Pihak Berwenang Damaskus Menghentikan Kontrak dengan Rusia untuk Kelola Pelabuhan Tartus
Pemerintahan transisi Suriah telah mengambil langkah tegas untuk mengurangi pengaruh Rusia
Editor: Muhammad Barir
Pihak Berwenang Damaskus Menghentikan Kontrak Rusia untuk Pelabuhan Tartus
TRIBUNNEWS.COM- Pemerintahan transisi Suriah telah mengambil langkah tegas untuk mengurangi pengaruh Rusia dengan membatalkan kontrak jangka panjang dengan perusahaan Rusia yang mengelola pelabuhan Tartus.
Riyad Judi, direktur departemen bea cukai di Tartus, mengonfirmasi perkembangan tersebut kepada surat kabar al-Watan pada hari Senin, dengan mencatat bahwa pendapatan dari pelabuhan tersebut sekarang akan sepenuhnya menjadi milik negara Suriah.
Pemerintah baru Suriah dilaporkan tengah berupaya meningkatkan aktivitas komersial di pelabuhan dengan memotong biaya bea cukai hingga 60 persen.
Perjanjian tersebut, yang awalnya ditandatangani pada tahun 2019 di bawah pemerintahan Bashar Assad, memberikan perusahaan Rusia Stroytransgaz kendali atas pelabuhan tersebut selama 49 tahun.
Sebagai imbalannya, perusahaan tersebut akan menginvestasikan $500 juta di pelabuhan tersebut, dengan 65% keuntungan yang diperoleh sementara pemerintah Suriah memperoleh 35% sisanya.
Pelabuhan Tartus, pelabuhan terbesar kedua di Suriah setelah Latakia, merupakan pusat penting di Mediterania dengan kapasitas empat juta ton per tahun dan menjadi lokasi satu-satunya pangkalan angkatan laut Rusia di wilayah tersebut.
Didirikan pada tahun 1971 oleh Uni Soviet dan kemudian diperluas pada tahun 2017, pangkalan tersebut telah berfungsi sebagai pos terdepan yang strategis bagi operasi militer Rusia di Timur Tengah.
Pemerintah Suriah yang baru dilaporkan tengah berupaya meningkatkan aktivitas komersial di pelabuhan dengan memangkas biaya bea cukai hingga 60%. Judi menyoroti aktivitas "luar biasa" di Tartus, dengan kapal-kapal dari Suriah, negara-negara Arab, dan operator internasional yang mengangkut barang-barang seperti besi, gula, dan karbonat.
Menyeimbangkan Hubungan Rusia di Tengah Tekanan Barat
Keputusan untuk membatalkan kontrak tersebut muncul saat pemimpin baru Suriah menghadapi tekanan yang meningkat dari negara-negara Barat untuk memutuskan hubungan dengan Moskow sebagai imbalan pelonggaran sanksi ekonomi.
Pejabat Eropa dilaporkan mengaitkan pencabutan sanksi dengan upaya Suriah menjauhkan diri dari Rusia.
Namun, sejauh ini para pemimpin Suriah menolak seruan untuk memutus hubungan dengan Moskow.
Ahmad al-Sharaa, pemimpin pemerintahan transisi, sebelumnya menegaskan kemitraan strategis Suriah dengan Rusia dalam sebuah wawancara dengan Al Arabiya , dengan menyebut Rusia sebagai "negara terkuat kedua di dunia" dan menyoroti hubungan yang telah lama terjalin antara kedua negara.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.