Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

AS Pamer Kapal Perang, Perwira Pasukan Quds IRGC Iran: Masa Tunggu Pembalasan ke Israel Mungkin Lama

Indikasi penundaan serangan balasan Iran ke Israel ini muncul setelah Amerika Serikat memamerkan kekuatan militernya ke kawasan Timur Tengah.

Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
zoom-in AS Pamer Kapal Perang, Perwira Pasukan Quds IRGC Iran: Masa Tunggu Pembalasan ke Israel Mungkin Lama
AFP
Anggota Pasukan Quds Korps Garda Revolusi Iran dalam sebuah latihan militer di operasi ekstrateritorial. (IRGC-QF). 

AS Pamer Kapal Perang, Perwira Pasukan Quds IRGC Iran: Masa Tunggu Pembalasan ke Israel Mungkin Lama

TRIBUNNEWS.COM - Seorang perwira pejabat operasional di Pasukan Quds Garda Revolusi Iran (IRGC) mengatakan kalau tanggapan Iran atas pembunuhan pemimpin biro politik Hamas Ismail Haniyeh di Teheran, kemungkinan tidak terjadi dalam waktu dekat.

Sebagai informasi, Pasukan Quds,adalah pasukan khusus dari IRGC yang bertanggung jawab untuk operasi ekstrateritorial Iran.

Dilansir Khaberni, Perwira Pasukan Quds itu menyatakan kalau pembalasan atas kematian Haniyeh ke Israel akan berbeda.

Baca juga: Perwira Israel: Iran Luncurkan Rudal Berkecepatan 500 Km/Jam, IDF Megap-megap Tanpa Bantuan AS

"Dan kami tidak akan mengungkapkan metodenya," kata perwira tersebut, dikutip dari Khaberni, Rabu (4/9/2024).

Dia menambahkan, "Metode dan kualitas respons kami akan bergantung pada keadaan yang dapat mencapai tujuan kami."

Pejabat tersebut juga mengindikasikan kalau masa tunggu untuk respons dan pembalasan atas pembunuhan Haniyeh "Mungkin akan lama hingga kondisi yang tepat tersedia."

BERITA TERKAIT

Indikasi penundaan serangan balasan Iran ke Israel ini muncul setelah Amerika Serikat (AS) memamerkan kekuatan militernya ke kawasan Timur Tengah.

Situs web AS, Axios melaporkan kalau pemerintah AS telah menempatkan sekitar 18 kapal perang termasuk dua kapal induk di dan sekitar Timur Tengah.

Manuver AS ini, kata laporan tersebut, sebagai upaya menghalangi Iran dan proksinya melakukan serangan yang dapat berkembang menjadi perang habis-habisan dengan Israel.

AS memang sudah menyatakan akan mati-matian membela Israel jika Iran benar-benar menyerang sebagai pembalasan pemboman di Teheran yang menewaskan pemimpin Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh, 31 Juli 2024 lalu.

Baca juga: Penerbangan ke-500 Tiba, Israel Terima 50 Ribu Ton Senjata dari AS

Gambaran Besar

Dalam ulasan di Axios yang ditulis Colin Demarest tersebut, disebutkan kalau tahun ini merupakan tahun yang menegangkan bagi Angkatan Laut AS.

Beberapa kapal tempur yang beroperasi di Laut Merah dan Teluk Aden telah memerangi kelompok perlawanan Houthi Yaman yang bersekutu dengan Iran selama berbulan-bulan.

"Kini, lebih banyak aset Angkatan Laut dan Angkatan Udara AS didatangkan sebagai bagian dari aksi 'Show of Force' (unjuk kekuatan) terhadap Houthi maupun Iran," tulis ulasan tersebut dikutip, Kamis (29/8/2024).

Apa saja kekuatan perang yang dikerahkan AS ke kawasan Timur Tengah?

