Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman Sebut 'Tak Peduli' dengan Masalah Palestina

Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman dalam pertemuannya dengan Menlu AS, Antony Blinken menyebut tak peduli dengan masalah Palestina.

Penulis: Whiesa Daniswara
Editor: Wahyu Gilang Putranto
zoom-in Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman Sebut 'Tak Peduli' dengan Masalah Palestina
SPA / AFP
Gambar selebaran yang disediakan oleh Saudi Press Agency (SPA) menunjukkan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (kanan) menerima Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken (kiri) di Riyadh pada 5 Februari 2024. 

TRIBUNNEWS.COM - Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman secara mengejutkan mengatakan bahwa dirinya tidak peduli dengan masalah Palestina.

Pernyataan Mohammed bin Salman itu muncul saat melakukan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken.

Berbicara dengan Blinken, Mohammed bin Salman mengatakan secara pribadi tidak peduli dengan apa yang disebutnya sebagai "masalah Palestina".

Dikutip dari Middle East Eye, sebuah laporan dari The Atlantic memberikan gambaran tentang upaya negosiasi Washington selama 11 bulan di Palestina setelah pecahnya perang di Gaza.

Disebutkan bahwa selama kunjungan ke Arab Saudi pada bulan Januari, Blinken dan Putra Mahkota bertemu di Kota al-Ula di Saudi untuk membahas prospek kerajaan Teluk itu menormalisasi hubungan dengan Israel di tengah perang Israel yang sedang berlangsung di Gaza. 

Beberapa bulan sebelumnya, Riyadh tampaknya membuat kemajuan dalam membentuk hubungan dengan Israel selama diskusi yang dipimpin AS, yang kemudian tergelincir oleh pecahnya perang pada 7 Oktober. 

Jika kesepakatan normalisasi terjadi, putra mahkota menyampaikan kepada Blinken keinginannya untuk ketenangan di Gaza. 

BERITA REKOMENDASI

Menurut The Atlantic, Blinken menanyakan apakah Saudi dapat menoleransi Israel yang secara berkala memasuki wilayahnya untuk menyerang Jalur Gaza yang terkepung. 

"Mereka bisa kembali dalam waktu enam bulan, satu tahun, tetapi tidak setelah saya menandatangani sesuatu seperti ini," jawab Mohammed bin Salman

"Tujuh puluh persen populasi saya lebih muda dari saya," Putra Mahkota menjelaskan kepada Blinken.

"Bagi sebagian besar dari mereka, mereka tidak pernah benar-benar tahu banyak tentang isu Palestina. Jadi, mereka baru pertama kali diperkenalkan dengan isu tersebut melalui konflik ini."

Baca juga: Arab Saudi Umumkan Dibentuknya Koalisi Global untuk Dirikan Negara Palestina

"Ini masalah besar. Apakah saya peduli secara pribadi dengan isu Palestina? Saya tidak peduli, tetapi orang-orang saya peduli, jadi saya perlu memastikan bahwa isu ini bermakna," tegasnya.

Meski begitu, seorang pejabat Saudi menggambarkan laporan percakapan ini kepada The Atlantic sebagai “tidak benar”.

Di depan umum, Mohammed bin Salman telah menyatakan bahwa Arab Saudi tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel tanpa berdirinya negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. 

"Kerajaan tidak akan menghentikan upaya tekunnya untuk mendirikan negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya," katanya dalam pidato tahunan baru-baru ini di hadapan Dewan Syura di Riyadh. 

"Kami mengonfirmasi bahwa Arab Saudi tidak akan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel sampai tujuan itu tercapai," ungkapnya.

Menurut The Atlantic, sebagai imbalan atas kesepakatan normalisasi dengan Israel, Arab Saudi akan berupaya untuk membuat perjanjian pertahanan bersama dengan Washington. 

Itu akan memerlukan ratifikasi dari dua pertiga Senat AS, yang menurut sang Putra Mahkota kepada Blinken kemungkinan besar akan terjadi di bawah pemerintahan Biden.

Itu sebagian karena persepsi bahwa kaum progresif AS mungkin mendukungnya jika negara Palestina dimasukkan ke dalam kesepakatan itu.

