Kenapa Pemimpin Bercorak Militer Mendominasi Politik Asia Tenggara?
Hampir separuh negara-negara Asia Tenggara diperintah oleh mantan jenderal atau rezim militer. Tren ini dianggap memprihatinkan bagi…
Namun, Filipina, yang berada di garis depan perselisihan dengan Beijing, justru menolak militerisasi politik.
Lonjakan anggaran militer
Pengeluaran militer di Asia Tenggara meningkat lebih dari dua kali lipat antara tahun 2000 dan 2021, dari USD20,3 miliar menjadi USD43,3 miliar, menurut Stockholm International Peace Research Institute, SIPRI.
Namun, belanja pertahanan tertinggi, jika diukur berdasarkan persentase dari PDB, sebagian besar adalah negara-negara yang militernya tidak memiliki kekuasaan atas politisi sipil, termasuk Singapura, Brunei, dan Malaysia.
Sebaliknya, para pakar menunjuk politik dalam negeri sebagai alasannya. Chambers mengatakan ada "tingkat militerisasi yang berbeda" di kawasan tersebut, terkadang karena "kemampuan jenderal yang masih aktif bertugas atau pensiunan untuk menduduki jabatan-jabatan penting partai."
Di Thailand, sikap monarki yang "selama beberapa dekade mendukung kudeta, membuat Thailand selalu berada di ambang demokratisasi tetapi masih jatuh dalam kekuasaan militer," kata Chambers. Militer Myanmar, sebagai perbandingan, memerintah hampir tanpa gangguan dari tahun 1962 hingga 2015 sebelum merebut kekuasaan lagi pada tahun 2021.
Partai Rakyat Kamboja, CPP, memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap militer. Di tangan partai, tentara telah menjadi "alat kekerasan" bagi dinasti Hun yang dominan, menurut sebuah esai yang diterbitkan Chambers pada tahun 2020.
Adapun Partai Komunis Vietnam semakin terpecah di antara berbagai badan keamanan. Dua pertiga dari 18 anggota Politbironya, badan pembuat keputusan partai yang paling kuat, sekarang berasal dari latar belakang polisi atau militer, Channel News Asia melaporkan baru-baru ini.
Politik uang
Le Hong Hiep, seorang peneliti senior dalam Program Studi Vietnam di ISEAS–Yusof Ishak Institute di Singapura, berpendapat bahwa tren militerisme di Asia Tenggara sebagian disebabkan oleh maraknya bisnis militer.
Tentara Rakyat Vietnam mengelola beberapa perusahaan terbesar negara, termasuk Viettel, perusahaan telekomunikasi nasional, dan Sai Gon New Port, operator terminal peti kemas terbesar.
Laporan bulan Agustus oleh Carnegie Endowment for International Peace, sebuah lembaga pemikir, menyoroti tren global pengaruh militer yang didorong oleh dinamika kekuatan antara angkatan bersenjata, pemimpin negara, dan sektor swasta.
Teori demokrasi konvensional, menurutnya, mengasumsikan bahwa otonomi dan pengaruh sektor swasta yang lebih besar akan menghasilkan demokratisasi. Namun, laporan tersebut menunjukkan bahwa hubungan militer-bisnis sering kali menghambat demokratisasi dan, terkadang, mengakibatkan intervensi militer dalam politik untuk membela kepentingan sektor swasta, terutama ketika sektor tersebut didominasi oleh oligarki yang kuat, seperti yang terjadi di sebagian besar Asia Tenggara.
Prabowo, presiden Indonesia, adalah kakak dari pengusaha Hashim Djojohadikusumo dan sendirinya menguasai berbagai unit usaha.
Sementara militer Myanmar mendominasi sektor ekonomi terpenting di negara tersebut.
"Fakta bahwa militer semakin memegang kekuasaan, dalam hampir setiap kasus, merupakan hal yang negatif bagi demokrasi dan hak asasi manusia," kata Kurlantzick.