Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
DOWNLOAD
Tribun

Angka Pernikahan di Tiongkok Relatif Rendah, Bisnis Perjodohan Menjamur

Angka pernikahan terus menurun di China sejak 2014, berikut sejumlah faktornya hingga disebut membuat bisnis perjodohan menjamur.

Editor: Wahyu Aji
zoom-in Angka Pernikahan di Tiongkok Relatif Rendah, Bisnis Perjodohan Menjamur
Dokumentasi Tribunnews.com
ANGKA PERNIKAHAN - Data resmi menunjukkan, jumlah pasangan China yang menikah pada paruh pertama tahun ini turun ke level terendah sejak 2013. Penyebabnya adalah semakin banyak anak muda yang menunda pernikahan di tengah ekonomi yang melambat dan kenaikan biaya hidup. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam kehidupan masyarakat Tiongkok kontemporer, cinta dan hubungan antarkedua pasangan sering kali dibayangi ekspektasi transaksional.

Mengutip Widelens Report, Jumat (7/2/2025), pernikahan di sana sering kali dipandang sebagai negosiasi dan kesepakatan bisnis, bukan hubungan tulus berlandaskan cinta. 

Media tersebut menganalisis bahwa pendekatan materialistis ini diperburuk tekanan ekonomi dan norma-norma sosial.

Hal tersebut yang mengarah pada budaya yang mengesampingkan cita-cita romantis. 

Hubungan yang lebih condong stabilitas keuangan dan status sosial dibandingkan ikatan emosional, menjadi masalah mendalam dalam masyarakat Tiongkok.

Sebab, cinta sering kali dikompromikan demi keuntungan materi.

Di Tiongkok, ekspektasi yang tinggi pada laki-laki dan perempuan membuat masyarakat sulit menemukan pasangan.

Berita Rekomendasi

Merujuk pada tradisi, bahwa pria mesti menikah ketika besar dan perempuan harus dinikahi.

Hal itu dinilai menjadi wujud tekanan masyarakat pada generasi muda, untuk memulai keluarga pada usia tertentu, sehingga menambah beban terkait standar tinggi.

Saat Tahun Baru Imlek dimulai, kaum muda yang bekerja jauh dari rumah memulai perjalanan mereka kembali ke kampung halaman.

Di kampung halaman, keluarga mereka mulai mengkhawatirkan prospek pernikahan pemuda mereka. 

Di sisi lain, pemerintah menerapkan kebijakan ketat satu anak untuk satu keluarga selama beberapa dekade.

Hal itu telah menciptakan ketidakseimbangan gender yang parah di Tiongkok.

Di daerah pedesaan, ketimpangan ini menyulitkan laki-laki muda untuk menemukan calon pengantin yang cocok.

Selain itu, bnyak anak muda China yang memilih untuk tetap melajang atau menunda menikah karena prospek pekerjaan yang buruk dan kekhawatiran tentang masa depan karena pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia melambat.

Angka pernikahan terus menurun di China sejak 2014. 

Menurut pakar demografi He Yafu kepada Global Times, meskipun ada sedikit peningkatan pada tahun 2023 karena permintaan yang terpendam setelah pelonggaran pembatasan pandemi, angka tahun ini diperkirakan akan turun ke level terendah sejak 1980.

He menjelaskan, alasan penurunan pendaftaran pernikahan termasuk penurunan jumlah anak muda, di mana lebih banyak laki-laki dalam populasi yang dapat dinikahi dibandingkan perempuan, tingginya biaya pernikahan, dan perubahan sikap.

"Tren penurunan angka kelahiran China dalam jangka panjang akan sulit diubah secara mendasar kecuali kebijakan dukungan persalinan yang substansial diterapkan di masa depan untuk mengatasi tantangan ini," kata He.

Ketidakseimbangan Gender

Seorang perempuan mengungkapkan kenyataan di daerahnya, menjelaskan bahwa anak perempuan sangat langka bahkan perempuan yang sudah menikah, seperti dirinya, diperlakukan seperti barang berharga.

Dia menyebutkan bahwa jika dia bertengkar dengan suaminya dan tinggal di rumah orang tuanya selama sekitar sepuluh hari, para mak comblang akan mulai mengetuk pintu, menanyakan apakah dia sudah bercerai. 

Meski menganggap dirinya polos, dia menerima perhatian seperti ini, menyiratkan betapa besarnya minat terhadap gadis-gadis muda yang belum menikah.

Saat remaja putri berjalan di jalan, mereka sering kali menarik perhatian pria dan perempuan lanjut usia yang mencoba menjebak mereka.

Seorang pria menjelaskan bahwa selama Tahun Baru, dua gadis di desanya menarik banyak pelamar.

Pintu masuk keluarga menjadi penuh sesak dengan lebih dari 12 mobil, dan mereka tetap sibuk sepanjang hari.

