Donald Trump jadi presiden lagi, apakah diaspora Indonesia di AS perlu khawatir?
Kebijakan imigrasi Donald Trump yang ketat pada periode pertamanya sebagai presiden AS turut berdampak terhadap orang Indonesia di…
Donald Trump memenangi pemilihan presiden Amerika Serikat lagi. Bagi masyarakat Indonesia di AS, kebijakan imigrasi yang ketat saat Trump pertama kali menjabat sebagai presiden AS menjadi kenangan buruk.
Icha, 37 tahun, ibu rumah tangga asal Indonesia yang menetap di Atlanta, Georgia, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya mendengar Donald Trump akan kembali berkuasa di AS.
“Bisa dibilang [saya] trauma sama kebijakan Trump soal imigrasi,” ujar Icha kepada BBC News Indonesia melalui sambungan telepon pada Kamis (7/11).
Icha sudah merasa khawatir sejak Trump mengumumkan pencalonannya di Pilpres AS 2024.
Kegelisahannya bukannya tidak berdasar.
Pada 2020, Icha merasakan sendiri ketatnya penerapan aturan imigrasi di AS setelah tiba di bandara transit Los Angeles. Saat itu, Trump sedang berkuasa.
Icha – yang ketika itu bepergian dengan bayinya – sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi ketatnya aturan pembatasan sosial pada awal pandemi Covid-19 Namun, justru aturan keimigrasian yang menguji mentalnya.
Icha mengeklaim dirinya sempat ditahan petugas selama empat jam karena tidak dapat menunjukkan tiket pulang yang sudah dicetak dan uang tunai.
Penjelasan Icha bahwa tiket digitalnya ada dalam ponselnya dan uangnya ada dalam bentuk kartu kredit dan kartu debit tidak digubris petugas.
“Mereka bilang: ‘Kamu ke sini bawa bayi – harusnya mikir panjang. Mestinya ada uang cash [tunai]’,” tutur Icha yang mengaku ketinggalan pesawat menuju Atlanta.
Setelah pengalaman yang kurang mengenakkan itu, Icha langsung mempersiapkan uang tunai dan mencetak tiket pulangnya ketika mengunjungi AS pada tahun 2022.
Namun, kali ini, petugas imigrasi malah tidak menanyai Icha macam-macam dan perjalanannya lancar.
Saat itu, AS sudah berada di bawah pemerintahan Joe Biden.
‘Trump akan sangat selektif’
Kampanye Donald Trump dalam Pilpres AS 2024 mengedepankan topik imigrasi dan perbatasan sebagai retorika kunci.
Dalam salah satu pidatonya, Trump menyebut imigran “meracuni darah negara” dan bertanggung jawab atas kenaikan harga rumah-rumah dan melonjaknya angka kejahatan di AS.
Trump juga berjanji akan mengusir jutaan orang asing yang tak punya dokumen resmi dari AS selama periode keduanya – sesuatu yang disebutnya sebagai deportasi terbesar dalam sejarah AS.
Icha, yang sudah bolak-balik Atlanta dan Indonesia sejak 2017 tetapi baru mulai menetap per 2022, mengaku waswas.
Icha yang tengah mengandung anaknya yang keempat mengakui visa turis yang didapatkannya pada 2017 telah habis masa berlakunya pada 2022.
Karena terganjal permasalahan ekonomi, Icha belum melakukan penyesuaian status alias adjustment of status untuk visanya.
“Penyesuaian status” dalam konteks ini adalah istilah hukum imigrasi AS yang merujuk ke proses mengubah status status visa turis (B-1/B-2) menjadi visa permanen (green card) melalui pernikahan dengan warga negara AS atau pemegang green card.
Artinya, Icha sudah overstay selama dua tahun.
“[Saya] sudah bilang berkali-kali ke suami untuk melakukan adjustment of status sebelum Trump terpilih lagi. Karena kalau Trump sampai terpilih lagi, dia akan sangat selektif,” tutur Icha.
Salah satu hal yang didengungkan Trump adalah penghapusan hak kewarganegaraan bagi anak-anak para imigran ilegal yang lahir di AS.
Suami Icha yang warga AS menenangkan Icha yang keempat anaknya – termasuk yang dikandungnya – sudah menjadi warga AS melalui ayahnya.
Namun, tetap saja Icha dilanda kekhawatiran. Apalagi melihat pidato-pidato Trump yang begitu memojokkan imigran.
“Apakah nantinya saya akan dipersulit?” ujar Icha yang bahkan sekarang menghindari penerbangan domestik supaya tidak perlu menunjukkan dokumen tinggalnya.
‘Yang legal sekalipun diperketat’
Diaspora Indonesia sempat mengalami dampak atas kebijakan imigrasi Trump pada periode pertamanya.
Pada 2017, Gubernur New Hampshire, Chris Sununu meminta Trump untuk menghentikan upaya mendeportasi 69 orang Indonesia yang melarikan diri saat kerusuhan 1998 dan hidup secara ilegal di negara bagian tersebut.
Periode pertama Trump sebagai presiden AS memang identik dengan kebijakan imigrasi yang lebih ketat dibandingkan para pendahulunya – termasuk pengetatan aturan terhadap orang-orang yang menginjakkan kaki di AS secara legal.
Pendapat ini diutarakan Marshell Adi Putra, pakar hubungan internasional dari Universitas Katolik Parahyangan.
“Cukup ketat, apalagi kalau dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya, di mana Presiden Trump memperketat dari sisi khususnya kuantitas jumlah imigran yang legal sekalipun,” ujar Marshell pada Kamis (7/11).
Marshell yang memiliki spesialisasi di Kajian Diaspora dan Diplomasi Publik menyebut diaspora Indonesia pada periode pertama Trump sering kali merasakan dampak atas pengetatan ini.
“Yang biasanya kerabat-kerabatnya lebih mudah lolos, kali ini diperketat,” ujar Marshell.
Marshell memandang isu imigrasi ini masih akan sangat difokuskan Trump pada periodenya yang kedua.
Pengamat lainnya berpendapat diaspora Indonesia tidak akan terlalu terkena dampak kebijakan imigrasi Donald Trump.
Siswanto, peneliti senior di Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut aturan AS akan lebih difokuskan ke imigran-imigran gelap asal Amerika Latin seperti dari Kuba dan Kolombia.
Siswanto mengakui Trump pada periode pertamanya sebagai presiden memang sempat mengeluarkan aturan pelarangan masuknya warga negara dari tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim pada tahun 2017.
Akan tetapi, selain Indonesia tidak pernah masuk ke daftar itu, Siswanto menilai terorisme tidak menjadi isu keras jika dibandingkan dengan sebelum tewasnya Osama Bin Laden.
“Diaspora Indonesia itu bukan target utama [dari kebijakan imigrasi Trump],” ujar Siswanto.
Selain pergi ke AS atas dasar kemanusiaan, Siswanto juga menyebut diaspora Indonesia pada umumnya memiliki keterampilan dan bekerja secara legal sehingga tidak perlu dikhawatirkan.
Meskipun begitu, Siswanto berpendapat Kementerian Luar Negeri Indonesia tetap perlu mengambil langkah antisipatif menyongsong naiknya kembali Donald Trump dalam konteks diaspora.
“Langkah antisipasinya adalah mengidentifikasi dan memetakan para diaspora yang ada di seluruh negara bagian di Amerika Serikat,” ujar Siswanto.
Marshell mengusulkan Kemenlu RI memaksimalkan fasilitas yang sudah ada seperti Kartu Masyarakat Indonesia Di Luar Negeri (KMILN) sebagai tanda pengenal WNI.
Marshell berpendapat sistem KMILN bisa digunakan untuk memetakan orang Indonesia di AS sehingga lebih memudahkan jika ada yang membutuhkan perlindungan.