Selain dua kelompok penyerang kapal induk yang sekarang beroperasi di Timur Tengah, skuadron Angkatan Udara F-22 Raptor telah tiba di wilayah tersebut dan USS Georgia — kapal selam berpeluru kendali — mengintai di dekatnya.

"Secara sengaja mengungkapkan lokasi atau tujuan operasi kapal selam seperti USS Georgia bertenaga nuklir adalah langkah yang langka. Ini memang disengaja untuk unjuk kekuatan.

"Secara keseluruhan, "ada lebih dari 500 rudal Tomahawk yang siap menyerang Iran dan lebih dari 100 pesawat siap membela sekutu untuk merespons," kata Bryan Clark, direktur Pusat Konsep dan Teknologi Pertahanan Hudson Institute.

Amerika Serikat memerintahkan kapal induk USS Eisenhower kembali ke Laut Merah untuk kembali menghadapi militer Yaman setelah kapal induk tersebut sempat ditarik dari Laut Merah menuju Mediterania, April lalu.
Amerika Serikat memerintahkan kapal induk USS Eisenhower kembali ke Laut Merah untuk kembali menghadapi militer Yaman setelah kapal induk tersebut sempat ditarik dari Laut Merah menuju Mediterania, April lalu. (American Photo Archive)

Fokus AS Berubah

Semua kekuatan senjata yang terkonsentrasi di Timur Tengah yang lebih luas ini menggagalkan prioritas lama Departemen Pertahanan AS yaitu Indo-Pasifik.

"Peningkatan kekuatan akan memengaruhi kemampuan Angkatan Laut untuk mempertahankan kehadiran yang kuat atau kapasitas respons di Pasifik, karena banyak dari kapal-kapal ini akan berakhir dalam periode pemeliharaan tahun depan," kata Clark kepada Axios.

Juru bicara Pentagon Mayjen Pat Ryder menepiskan kekhawatiran melemahnya kekuatan AS di Indo-Pasifik dengan mengatakan kalau Departemen Pertahanan AS "bisa berjalan dan mengunyah permen karet pada saat yang sama."

Hal yang menjadi sorotan utama adalah, manuver AS ini dilakukan setelah Hizbullah meluncurkan serangan rudal dan pesawat nirawak yang menargetkan Israel pada hari Minggu kemarin.

Serangan ini diklaim Israel telah sebagian besar diredam melalui serangan pendahuluan, namun Hizbullah membantahnya dan mengatakan serangan mereka mengenai sasaran secara telak namun tidak diakui entitas pendudukan.

Selain dari Hizbullah, pembalasan lebih lanjut atas pembunuhan dan serangan Israel baru-baru ini juga digadang-gadang dari Iran dan kelompok Houthi Yaman.

Milisi Perlawanan Irak juga menyatakan ikut serta dalam serangan terkoordinasi apa yang disebut sebagai "Poros Perlawanan".

Baca juga: Perlawanan Irak Tembaki Pembangkit Listrik Israel di Haifa, Hizbullah Lumpuhkan Radar IDF di Glilot

Warga Israel Merasa Keamanan Negara Buruk

Mayoritas warga Israel merasa tak ada peningkatan keamanan, di tengah ancaman serangan balasan Iran dan kelompok Hizbullah di Lebanon, buntut tewasnya Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh, dan Komandan Hizbullah, Fuad Shukr.

Menurut survei yang dilakukan Institut Studi Keamanan Nasional (INSS) Universitas Tel Aviv, sebanyak 32 persen warga Israel menganggap terbunuhnya Haniyeh dan Shukr sama sekali tak membuat pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu meningkatkan keamanan negara.

Sementara, 14 persen lainnya mengatakan, pembunuhan terhadap dua pejuang tersebut, "sedikit memperburuk" keamanan Israel.

Lalu, enam persen lainnya menyebut, keamanan Israel "sangat buruk".

Dikutip dari Anadolu Ajansi, INSS juga menggelar survei kepercayaan warga Israel terhadap Netanyahu.