Para bujangan pedesaan, mengenakan pakaian terbaik mereka, dengan sabar menunggu kesempatan untuk bertemu dengan gadis-gadis.

Karena ketidakseimbangan gender di Tiongkok, ongkos pernikahan yang tinggi adalah hal yang biasa. Di banyak tempat, ongkos ini bisa mencapai ratusan ribu dolar, sehingga upah yang diperoleh dengan susah payah dan terbatas dari seorang petani tidak dapat memenuhi permintaan.

Di antara perempuan lanjut usia yang belum menikah, beberapa dari mereka tetap mempertahankan ekspektasi yang tinggi. Yakni, terus menuntut mahar yang besar dari calon suami, dan hal ini menimbulkan banyak perdebatan. Namun, perspektif ini tidak bersifat universal. 

Banyak wanita lanjut usia juga menghadapi tantangan dan perjuangan unik mereka sendiri.

Seorang perempuan, kini berusia 37 tahun dan masih belum menikah, mengungkapkan kekhawatirannya. Dia mencatat bahwa meskipun hidupnya tidak terlalu menyedihkan, dia tidak ingin gadis-gadis muda berakhir seperti dia. 

Di usianya yang sekarang, masalahnya bukan pada kurangnya keinginan untuk menikah, melainkan sulitnya menemukan seseorang yang cocok.

Dia menekankan bahwa masalahnya bukan pada penampilan, pendapatan, pendidikan, atau prestasinya, tetapi terbatasnya jumlah pria lajang seusianya yang memiliki kondisi baik. Kebanyakan dari pria ini lebih menyukai wanita yang lebih muda. 

Alternatifnya adalah menikah dengan pria yang sudah bercerai, namun banyak dari mereka yang sudah memiliki anak, dan menjadi ibu tiri memerlukan persiapan mental yang signifikan.

Dia mempertanyakan apakah keluarga laki-laki tersebut akan menganggap dia mampu menjadi ibu tiri yang baik, mengingat dia sendiri belum pernah menikah atau memiliki anak. 

“Jadi, ketika Anda masih muda dan punya pilihan, lebih baik menikah. Risikonya tidak sebesar yang Anda bayangkan,” kata perempuan itu dikutip dari Widelens Report, Jumat, 7 Februari 2025.

Ekspektasi Materialistis

Seorang perempuan yang belajar di luar negeri merangkum ekspektasi perjodohan saat ini di Tiongkok.

Ia mengamati bahwa baik pria maupun wanita memiliki kriteria khusus untuk calon pasangannya. Laki-laki biasanya menginginkan perempuan yang punya pekerjaan, bisa mengatur tugas-tugas rumah tangga, merawat orang tua, membesarkan anak, menuntut mahar yang rendah, menyumbang cicilan rumah, berpenampilan menarik, dan menghidupi diri sendiri tanpa meminta uang. 

Di sisi lain, perempuan umumnya mencari laki-laki yang memiliki tinggi badan minimal 1,75 meter, memiliki pekerjaan tetap, berpenampilan baik, dan lebih disukai memiliki gelar sarjana, rumah, dan mobil. Mereka juga lebih menyukai laki-laki tanpa saudara kandung, dan idealnya jika orang tua laki-laki tersebut mempunyai uang pensiun.

Dinamika ini menyoroti pola pikir banyak lajang yang lebih tua selama perjodohan. Beberapa netizen mengatakan bahwa di Tiongkok, cinta tidak lagi menjadi prioritas dalam negosiasi, tawar-menawar, dan transaksi bisnis. 

“Di Tiongkok, tidak ada cinta, yang ada hanyalah negosiasi, tawar-menawar, dan transaksi bisnis,” kata mereka.

Mereka membandingkannya dengan anak muda di luar negeri yang jatuh cinta dengan membicarakan minat, karier, impian, dan olahraga yang mereka anggap sebagai cinta sejati. Yang lain juga menyatakan hal yang sama, “Ini semua hanyalah kesepakatan bisnis.”

Banyak perempuan Tiongkok menetapkan standar materialistis yang tinggi terhadap pasangannya.

Namun, ketika perekonomian Tiongkok melemah, PHK dan pemotongan gaji terus meningkat.

Beberapa pemilik bisnis kini mengantarkan makanan atau berkendara untuk layanan ride-hailing. Di daerah pedesaan, laki-laki muda seringkali menghadapi kondisi ekonomi yang lebih sulit dibandingkan laki-laki di perkotaan.

Ketidakseimbangan gender dan ekspektasi materialistis perempuan telah menjadikan pernikahan sebagai tantangan bagi laki-laki.

Hal ini disebabkan oleh bertahun-tahun pemerintah Tiongkok mengikis budaya tradisional dan mempromosikan materialisme, ditambah dengan kemerosotan ekonomi yang parah. Masyarakat awam semakin sulit bertahan hidup di tengah iklim ekonomi yang sulit ini.

SUMBER

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas