Antibiotik Tidak Boleh Dijual Bebas
Selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas, juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Penggunaan antibiotik yang tidak bijak dan tidak sesuai Indikasi, jenis, dosis dan lamanya, serta kurangnya kepatuhan penggunaan antibiotik merupakan penyebab timbulnya resistensi.
Selain itu, penyebab banyaknya kasus resistensi antibiotik dipicu pula mudahnya masyarakat membeli antibiotik tanpa resesp dokter di apotek, kios atau warung.
"Seharusnya, antibiotik tidak dijual bebas dan harus berdasarkan resep dokter," kata Letua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA), Kementerian Kesehatan RI, dr Hari Paraton SpOG(K) saat Pfizer Press Circle (PPC) bertema Kendalikan Penggunaan Antibiotik untuk Mencegah Munculnya Resistensi Bakteri di Yogyakarta
Dikatakannya, kebiasaan menyimpan antibiotik cadangan di rumah, memberi antibiotik kepada keluarga, tetangga atau teman merupakan kebiasaan yang banyak dijumpai di masyarakat juga mendorong resistensi antibiotik.
Saat ini, antibiotik telah memiliki peran penting pada dunia kedokteran, karena telah menyembuhkan banyak kasus infeksi, namun intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotik.
Selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas, juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi.
“Tidak semua penyakit infeksi perlu ditangani dengan memberi antibiotik, penggunaan antibiotik semata hanya untuk mengobati penyakit yang disebabkan infeksi bakteri. Perlu disadari bahwa antibiotik digunakan untuk mengobati infeksi bakteri, bukan mencegah atau mengatasi penyakit akibat virus," katanya.
Bakteri resisten terjadi akibat penggunaan antibiotik yang tidak bijak dan penerapan kewaspadaan standar (standard precaution) yang tidak benar di fasilitas pelayanan kesehatan.
Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik.
Pada penelitian kualitas penggunaan antibiotik diberbagai rumah sakit di Indonesia ditemukan 30% - 80% tidak didasarkan pada indikasi.
"Berdasarkan data penelitian WHO dan KPRA/PPRA tahun 2013 di 6 Rumah Sakit Pendidikan di Indonesia diidentifikasi bakteri penghasil ESBL (Extended-Spectrum Beta-Lactamase) 40-50% resisten terhadap golongan Cephalosporin generasi 3 dan 4,” kata Hari Paraton.
Widyaretna Buenastuti, Public Affairs & Communication Director PT Pfizer mengatakan, Pfizer berkomitmen menjalankan segala kegiatan dan operasionalnya demi masyarakat Indonesia yang lebih sehat.
"Pfizer ikut peduli dan mendukung kampanye pengendalian penggunaan antibiotik untuk mencegah munculnya resistensi antimikroba, salah satunya dengan mengadakan kegiatan Pfizer Press Circle dengan topik resistensi antibiotik," katanya.