Baca juga: Diterpa Skandal, Media Pemerintah Arab Saudi Diduga Bekerja Sama dengan Israel, Ini Tujuannya

Mohammed bin Salman mengatakan kepada Blinken bahwa mengejar kesepakatan normalisasi dengan Israel akan menimbulkan kerugian pribadi yang besar baginya.

Ia mencontohkan Presiden Mesir Anwar Sadat, yang dibunuh pada tahun 1981, beberapa tahun setelah menandatangani perjanjian damai dengan Israel. 

"Setengah dari penasihat saya mengatakan bahwa kesepakatan itu tidak sepadan dengan risikonya," kata pemimpin Saudi de facto itu.

"Saya bisa saja terbunuh karena kesepakatan ini," lanjutnya.

Jajak pendapat selama tahap awal perang menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen warga Saudi percaya bahwa negara-negara Arab harus memutuskan hubungan dengan Israel. 

Meskipun demikian, telah terjadi tindakan keras terhadap aksi solidaritas Palestina di Arab Saudi, dengan laporan adanya orang-orang yang ditahan karena mengekspresikan pendapat  tentang konflik di media sosial, serta karena mengenakan keffiyeh Palestina di Kota Suci Mekkah. 

Baca juga: Arab Saudi Tak Sudi Akui Israel, Pangeran Mahkota: Palestina Harus Berdiri, Yerusalem Timur Ibu Kota

3 Pemimpin Palestina Tewas di Beirut

Sebuah kelompok militan Palestina mengatakan pada hari Senin bahwa tiga pemimpinnya tewas dalam serangan Israel di Beirut.

Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) mengatakan ketiga pemimpin tewas dalam serangan yang menargetkan distrik Kola di Beirut.

Serangan itu menghantam lantai atas sebuah gedung apartemen di distrik Kola, Beirut, Ibu Kota Lebanon, kata saksi mata Reuters.

Belum ada komentar langsung dari militer Israel.

Baca juga: Hassan Nasrallah Tewas dalam Serangan Israel, Jenazahnya Ditemukan Utuh Tanpa Luka

Meningkatnya frekuensi serangan Israel terhadap milisi Hizbullah di Lebanon dan milisi Houthi di Yaman telah memicu kekhawatiran bahwa pertempuran Timur Tengah dapat lepas kendali dan menarik Iran dan Amerika Serikat, sekutu utama Israel.

Israel pada hari Minggu melancarkan serangan udara terhadap milisi Houthi di Yaman dan puluhan target Hizbullah di seluruh Lebanon setelah sebelumnya menewaskan pemimpin Hizbullah.

Kementerian kesehatan yang dipimpin Houthi mengatakan sedikitnya empat orang tewas dan 29 lainnya luka-luka dalam serangan udara di pelabuhan Hodeidah, Yaman, yang menurut Israel merupakan respons terhadap serangan rudal Houthi.

Di Lebanon, pihak berwenang mengatakan sedikitnya 105 orang tewas akibat serangan udara Israel pada hari Minggu.

Kementerian Kesehatan Lebanon mengatakan lebih dari 1.000 warga Lebanon tewas dan 6.000 lainnya terluka dalam dua minggu terakhir, tanpa menyebutkan berapa jumlah warga sipil.

Baca juga: Bom Mark 84 Buatan AS Digunakan Israel dalam Pembunuhan Hassan Nasrallah

Pemerintah mengatakan satu juta orang - seperlima dari populasi - telah meninggalkan rumah mereka.

Meningkatnya pemboman Israel selama dua minggu telah menewaskan sejumlah pejabat tinggi Hizbullah, termasuk pemimpinnya Sayyed Hassan Nasrallah .

Israel telah bertekad untuk terus melancarkan serangan dan mengatakan pihaknya ingin mengamankan kembali wilayah utara bagi penduduk yang terpaksa melarikan diri dari serangan roket Hizbullah.

Pesawat nirawak Israel terbang di atas Beirut hampir sepanjang hari Minggu, dengan ledakan keras serangan udara baru bergema di sekitar Ibu Kota Lebanon.

(Tribunnews.com/Whiesa)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas