia berupaya menyeimbangkannya dengan keinginannya untuk menahan diri dari memperluas perang di Gaza  di seluruh wilayah," tulis ulasan Al Jazeera.

Lund mengatakan respon Iran bisa berupa serangan terhadap kapal yang berafiliasi dengan Israel atau serangan di wilayah Kurdi Irak, hingga serangan terhadap misi diplomatik Israel di luar negeri atau serangan lebih lanjut oleh poros perlawanan di wilayah Israel – belum lagi serangan langsung terhadap Israel.

 "Namun ada batasan terhadap seberapa besar kerusakan yang dapat dilakukan Iran terhadap Israel tanpa menggunakan alat yang dapat mengganggu keseimbangan konflik, mengundang eskalasi balasan Israel, dan berisiko terjerumus ke dalam konflik yang lebih luas," katanya.

Misalnya, serangan langsung terhadap Israel oleh Iran kemungkinan akan memicu serangan Israel di tanah Iran, sementara eskalasi melalui Hizbullah dapat memperparah risiko perang regional, kata Lund.

“Iran mungkin juga mulai memberi tekanan lebih besar pada pasukan AS di kawasan itu, seperti yang telah mereka lakukan di masa lalu. Itu akan menjadi cara untuk melakukan sesuatu yang nyata dan memberi insentif bagi upaya AS untuk menahan Israel. Namun, ada batasan sejauh mana mereka ingin melawan Amerika,” katanya, merujuk pada serangan terhadap kepentingan AS yang mereda setelah eskalasi besar pada Februari sialm .

Namun, Julien Barnes-Dacey, direktur program Timur Tengah dan Afrika Utara di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri, mengatakan eskalasi Israel akan mempersulit Teheran untuk menahan diri dari pembalasan yang lebih serius.

Terlebih, Israel dianggap Iran sebagai dalang serangan langsung di Teheran yang menewaskan Ismail Haniyeh.

Kedaulatan negara dan keamanan nasional jadi alasan kuat bagi Iran untuk melancarkan pembalasan yang digaungkan bakal 'dahsyat, tepat, dan terukur'.

"Selama beberapa bulan terakhir, kami telah melihat keinginan Iran untuk menjaga situasi tetap terkendali dan mencegah kekacauan dan konflik yang lebih luas, tetapi Teheran mungkin sekarang merasa perlu untuk menanggapi dengan lebih tegas guna mempertahankan kredibilitas postur pencegahannya," katanya kepada Al Jazeera.

“Iran tidak mungkin mempercayai pernyataan publik Barat yang mengutuk serangan tersebut mengingat dukungan kuat yang terus diberikan kepada Israel, termasuk melalui penyediaan persenjataan yang terus dilakukan Israel di Gaza dan wilayah tersebut.”

(oln/axios/MNA/aja/SANA/*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas