Ketegangan di Israel: Warga Haredi Tolak Bergabung IDF
Isu krisis pasukan di Israel semakin mendalam setelah penolakan warga Haredi.
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: timtribunsolo
TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, baru-baru ini mengeluarkan perintah bagi 7000 warga Yahudi Ultra-Ortodoks untuk bergabung dengan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dalam menghadapi konflik di Gaza dan Lebanon.
Keputusan ini menjadi pusat perhatian dan menimbulkan berbagai reaksi, baik dari kalangan Haredim maupun masyarakat luas.
Mengapa Netanyahu Mengeluarkan Perintah Ini?
Menurut pernyataan resmi dari Kementerian Pertahanan Israel, perintah wajib militer ini akan dilaksanakan secara bertahap.
Proses pendaftaran untuk 7000 orang Haredim direncanakan akan dimulai pada Minggu mendatang setelah dilakukan evaluasi militer.
Menurut Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant Katz, langkah ini diambil untuk mengintegrasikan Yahudi ultra-Ortodoks ke dalam militer.
“Kami akan berupaya mencari kompromi yang bisa membantu mengintegrasikan mereka,” kata Katz seperti dikutip dari Anadolu Agency.
Apa Alasan di Balik Penugasan Ini?
Keputusan untuk mengikutsertakan warga Ultra-Ortodoks di dalam militer Israel datang setelah putusan Mahkamah Agung pada bulan Juni lalu yang mewajibkan kaum Haredi untuk turut serta dalam pertahanan negara.
Mereka yang biasanya fokus pada pendidikan religius dan bukan pada kegiatan militer, diharapkan bisa berkontribusi dalam situasi krisis yang dihadapi Israel.
Reaksi Warga Ultra-Ortodoks Terhadap Perintah Ini
Bagaimana reaksi dari warga Haredi terhadap perintah wajib militer ini?
Meskipun pemerintah berharap dapat mengintegrasikan warga Haredi, banyak dari mereka yang menolak untuk bergabung.
Beberapa pemimpin Ultra-Ortodoks menganggap bahwa keputusan ini bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung dan mengancam identitas mereka sebagai komunitas religius.
“Mereka mengeklaim hak kami untuk belajar di pendidikan khusus agama, bukan untuk bertugas di militer,” ujar seorang pemimpin Haredi.
Menghadapi situasi ini, beberapa di antara mereka bahkan mengancam akan meninggalkan negara Israel jika terpaksa harus bergabung dengan militer.
“Jika mereka memaksa kami, kami akan pergi membeli tiket dan meninggalkan negara ini,” tegas kepala rabi Yahudi Sephardic, seperti yang dilaporkan oleh Anadolu.
Apa Dampak dari Penolakan Ini?
Gelombang penolakan ini telah menyebabkan demonstrasi besar-besaran di Yerusalem, di mana lebih dari 100 pria Ultra-Ortodoks ekstremis turun ke jalan untuk menyatakan penolakan mereka terhadap wajib militer.
Kerusuhan ini berujung pada penangkapan lima demonstran akibat tindakan tidak tertib dan penyerangan terhadap petugas polisi.
Apakah Israel Menghadapi Krisis Pasukan?
Rilisnya perintah wajib militer bagi warga Ultra-Ortodoks menciptakan spekulasi tentang adanya krisis pasukan di Israel.
Dalam beberapa bulan terakhir, banyak tentara cadangan yang menolak perintah Netanyahu untuk melanjutkan serangan di Gaza.
Meskipun tidak ada penjelasan konkret mengapa terjadi penolakan ini, laporan dari media lokal menunjukkan adanya ketidakpuasan di antara unit-unit militer mengenai situasi di Rafah, Gaza.
Lebih jauh lagi, juru bicara IDF menyatakan bahwa mereka sangat membutuhkan 7000 tentara tambahan, serta meminta tambahan 7500 posisi untuk perwira dan bintara.
Ini menunjukkan adanya tekanan yang signifikan terhadap kapasitas pasukan IDF di medan perang.
Perintah wajib militer yang dikeluarkan oleh Netanyahu bagi warga Ultra-Ortodoks mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh Israel dalam menghadapi konflik yang berkepanjangan.
Sementara pemerintah berupaya untuk meningkatkan jumlah pasukan, penolakan dari warga Haredi menunjukkan adanya ketegangan antara komitmen religius dan tanggung jawab militer.
Krisis pasukan yang sedang berlangsung memerlukan perhatian serius, dan bagaimana pemerintah Israel menangani situasi ini akan sangat menentukan masa depan integrasi sosial dan keamanan nasional.
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).