Harus Segera Diambil Tindakan Terhadap Repeater Ilegal
Penggunaan repeater yang tidak memiliki izin berkonsekuensi hukum yang bisa masuk ke tindak pidana telekomunikasi.
Editor: Budi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM.JAKARTA—Maraknya penggunaan penguat sinyal jaringan telekomunikasi seluler atau repeater, akhir-akhir ini makin meresahkan masyarakat. Pasalnya, penguat sinyal ini tidak bisa dipakai secara sembarangan. Keberadaan satu repeater ilegal bisa mengganggu wilayah sekitar BTS terdekat, bahkan bisa mengganggu juga BTS-BTS lain milik operator seluler lainnya
“Ini berkaitan dengan sifat repeater itu sendiri. Penguatan sinyal di satu tempat akan menyebabkan pelemahan di spot yang sama dan mengakibatkan bertambahnya jumlah repeater karena kebutuhan masyarakat akan sinyal yang kuat,” ujar Nonot Harsono, Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) saat dihubungi Kamis (12/6/2014).
Jika kondisi ini tidak segera diambil tindakan, kata Nonot, maka yang rugi tidak hanya operator tetapi juga masyarakat Indonesia. Banyak orang tidak tahu, sehingga mereka mengklaim repeater mereka sendiri, padahal itu mengganggu lalu lintas telekomunikasi.
Nonot menjelaskan, BTS seluler itu dirancang serba otomatis, kalau kita di dekat BTS, otomatis BTS akan mengurangi daya pancarnya. Jika jauh dari BTS, power pancaran akan ditambah. Terjadi mekanisme otomatis, seperti auto correct di komputer. Kalau ada repeater, dayanya akan menjadi besar. BTS akan menganggap posisi pelanggan dekat dan akan melemahkan daya. “Kondisi ini membuat yang lain juga memakai repeater,” ujarnya.
Kondisi gangguan terhadap BTS akibat repeater ilegal ini, sangat dirasakan operator seluler dan para pengguna. Gangguan-gangguan akibat repeater ilegal ini yang paling banyak berkaitan dengan sulitnya menerima panggilan suara, kualitas suara yang buruk, hingga panggilan yang terputus. Di sisi lain, layanan pesan singkat (SMS) juga seringkali gagal mengirim dan menerima. Sedangkan untuk layanan data, gangguan bisa berupa akses data yang susah dan throughput yang rendah.
Telkomsel, misalnya, mencatat sepanjang tahun 2013 lalu, ada sekitar 121 kasus laporan repeater ilegal, belum termasuk yang tidak dilaporkan. Keberadaan repeater ilegal tersebut telah mengganggu sekitar 792 menara BTS milik Telkomsel di seluruh Indonesia. Kasus repeater ilegal ini paling banyak terjadi di wilayah Jabodetabek. Sedangkan Indosat mengklaim ada sekitar 200-an kasus laporan repeater ilegal sepanjang tahun 2013.
Melihat fakta tersebut, Nonot mengingatkan, penggunaan repeater yang tidak memiliki izin berkonsekuensi hukum yang bisa masuk ke tindak pidana telekomunikasi. Karena itu, dia menghimbau Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk terus melakukan sosialisasi dalam pemberantasan repeater ilegal ini, sebab masyarakat banyak yang tidak mengerti. “Diperlukan komitmen yang tinggi untuk berantas repeater ilegal hingga ke akar-akarnya,” ujarnya.
Sementara itu, Komisi I DPR RI yang merupakan mitra dari Kemenkominfo telah menyiapkan agenda untuk mengundang Kemenkominfo bersama seluruh operator telekomunikasi seluler yang ada di Indonesia terkait repeater ilegal ini.
“Selama ini memang kami belum membicarakan secara khusus dengan Kominfo dan operator telekomunikasi. Namun jika melihat perkembangan di lapangan yang kian mengkhawatirkan dan juga berpotensi terjadinya penyalahgunaan, kami akan menyiapkan agenda khusus mengundang Kominfo plus operator telekomunikasi untuk membicarakan masalah ini,” ujar Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq saat dihubungi wartawan, Kamis (12/6). “Hasil pertemuan nanti akan melahirkan sikap yang sama terkait repeater ilegal ini.”
Harus diakui, kata Mahfudz, Komisi I telah mencatat banyaknya keluhan dari masyarakat terkait jaringan telekomunikasi ini. Saat ini, bukan hanya di area luas saja tapi juga gedung-gedung bertingkat menciptakan area blank spot baru. Kondisi ini tampaknya tidak segera direspon dan dilayani oleh operator sehingga memicu munculnya repeater ilegal. “Meski pada tahap awal membantu publik dalam sisi layanan, tapi kalau ini dibiarkan tentu akan mengganggu iklim usaha atau industri telekomunikasi secara massif,” ujarnya.
Mahfudz menegaskan bahwa repeater ilegal ini lebih pada masalah teknis legalitas peredarannya dimana melibatkan para operator telekomunikasi seluler dan pihak Kemenkominfo yang mengeluarkan sertifikasinya. “Saya pikir ini tidak menyangkut di level UU. Meski demikian, perlu ada kesamaan sikap antara DPR, Kemenkominfo, seluruh operator telekomunikasi, dan kepolisian sebagai aparat penegak hukum. Ini akan memudahkan untuk memberantas repeater ilegal hingga tuntas,” pungkasnya. .