Media Ibrani Peringatkan Ancaman Perang Saudara di Israel di Tengah Pertempuran Gaza dan Lebanon
Konflik internal Israel juga membesar seiring berlanjutnya konfrontasi militer Israel di berbagai front, mulai dari Jalur Gaza, Lebanon, hingga Iran
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Media Ibrani Peringatkan Potensi Perang Saudara di Israel Karena Pertempuran di Gaza dan Lebanon
TRIBUNNEWS.COM - Sejak peristiwa serangan Banjir Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023, konflik internal antar-warga Israel semakin memburuk akibat ketegangan politik dan sosial.
Konflik internal warga Israel ini meningkat seiring berkembangnya peristiwa militer, seperti pengendalian sistem peradilan (dalam undang-undang wajib militer) dan penanganan demonstran yang menentang kebijakan pemerintah.
Konflik internal Israel juga membesar seiring berlanjutnya konfrontasi militer Israel di berbagai front, mulai dari Jalur Gaza, Lebanon, hingga sejumlah area di kawasan yang dibarengi oleh meningkatnya ketegangan antara berbagai faksi di masyarakat.
Baca juga: Bukti Terbaru Ekonomi Israel Kian Melorot Gegara Perang Gaza, Iran Bisa Bikin Tel Aviv Tambah Boncos
"Ada kekhawatiran yang semakin besar bahwa perbedaan-perbedaan ini dapat berkembang menjadi konflik internal, dan bahka menjadi perang saudara, di antara warga Israel sendiri."
Hal tersebut merupakan ringkasan sebuah artikel yang diterbitkan oleh surat kabar berbahasa Ibrani, Haaretz.
Penulisnya, David Ohana, pada awalnya merujuk pada sebuah puisi karya penyair Israel, Haim Guri berjudul “Saya Adalah Perang Saudara,” di mana penyair tersebut menggambarkan konflik internal yang menyerupai perang saudara.
Penulis melaporkan kalau kesamaan identitas Yahudi di kalangan orang Israel dihadapkan pada perpecahan besar pada periode antara Tahun Baru Ibrani yang lalu dan Tahun Baru Ibrani saat ini.
"Ia mengungkapkan ketakutan banyak warga Israel kalau protes terhadap pemerintah pada akhirnya dapat mengarah pada pemberontakan sipil dan bahkan mungkin perang saudara, dan mencatat bahwa sebenarnya ada dua kelompok warga yang berdiri di kedua sisi konflik: kelompok yang berupaya mengubah sistem demokrasi dari akarnya dan kelompok yang menentangnya," tulis laporan Khaberni, mengulas artikel tersebut, Sabtu (5/10/2024).
Penulis menjelaskan, perpecahan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat Israel dapat meningkat menjadi perang saudara, terutama jika ada kelompok tertentu yang merasa pemerintah tidak menangani demonstrasi secara baik.
Sebagai informasi, Pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memang sering dikoyak oleh demonstrasi besar dalam periode Perang Gaza yang dimulai 7 Oktober, terutama soal penanganan pengembalian sandera Israel yang ditahan milisi pembebasan Palestina Hamas di Gaza.
Demonstrasi juga berkembang menjadi penolakan wajib militer terhadap kalangan Yahudi yang tadinya tak tersentuh program militer ini sebelum perang.
Demonstrasi juga meningkat karena pemerintah Israel dianggap mengulur-ulur perang yang justru menjadi besar dan membakar Kawasan Timur Tengah.
Ohana menyatakan, ada tahapan-tahapan yang mendahului perang saudara, seperti pembangkangan sipil, yaitu sejenis protes damai dalam batas-batas demokrasi, dan pemberontakan sipil, yang dapat berujung pada penggunaan kekerasan terhadap pemerintah.
"Beberapa pemukim menggunakan pemberontakan semacam ini dalam seruan mereka untuk menghancurkan Mahkamah Agung Israel," tulis ulasan tersebut.