Hasil survei menunjukkan, 26 persen warga Israel percaya pada Netanyahu, 17 persen hanya percaya pada pemerintahannya, dan 70 persen percaya pada militer.

Pada Juli 2024 lalu, hasil survei menunjukkan, mayoritas warga Israel tak percaya pada Netanyahu.

Hasil survei yang digelar Institut Kebijakan Rakyat Yahudi (JPPI), menunjukkan kepercayaan mayoritas warga Israel terhadap Perdana Menteri mereka, Benjamin Netanyahu, sangat rendah.

Sebanyak 73 persen responden tak terlalu percaya pada Netanyahu dan pejabat-pejabat Israel, sedangkan 26 persen lainnya mengaku masih menaruh harapan pada pemerintahan.

Sementara itu, menurut hasil survei yang sama, kepercayaan publik pada komando tertinggi Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengalami penurunan.

Baca juga: Eks Jenderal Israel: Kami Tak Siap Hadapi Rudal Iran dan Proksinya, Seluruh Negara Akan Hancur

Untuk pertama kali, sejak serangan ke Gaza pada 7 Oktober 2023, mayoritas warga Israel, tepatnya sebanyak 55 persen, menyatakan "kurang percaya pada kepemimpinan puncak IDF."

Penurunan kepercayaan ini kebanyakan terjadi pada kelompok sayap kanan, di mana delapan dari 10 orang menunjukkan ketidak percayaan mereka pada komandan senior IDF, dikutip dari situs resmi JPPI.

Sebaliknya, di antara warga Yahudi Israel yang mengidentifikasi diri mereka sebagai kelompok sentris, dua dari setiap tiga orang mengeklaim, masih memiliki kepercayaan yang tinggi atau "sangat tinggi terhadap kepemimpinan senior IDF."

Menurunnya kepercayaan terhadap IDF diiringi dengan meningkatnya kekhawatiran di kalangan warga Israel terhadap situasi keamanan di negara mereka.

Ketegangan di Timur Tengah terjadi menyusul pernyataan Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, yang menjanjikan "hukuman keras" bagi Israel sebagai balasan atas kematian Haniyeh.

"Rezim Zionis kriminal dan teroris telah membunuh tamu kami yang terkasih di rumah kami (Iran) dan membuat kami berduka," kata Khamenei dalam sebuah pernyataan, Rabu (31/7/2024), dilansir Al Jazeera.

Ia menambahkan, "rezim Zionis juga menyiapkan dasar untuk hukuman keras bagi dirinya sendiri."

Khamenei juga menegaskan, tugas Iran untuk membalas pembunuhan Haniyeh.

"Kami menganggap bahwa adalah tugas kami untuk membalas darahnya (tewasnya Haniyeh) dalam insiden pahit dan sulit yang terjadi di wilayah Republik Islam ini," imbuhnya.

Baca juga: 2 Sosok yang Bantu Israel Bunuh Haniyeh Ternyata Anggota IRGC, Langsung Dievakuasi Mossad dari Iran

Sebagai informasi, Haniyeh tewas diserang di Teheran, 31 Juli 2024 dini hari, dalam perjalanannya menghadiri pelantikan Presiden baru Iran, Masaoud Pezeshkian.

Acara pelantikan Pezeshkian diketahui menjadi kemunculan terakhir Haniyeh.

Selain Haniyeh, pengawal pribadinya yang juga Wakil Komandan Brigade Al-Qassam, Wasim Abu Shaaban, juga tewas dalam serangan itu.

Meski demikian, Israel hingga saat ini belum membantah ataupun mengakui pembunuhan terhadap Haniyeh.

Tetapi, sumber di Gedung Putih mengatakan, Israel langsung menghubungi AS setelah Haniyeh tewas dan mengabarkan mereka lah yang membunuh Pemimpin Hamas tersebut.

(oln/khbrn/*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas