OPCW Desak Pemimpin Baru Suriah Buka Akses Penyelidikan Senjata Kimia Pasca Rezim Assad Runtuh
Kepala pengawas senjata kimia Internasional, Fernando Arias meminta pemimpin baru Suriah untuk memberikan akses dalam menyelidiki senjata kimia.
Penulis: Farrah Putri Affifah
Editor: Pravitri Retno W
Pada 2013, Suriah memutuskan untuk bergabung dengan OPCW.
Namun dalam bergabungnya Suriah dengan OPCW, terdapat suatu kesepakatan, yaitu kesepakatan AS-Rusia.
Di mana 1.300 metrik ton senjata kimia dan prekursor dihancurkan oleh masyarakat internasional.
Namun, ternyata Suriah masih memiliki amunisi terlarang selama ini yang belum dimusnahkan.
Amuninisi terlarang ini diduga digunakan selama perang saudara.
Akan tetapi, hal tersebut dibantah oleh Suriah yang diperintah Al-Assad dan sekutu militernya Rusia pada saat itu.
Penggulingan Assad
Sebagai informasi, pasukan rezim Assad dan kelompok antirezim kembali bentrok pada 27 November 2024.
Bentrokan antara 2 kelompok ini terjadi di daerah pedesaan sebelah barat Aleppo, kota besar di Suriah utara.
Bentrokan ini terjadi selama 10 hari.
Kelompok pemberontak melancarkan berbagai serangan hingga merebut kota-kota penting di Suriah.
Puncaknya terjadi pada hari Minggu (8/12/2024) ketika pemberontak yang didukung oleh unit-unit militer yang membelot menyebabkan rezim Assad runtuh setelah perang saudara selama 14 tahun.
Setelah digulingkan, Assad dilaporkan kabur dari Suriah dan berada di Moskow setelah mendapat tawaran suaka dari Rusia.
Hal tersebut dilaporkan oleh kantor berita Rusia, Interfax pada hari Minggu (8/12/2024).
Tak sendiri, Assad dikabarkan kabur dari Suriah bersama keluarganya.
"Presiden al-Assad dari Suriah telah tiba di Moskow. Rusia telah memberi mereka (dia dan keluarganya) suaka atas dasar kemanusiaan," tulis Interfax, dikutip dari Al-Arabiya.
(Tribunnews.com/Farrah)
Artikel Lain Terkait Konflik Suriah