Dalam ulasannya itu, sang penulis bertanya-tanya apakah perang di wilayah utara (dengan Lebanon) mungkin akan berujung pada penetapan keadaan darurat dan penundaan pemilu yang dijadwalkan pada tahun 2026, dan apakah hal ini akan berujung pada protes yang disertai kekerasan, dengan menunjukkan bahwa perang saudara tidak hanya terjadi antara rakyat dan pemerintah, namun juga antar-kelompok masyarakat Israel yang mau menguasai kekuasaan.
Ia mengutip sejumlah contoh perang saudara dari sejarah modern, seperti Perang Saudara Amerika dan Perang Saudara Spanyol, di mana dia menunjukkan kalau fasisme tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan berkembang melalui tahapan, mengutip apa yang saat ini terjadi di Israel dalam hal politisasi aparatur negara seperti kepolisian dan pembentukan milisi bersenjata di Tepi Barat.
Dalam konteks ini, Pemerintah Israel saat ini dinilai terlalu memberi ruang bagi kelompok masyarakat ekstrem sayap kanan Israel.
Baca juga: Kronologi Sesama Militer Israel Bentrok di Penjara Guantanamo Israel di Negev, Apa yang Terjadi?
"Penulis menyoroti penyusupan para demonstran ke pangkalan militer Sde Timan, dan menyinggung propaganda yang ia gambarkan sebagai "Goebbelsian" oleh para pendukung pemerintah," tulis ulasan tersebut.
Ohana menunjuk pada adegan yang mirip dengan protes fasis di Eropa, yang berakhir dengan pembakaran rumah imigran, menjelaskan bahwa protes tersebut juga mulai muncul di Israel, di mana pemukim muda membakar rumah-rumah Arab, sementara pihak berwenang tidak mengambil tindakan nyata untuk menangkap mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan ini.
Baca juga: Lembaga Keamanan Israel Guncang, 50 Pemukim Yahudi Bertopeng Serbu Desa Jit Qalqilya di Tepi Barat
Ia menyatakan kekhawatirannya bahwa rezim saat ini mungkin mengeksploitasi krisis ini untuk memberlakukan undang-undang darurat dan menunda pemilu berikutnya pada tahun 2026.
"Ia bertanya-tanya apakah langkah-langkah ini akan menyebabkan protes kekerasan dari kubu liberal; Beberapa orang percaya bahwa Israel mungkin akan mengulangi kesalahan fasisme Eropa pada tahun 1920-an dan 1930-an," kata sang penulis dalam analisisnya.
Ohana menyimpulkan dari penjelasan di atas bahwa Israel menghadapi tantangan serius akibat perang yang sedang berlangsung di Gaza.
Hal ini karena tanda-tanda transformasi Israel menjadi “negara barak” mulai terlihat, yang berarti bahwa identitasnya sebagai sebuah negara bergantung pada militerisasi dan perang.
Penulis menyatakan kalau pemerintah Israel saat ini mendesak warganya untuk terus berkorban dan berjuang untuk mencapai “kemenangan mutlak” meskipun mengalami kerugian besar.
"Pendekatan ini dapat menyebabkan terulangnya apa yang terjadi di Jerman pada tahun 1933, di mana masyarakat berubah menjadi “ masyarakat perjuangan,” dan hasilnya adalah "Memperkuat keyakinan Jerman" kalau mereka mencapai tujuan mereka melalui perang dan pengorbanan, meskipun kekalahan sudah dekat," kata Ohana.
Meski jelas ada bahaya perang saudara, menurut Ohana, ia menyebutkan bahwa ada juga rasa persaudaraan di antara anggota masyarakat Israel yang dapat mencegah konflik ini.
"Ini karena pada akhirnya semua orang memiliki ikatan yang sama terkait sejarah dan nilai-nilai," kata dia.
Menurut penulis, hal ini bukan sekadar pembahasan formal mengenai rezim demokratis atau fasis, melainkan sebuah perpecahan mendasar yang merefleksikan konflik eksistensial antara dua visi hidup dan sejarah yang saling bertentangan.
Ohana mengakhiri artikelnya dengan mengatakan bahwa Haim Guri mungkin bermaksud dalam kalimat abadi, “Di sana orang benar menembak orang benar lainnya,” untuk mengungkapkan konflik eksistensial antara dua visi yang bertentangan dan tidak dapat didamaikan.