“Banyak diaspora Indonesia di AS yang masih segan untuk mendaftar KMILN ini karena memang ada yang statusnya ilegal. Tapi balik lagi, Kemenlu sejatinya hadir untuk melindungi masyarakat Indonesia terlepas dari legal atau tidaknya,” ujar Marshell.
Menanggapi hal ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Roy Soemirat, mengatakan pihaknya “tidak dalam posisi untuk memberikan komentar terhadap hal-hal yang tidak didasarkan pada fakta yang ada di lapangan”.
“Kebijakan pemerintah RI akan selalu dilakukan berdasarkan kajian mendalam dan menyeluruh mengenai adanya suatu situasi khusus yang memerlukan penanganan khusus,” ujarnya.
“Adapun mengenai hal-hal terkait isu perlindungan WNI di luar negeri, tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum nasional Indonesia yang berlaku dan juga turut mempertimbangkan hukum yang berlaku di negara setempat.”
‘Masuklah secara legal’
Sebanyak empat dari 10 pemilih Pilpres AS mengatakan imigran yang tinggal di AS secara ilegal harus dideportasi ke negara asal mereka, menurut data AP VoteCast, survei terhadap lebih dari 120.000 pemilih AS yang dilakukan oleh NORC di University of Chicago.
Angka itu naik dari sekitar tiga dari 10 orang yang mengatakan hal yang sama pada tahun 2020.
Tidak semua diaspora Indonesia merasakan ketakutan akan Trump yang bakal menjadi presiden AS ke-47.
Elvy Bardales, 48 tahun, yang baru memperoleh kewarganegaraan AS pada tahun ini mengaku memilih Trump pada Pilpres 2024 kemarin. Meski pada periode pertamanya dia kecewa ketika Trump terpilih, lambat laun dia mengaku punya perspektif berbeda.
“Banyak yang menyebut pemerintahan [Trump] anti-imigran, [tapi] saya tidak sepenuhnya percaya itu. Trump menghargai orang-orang yang datang ke sini secara legal dan berkontribusi pada negara,” ujar Elvy yang meninggalkan Indonesia pada 1999.
Elvy adalah satu dari sejumlah orang yang hengkang dari Indonesia karena merasa takut setelah tragedi Mei 1998. Butuh waktu 25 tahun baginya untuk memperoleh kewarganegaraan AS.
Elvy mengaku tidak mendapat kabar tentang upaya deportasi terhadap orang Indonesia yang juga sama-sama terimbas 1998 di New Hampshire pada tahun 2017.
Dia mengaku harus menyewa pengacara untuk mengurus pergantian visanya setelah suakanya ditolak.
“Memang butuh uang dan kesabaran, tetapi, pemerintahan AS tidak akan mendeportasi tanpa alasan,” ujarnya.
Di sisi lain, Elvy mengakui ada banyak kasus di mana orang Indonesia menggunakan tragedi 1998 sebagai alasan untuk mendapatkan suaka. Padahal, pada kenyataannya belum tentu mereka benar-benar terkena dampak tragedi tersebut.
“Pemerintah AS menuntut bukti-bukti yang jelas – kalau tidak ada, bisa ditolak,” ujar Elvy.
Elvy sendiri mengaku mendukung “rencana deportasi massal pada Januari 2025” yang menurutnya diperlukan mengingat kegagalan pemerintahan sebelumnya dalam mengelola imigrasi.
“Bagi warga Indonesia yang bercita-cita untuk belajar, bekerja, atau tinggal di AS, saya sangat menyarankan untuk datang melalui jalur legal. Saya tidak mendukung masuk ke negara secara ilegal atau tinggal di sini tanpa dokumen yang tepat,” ujar Elvy.
Kembali ke Icha, dia menyebut sekalipun dimungkinkan, deportasi massal akan sangat sulit dilakukan AS.
“Imigran ilegal itu sudah menjadi salah satu urat nadi di Amerika. Untuk ‘membersihkan’ tanah ini dari imigran ilegal kayaknya enggak mungkin,” ujar Icha.