Autisme Bukan Bahan Tertawaan
Sebanyak 30 anak autis melakukan jalan santai bersama komunitas peduli difabel di jalan Pemuda, Kota Semarang, Minggu (26/4/2015) pagi.
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Sebanyak 30 anak autis melakukan jalan santai bersama komunitas peduli difabel di jalan Pemuda, Kota Semarang, Minggu (26/4/2015) pagi.
Total masyarakat yang peduli difabel pagi itu mencapai 300-an orang untuk memperingati Bulan Peduli Autism.
Ketua panitia , Lani Setyadi menjelaskan peringatan bulan autis dilaksanakan secara tiga hari. Tahun ini, ia mengambil judul autisme bukan guyonan (tertawaan)
"Kami miris kata autis dijadikan guyonan misalnya penyebutan kamu kayak orang autis dan sebagainya. Tidak semua orang bisa menerima hal itu," katanya di depan balai kota Semarang, Minggu (26/4/2015).
Ia mengatakan, masyarakat seharusnya menerima penyandang autis di sekitar mereka. Bukan malah melakukan diskriminasi.perhatian dari lingkungan sekitar-lah yang bisa menolong penyandang autis.
Lani menyebut beberapa ciri autisme dari sisi interaksi sosial antara lain ketika dipanggil tidak menengok, tidak mau menatap, tidak peduli dengan lingkungan dan sebagainya. Namun, hal itu bisa diubah dengan terapi yang tepat.
"Penyandang autisme ada kelebihan tersendiri misalnya sangat pandai matematika hingga prestasi tingkat internasional, ada pandai menghapalkan, bercerita dalam bahasa inggris, menari dan sebagainya," kata pemilik yayasan yogasmara di Srondol Bumi Indah itu.Sri Murni (49) sebagai orangtua penyandang autis membenarkan bahwa dirinya tidak terima kata autis dijadikan guyonan. Ia merasa miris ketika kata itu dipakai untuk guyonan. Sebab, ia punya anak penyandang autis yang berprestasi.
"Anak saya ini saat ini hapal enam juz al quran," jelasnya.
Ia ingin greget kepedulian terhadap autis di kota Semarang masih kurang. Dibanding kota besar lainnya, kegiatan untuk penyandang autis masih kurang. Menurutnya, kepedulian masyarakat terkait penyandang autis harus dipupuk.