Teka-teki Situs Berarsitektur Magis di Tondowongso Kediri
Struktur itu ditemukan akhir tahun 2006 lalu oleh warga setempat yang menggali tanah untuk tanah urug dan batu bata.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, KEDIRI - Sebuah struktur bangunan kuno dengan arsitektur magis ditemukan di Dusun Tondowongso, Desa Gayam, Kecamatan Gurah, Kediri. Kini, para arkeolog dari Balai Arkeologi Yogyakarta tengah mendalaminya.
Struktur itu ditemukan akhir tahun 2006 lalu oleh warga setempat yang menggali tanah untuk tanah urug dan batu bata.
Penelitian tahap pertama struktur tersebut telah dilakukan pada 2007 - 2014 lalu. 10 - 23 Oktober 2016 ini, tim arkeolog yang dipimpin oleh Sugeng Riyanto tengah melakukan riset tahap kedua.
"Penelitian lanjutan berupaya mengungkap bagian-bagian dari kompleks suci tersebut," ujar Sugeng saat ditemui di sela eskavasi, Rabu (19/10/2016). Tujuannya, mengurai kisah situs yang kini penuh teka-teki itu.
Struktur yang diperkirakan mencakup area lahan seluas 120 - 120 meter itu dikatakan magis karena denah serta arsitekturnya.
Sekat-sekatnya membentuk ruang 3 X 3 sehingga ada 9 bidang. Apabila ditarik asumsi pada lahan ke dua seluas 350 meter X 300 meter, jumlahnya terdapat 81 bidang ruang.
Dalam konteks simbol keagamaan, jumlah denah bidang itu mirip dengan konsep Vastu Purusha Mandala, konsep arsitektur magis dalam agama Hindu.
Kompleks bangunan agama Hindu dibangun dengan konsep itu untuk mencegah kemarahan Vastu Purusha, raksasa yang diciptakan oleh Dewa Brahma.
Alkisah, raksasa itu tumbuh cepat, marah, dan melahap segala sesuatu di Bumi. Dewa lain membunuhnya namun Brahma membuatnya abadi.
Vastu Purusha Mandala selain menjadi jawaban untuk mencegah kemarahan raksasa juga mempertimbangkan aspek kosmos lain, terutama energi.
Bagian dari Situs Megah
Struktur Tondowongso sebelumnya juga pernah dikaji oleh tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Mojokerto maupun peneliti dari beberapa perguruan tinggi.
Penelitian sebelumnya sampai pada kesimpulan bahwa Situs Tondowongso mempunyai kesamaan dengan Candi Gurah secara struktur maupun arca.
Candi Gurah terletak 300 meter dari lokasi Tondowongso dan telah diteliti oleh seorang arkeolog pada tahun 1957 silam. Candi itu berasal dari masa peralihan pusat kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Karena memiliki kesamaan dengan Candi Gurah, diduga struktur Tondowongso pun juga berasal dari masa yang sama, tepatnya antara kekuasaan Sindok (929 M) hingga Kertajaya (1222 M).
Analisis karbon mengungkap, struktur Tondowongso berasal dari tahun 1006 M. Kala itu, raja yang berkuasa di Jawa adalah Darmawangsa Tguh.
Arkeolog meyakini, candi Gurah dan Tondowongso yang sama-sama berorientasi Hindu Syiwa bukan hanya semasa, namun terhubung satu sama lain.
Keduanya - bersama satu bangunan diduga gapura yang terletak 300 meter dari Tondowongso - merupakan sebuah kompleks pemukiman Hindu kuno.
Sugeng mengungkapkan, kompleks itu sungguh eksotis walaupun kondisinya tidak prima lagi. Jika ditotal, luas kompleks itu lebih dari 12 hektar.
Pemerintah Kabupaten Kediri telah membebaskan lahan seluas 1 hektar di Tondowongso sehingga ekskavasi bisa dilakukan.
Mengalami "Penderitaan"
Tak primanya kondisi situs Tondowongso merupakan akibat dari "penderitaan" yang dialaminya selama ribuan tahun.
Kompleks itu melewati beragam dinamika politik, dinamika keagamaan, hingga dinamika alam.
Kurang lebih 1.000 tahun lalu, Ken Arok menakhlukkan Kerajaan Kediri. Dia berasal dari dinasti dan orientasi keagamaan yang berbeda.
Ken Arok memindahkan pusat pemerintahan dari Daha ke Tumapel. Konsepsi keagamaan raja selanjutnya berkembang hingga persembahan kepada leluhur.
"Itu menjadi momentum awal dimana kompleks mulai menderita," tutur Sugeng Riyanto. Kompleks yang semula agung menjadi kurang berarti.
Namun, "penderitaan" paling berat adalah karena faktor alam. Letusan Gunung Kelud pada 1334 seperti tercatat dalam buku agung masa Majapahit, Negarakertagama karangan Mpu Prapanca, adalah salah satunya.
Material vulkanik mengubur situs tersebut. Letusan sesudahnya yang terjadi pada tahun 1586 M turut menambah masalah.
Sugeng menambahkan, "penderitaan" juga dialami kompleks situs Tondowongso saat Belanda pada abad ke 15 mulai membuka lahan tebu untuk memasok gula ke negaranya.
Belanda memindahkan sungai yang awalnya berada di utara komplek, dibuat mengalir tepat ke tengah komplek untuk mengaliri lahan tebu mereka.
"Itulah mengapa struktur bangunan yang kita temukan, kondisinya banyak yang rusak atau tidak utuh," ungkap Sugeng yang sebelumnya juga mengungkap keberadaan pemukiman kuno di Liyangan, kaki Gunung Sindoro.