Tes Keperawanan Bisa Picu Trauma Anak Perempuan
Wacana DPRD Jambi untuk melakukan tes keperawanan sebagai syarat masuk sekolah negeri bisa menimbulkan trauma psikis pada anak perempuan.
Editor: Anita K Wardhani
Psikolog Sani B. Hermawan Psi mengatakan bila dari segi fisik, tak semua anak perempuan suka kelaminnya `diintip' orang lain. Biarpun alasannya untuk memastikan keperawanan dalam pengertian selaput dara yang utuh.
Tambah lagi bila ternyata selaput dara diketahui rusak, tapi karena hal lain. Bukannya karena berhubungan seks. Tentunya hasil tes tidak mencantumkan atau peduli tentang hal itu.
"Pihak yang memeriksa kan tahunya hanya kalau selaput dara rusak artinya sudah tak perawan. Sedangkan yang utuh artinya masih perawan. Nah, kalau selaput dara si anak perempuan rusak karena kecelakaan kemudian dituduh sudah tak perawan hingga tak boleh masuk sekolah negeri tentunya akan berdampak pada sisi psikologis si anak," papar Sani.
Efek dari serangan psikologis tersebut bisa membuat si anak malah enggan sekolah. Kalau sampai si anak tak tahan menanggung malu, bisa-bisa si anak melakukan tindakan nekat.
Pakar seks dari Universitas Udayana, Bali Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila Sp.And FAACS dalam pesan singkatnya kepada sehatnews.com mengatakan kalau dokter pun tak tahu penyebab pasti robeknya selaput dara. Apakah karena berhubungan seks atau bukan.
"Tes keperawanan bagi siswi sebagai syarat masuk sekolah adalah sebuah kebodohan yang menunjukkan ketidakmengertian tentang seksualitas," tegas Wimpie.
Tes keperawanan tersebut dinilai Sani tak ada gunanya. Sebab nilai-nilai seorang manusia tak bisa diukur hanya dari keperawanan dalam artinya selaput dara robek.
"Sebenarnya apa sih yang mau diukur dari tes tersebut? Kalau memang sudah tak perawan atau selaput daranya sobek lalu tak boleh sekolah? Benar-benar tes yang tak masuk akal dan tak berguna," imbuh Sani.