Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pengamat: Ekonomi Global 2025 Dipengaruhi Ketidakstabilan Geopolitik

Dari sisi domestik, Bhima mencatat bahwa kebijakan fiskal yang agresif, seperti kenaikan PPN, dapat mengurangi daya beli masyarakat

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
zoom-in Pengamat: Ekonomi Global 2025 Dipengaruhi Ketidakstabilan Geopolitik
HO/istimewa
Ekonom dan Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara (tengah) dan  Tagor Sidik Sigiro, Assurance Partner Grant Thornton Indonesia  (kanan) saat Economic Outlook 2025, Grant Thornton Indonesia di Jakarta belum lama ini. 

Pengamat : Ekonomi Global 2025 Dipengaruhi Ketidakstabilan Geopolitik

Laporan Wartawan Tribunnews.com Eko Sutriyanto 

TRIBUNENWS.COM, JAKARTA - Ekonom dan Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, ekonomi global pada tahun 2025 masih dipengaruhi oleh ketidakstabilan geopolitik, termasuk perang dagang yang berdampak ke perekonomian Indonesia.

Perang dagang Tiongkok dan AS perlu segera diantisipasi apalagi negara – negara seperti Tiongkok dan AS mengalihkan industri semikonduktor dan otomotif mereka ke negara ASEAN, tetapi Indonesia belum menjadi prioritas relokasi industri.

"Selain itu, ancaman kehilangan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari AS terhadap produk seperti pakaian jadi, alas kaki, dan perikanan juga dapat menekan daya saing ekspor Indonesia,” ujar Bhima saat Economic Outlook 2025, Grant Thornton Indonesia di Jakarta belum lama ini.

Bhima juga menyoroti kebijakan pseudo-proteksionisme pemerintah, seperti pelarangan iPhone 16, yang dapat memicu antipati dari investor asing.

"Alih-alih meningkatkan daya saing dan infrastruktur, kebijakan ini malah berpotensi memperburuk iklim investasi. Sementara itu, negara seperti Vietnam lebih kompetitif dengan perjanjian perdagangan yang spesifik," tambahnya.

Berita Rekomendasi

Dari sisi domestik, Bhima mencatat bahwa kebijakan fiskal yang agresif, seperti kenaikan PPN, dapat mengurangi daya beli masyarakat dan memicu peningkatan barang ilegal.

"Masyarakat akan beralih ke barang tanpa PPN, yang berisiko memperluas pasar barang ilegal dan menghambat pertumbuhan ekonomi," jelasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Tagor Sidik Sigiro, Assurance Partner Grant Thornton Indonesia memaparkan tantangan utama serta strategi yang dapat diadopsi oleh pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Tagor menyebut kebijakan fiskal saat ini menjadi perhatian utama sektor swasta.

"Banyak pengusaha merasa kebijakan fiskal seperti pajak PPN dan Natura kurang mendukung operasional bisnis," katanya.

Selain itu, kata dia tren investasi di Indonesia menunjukkan banyak perusahaan hanya membuka kantor dagang tanpa pendirian pabrik di Indonesia sejak 2022

"Ini perlu menjadi fokus perhatian agar nilai investasi dalam menyerap tenaga kerja dan bahan baku menjadi lebih optimal," ujar Tagor.

Selain membahas tantangan ekonomi, kedua pembicara sepakat bahwa integrasi prinsip ESG dalam kebijakan ekonomi menjadi langkah penting untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan.

"Di tengah tantangan eksternal, urgensi penerapan ESG semakin tinggi, khususnya di sektor strategis seperti energi, keuangan, dan pertanian. Penerapan ESG tidak hanya mengelola risiko bisnis tetapi juga mendorong stabilitas ekonomi dan daya saing dalam jangka panjang," kata Bhima.

Bhima menambahkan bahwa regulasi dan standar internasional mendorong perusahaan Indonesia untuk mempercepat penerapan ESG.

Beberapa regulasi yang relevan seperti IFRS 1 dan IFRS 2, EU Deforestation Regulation, Financial Stability Board (FSB) melalui Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD), dan Global Reporting Initiatives (GRI) yang menjadi kerangka kerja utama untuk pelaporan keberlanjutan.

Tagor mengatakan, Grant Thornton Indonesia melihat bahwa tren ESG di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara maju.

"Meski demikian, jika diterapkan dengan benar, ESG dapat membantu perusahaan menghadapi fluktuasi ekonomi global dan memastikan keberlanjutan usaha," katanya.

Proyeksi Ekonomi Indonesia di Tahun 2025

Bhima Yudhistira memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2025 hanya akan mencapai 4,7 persen–4,9%, lebih rendah dari target 5%.

"Motor pertumbuhan ekonomi masih bisa didorong karena Indonesia memiliki peluang besar dengan aktifnya peran Presiden dalam diplomasi dagang dan investasi.

Kunjungan Presiden ke berbagai forum harus ditindaklanjuti dalam realisasi investasi yang lebih berkualitas serta memperbaiki kesiapan infrastruktur pendukung domestic termasuk sumber energi terbarukan," ungkapnya.

Ia menambahkan, beberapa faktor yang memengaruhi proyeksi ini meliputi nilai Tukar Rupiah: Dolar AS diperkirakan mencapai Rp16.200–Rp16.700 akibat kebijakan The Fed dan administrasi Presiden AS Donald Trump.

Kemudian kontribusi Komoditas: Sektor komoditas belum menjadi andalan yang signifikan untuk mendorong devisa dan kebijakan domestik yakni kenaikan PPN dapat menekan daya beli masyarakat dan memperluas pasar barang ilegal.

"Meski menantang ,tetapi sektor-sektor seperti pertanian, perikanan, pendidikan, konstruksi, dan bioekonomi diproyeksikan mendapatkan dukungan penuh pemerintah untuk tetap tumbuh positif tahun depan," tambah Bhima.

Tagor Sidik Sigiro menggarisbawahi bahwa beberapa provinsi seperti Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Timur menunjukkan pertumbuhan tinggi, berkat investasi besar di sektor unggulan.

Namun, ia memperingatkan bahwa pelaku usaha kemungkinan akan berada dalam survival mode hingga 2025, mengingat kebijakan fiskal saat ini menjadi tantangan utama.

 

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas