Demi Atasi Polusi, Kenapa Dunia Kesulitan Batasi Produksi Plastik?
Putaran terakhir negosiasi perjanjian plastik sedunia membidik pengurangan produksi plastik sebagai strategi penanggulangan polusi.…
Setelah dua tahun berunding, negara-negara dunia berunding di putaran akhir demi merampungkan perjanjian global yang mengikat guna membatasi lonjakan plastik yang mencemari planet.
Perwakilan dari sekitar 175 negara mencoba mengatasi perbedaan mencolok tentang cara mengatasi banjir sampah dalam putaran terakhir perundingan minggu ini di Busan, Korea Selatan.
Program Lingkungan PBB, UNEP, mengatakan perjanjian tersebut akan menjadi kesepakatan lingkungan multilateral paling signifikan sejak perjanjian iklim Paris 2015 mengingat skala penuh krisis plastik.
"Perjanjian ini adalah polis asuransi untuk generasi mendatang, sehingga mereka dapat menggunakan plastik tanpa mendapat masalah," kata Inger Andersen, Direktur Eksekutif UNEP, pada tahun 2022 ketika negara-negara pertama kali sepakat untuk membuat perjanjian guna mengakhiri polusi plastik.
Pada tahun 2019, negara di dunia menghasilkan sekitar 350 juta ton sampah plastik. Hanya 9 persen yang didaur ulang, sisanya dibakar, dibuang ke tempat pembuangan akhir, atau berakhir di lingkungan.
Jika dibuang tanpa didaur ulang, produk plastik tahan lama seperti sedotan minum sekali pakai, dapat tetap berada di lingkungan selama ratusan tahun dan mencemari ekosistem dan rantai makanan. Dengan sekitar 99 persen plastik bersumber dari bahan bakar fosil, produksi plastik juga memperburuk krisis iklim, kata para ilmuwan.
Mengurangi produksi plastik sebagai tantangan utama
Sebagai bagian agenda negosiasi berpusar pada pengurangan produksi polimer plastik secara global hingga 40 persen pada tahun 2040. Proposal ini diajukan oleh Rwanda dan Peru selama putaran terakhir pembicaraan di Ottawa, Kanada, pada bulan April lalu.
Target ini dapat dijangkau melalui berbagai langkah mitigasi yang digunakan di sepanjang siklus hidup plastik. Langkah yang diusulkan antara lain berupa pengurangan produksi plastik; penghapusan plastik sekali pakai, dan desain ulang kemasan agar dapat digunakan kembali, terurai secara hayati, atau dapat didaur ulang sepenuhnya.
Selama ini, solusi sampah plastik yang selalu digaungkan oleh dunia usaha adalah daur ulang, bukan pengurangan jumlah plastik. Teknologi teranyar yang saat ini mulai dipasarkan adalah daur ulang kimia yang lebih efisien dibandingkan daur ulang mekanis.
Solusi tersebut bukan tanpa cela, karena tidak menghambat produksi plastik, yang notabene lebih murah ketimbang daur ulang. Sebab itu, kelompok lingkungan Greenpeace menyerukan agar perjanjian difokuskan pada pengurangan produksi plastik secara cepat.
Diprediksi, pada tahun 2050 dunia akan memproduksi tiga kali lipat jumlah plastik yang dibuat saat ini.
Perkaranya, plastik murni terbuat dari minyak dan merupakan salah satu sumber duit terbesar bagi industri bahan bakar fosil. Dan dengan derasnya laju transisi menuju energi terbarukan, plastik kian dipandang krusial untuk menutupi kehilangan pendapatan dari minyak dan gas. Daur ulang tidak dapat mengimbangi ledakan produksi.
"Kapasitas pengelolaan limbah kewalahan, kita memiliki kelebihan pasokan dan plastik yang melimpah," kata Christina Dixon, Pemimpin Kampanye Kelautan di Badan Investigasi Lingkungan EIA yang berbasis di New York yang mempromosikan perjanjian tersebut.
Oposisi negara minyak terhadap pembatasan produksi plastik
Dipimpin oleh Rwanda dan Norwegia, lebih dari 60 negara telah bergabung dengan Koalisi Ambisi Tinggi yang ingin mengakhiri semua produksi plastik pada tahun 2040.