Gaji 200 Ribu Pekerja Palestina Ditahan, Serikat Pekerja Desak Israel Tuntaskan Kewajiban
Sepuluh serikat pekerja menuduh Israel melanggar hukum karena telah menahan gaji lebih dari 200.000 pekerja Palestina sejak awal perang.
Penulis: Farrah Putri Affifah
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Sepuluh serikat pekerja menuduh Israel melanggar hukum perburuhan internasional.
Tuduhan tersebut lantaran Israel telah menahan gaji lebih dari 200.000 pekerja Palestina sejak awal perang 7 Oktober 2023.
Pengaduan tersebut diajukan oleh serikat pekerja ke Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada hari Jumat (27/9/2024).
Para pekerja ini telah mengalami pencurian upah yang meluas karena penangguhan izin kerja dan pemutusan kontrak secara sepihak, dikutip dari Al-Arabiya.
Menurut pengaduan tersebut, 13.000 pekerja dari Jalur Gaza belum dibayar untuk pekerjaan yang dilakukan sebelum 7 Oktober.
Kemudian hampir 200.000 pekerja Palestina dari Tepi Barat belum diizinkan memasuki Israel sejak perang meletus hampir satu tahun lalu dan belum dibayar untuk pekerjaan yang dilakukan sebelum perang dimulai.
"Dua ratus ribu pekerja di Tepi Barat kehilangan pekerjaan mereka," kata direktur eksekutif Maan Workers Association, sebuah organisasi pekerja independen di Israel, Assaf Afiv, dikutip dari The Guardian.
Menurut perkiraan ILO, upah harian rata-rata untuk pekerja Palestina di Israel adalah 297,30 shekel.
Dari jumlah tersebut, upah mingguan yang didapat rata-rata berkisar antara 2.100-2.600 shekel.
Namun setelah 7 Oktober 2023, Israel dengan sepihak mencabut izin kerja bagi sekitar 13.000 pekerja Palestina dan Gaza untuk bekerja secara legal di Israel.
Keputusan sepihak ini menyebabkan para pekerja tersebut tidak menerima upah sejak September dan Oktober.
Upah tersebut seharusnya dibayarkan pada 9 Oktober.
Baca juga: UEA Tolak Permintaan Netanyahu untuk Bayar Pekerja Palestina yang Bekerja di Israel: Minta Zelensky
Menurut laporan ILO pada bulan Mei 2024, pengangguran di kalangan warga Palestina mencapai titik tertinggi sejak 7 Oktober 2023.
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh seorang pekerja Palestina, Khaled Jamal Muhammad Karkash.