Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
DOWNLOAD
Tribun Kesehatan

Ini Pentingnya Process Analytical Technology Dalam Industri Farmasi

WHO mendukung Kementerian Kesehatan Indonesia dalam mengembangkan Rencana Tindak Nasional terhadap AMR dengan menyelenggarakan analisa situasi.

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Ini Pentingnya Process Analytical Technology Dalam Industri Farmasi
Tribun jateng/Wahyu Sulistiyawan
Petugas memproduksi obat anti mabuk (antimo) yang menjadi salah satu produk unggulan di PT. Phapros, jalan Simongan, Kota Semarang, Jateng, Jumat (20/6/2014). PT Papros yang merupakan salah satu BUMN di bidang farmasi ini akan memperluas pabrik tiga hingga empat hektar. (Tribun Jateng/Wahyu Sulistiyawan) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Coordinator, DBT COE of Biopharmaceutical Technology, Department of Chemical Engineering, dari Indian Institute of Technology-Delhi, New Delhi, Prof. Anurag S. Rathore, Ph.D menyampaikan pentingnya Process Analytical Technology (PAT)  dalam industri farmasi.

PAT merupakan sebuah rangka kerja untuk proses dan pemantauan bahan mentah obat dengan menyesuaikan parameter proses untuk memastikan kualitas produk yang konsisten untuk memastikan pengembangan, manufaktur, kualias farmasi yang inovatif.

"Dampak penerapan PAT oleh pabrik obat yaitu dapat meningkatkan keseragaman produk, mengurangi kebutuhan sampling, pengawasan proses kritikal, dampak riset dan penemuan yang positif, mengurangi waktu atau siklus pengembangan produk ke pasar," kata Anurag di Jakarta, Jumat  (13/10/2017).

Yang paling penting, kata dia PAT dapat  mengurangi dampak negatif  terhadap lingkungan (kepastian yang lebih besar bagi lingkungan proses dan pabrik terjaga sesuai dengan regulasi ramah lingkungan) dan mengurangi hasil limbah selama proses pembuatan.

Penerapan PAT oleh pabrik obat dapat mewujudkan manufakturing bersih, sehingga akhirnya dapat menekan angka antimicrobial resistance (AMR).

Baca: Perusahaan Farmasi di Adelaide Siap Produksi Ganja Obat

“Dalam AMR, tantangan utama adalah pengelolaan infeksi yang tidak efisien dan tidak efektif karena kurangnya pengetahuan dan pendidikan, pengaturan penggunaan antibiotik yang lemah, tingginya pengobatan sendiri, langkanya data nasional resmi mengenai resistensi antimicrobial dan proses manufaktur yang tidak teregulasi dan tidak bertanggung jawab," katanya.

Berita Rekomendasi

Menurut laporan WHO yang baru-baru ini diterbitkan berjudul ‘Agen antibacterial dalam pengembangan klinis – sebuah analisa jalur pengembangan klinis antibacterial termasuk tuberculosis,” dunia kehabisan antibiotik dan kita tidak mempunyai cukup antibiotik untuk memerangi ancaman AMR (Antimicrobial Resistance).

Kebanyakan obat yang ada pada jalur klinis saat ini adalah modifikasi dari kelas-kelas antibiotik yang sudah ada dan hanya merupakan solusi sementara.

Selain itu, untuk menjaga potensinya, obat baru harus ditemukan.

WHO mendukung Kementerian Kesehatan Indonesia dalam mengembangkan Rencana Tindak Nasional terhadap AMR dengan menyelenggarakan analisa situasi.

Baca: Ini yang Akan Disampaikan Monica dalam Forum WHO di Kanada

Dimulai pada bulan Desember 2016, ulasan ini menunjukkan keseluruhan pandangan situasi Indonesia saat ini dan kesenjangan kapasitas.

Kantor Regional Asia Tenggara dari WHO memberikan dukungan teknis untuk inisiatif ini bersamaan dengan konsultan independen yang terlibat dalam dialog dengan pemangku kepentingan dari Kementerian Kesehatan. 

Berdasarkan analisa tersebut, WHO-SEARO mengajukan sebuah pendekatan bertahap fase demi fase untuk penerapan Rencana Tindak Dunia milik WHO atau WHO’s Global Action Plan – GAP-AMR dalam lima tahap.

Perhatian dalam hal 

Baca: Kemenperin Susun Regulasi TKDN Sektor Farmasi

oleh perusahaan farmasi juga fokus pada salah satu pendorong utamanya yaitu polusi lingkungan tanpa henti yang dihasilkan oleh perusahaan manufaktur obat di negara berkembang.

"Di India dan Tiongkok, yang memproduksi banyak sekali antibiotik, peraturan mengenai pembuangan limbah tak diolah yang mengotori tanah dan sungai sangat lemah," katanya.

Hal ini menyebabkan penyebaran bahan-bahan antibiotik yang membuat bakteri menjadi imun terhadap antibiotik dan terciptalah superbug (bakteri yang tidak lagi bisa dikalahkan oleh antibiotik).

Valerio di Caprio, Global Strategy Director and Marketing Director, AMEA, DSP menyatakan sangat penting untuk terus menerus menyerukan betapa pentingnya penaatan peraturan oleh industri farmasi.

"DSP memperjuangkan aksi bersama, penyebaran pengetahuan dan koordinasi multi-sektoral,' katanya.

Bersama dengan 12 perusahaan farmasi besar, kata dia telah menanda-tangani RoadmapUNGA untuk mengembangkan perlawanan AMR dan berikrar untuk mengurangidampak kerusakan lingkungan dari pembuangan limbah manufaktur di tahun 2020.

 Rajesh Salwan, Vice President, Global Operations and Technology, DSP, mengatakan investasi dalam riset yang inovatif harus dibarengi dengan menjawab dua tantangan utama tentang kemampuanmembeli dan kualitas. 

"Kemajuan yang pesat telah dicapai oleh keseluruhanindustri  dalam hal komitmen, tetapi yang penting adalah pelaksanaannya dalam agenda antibiotik yang berkelanjutan, yang dapat menangani superbug dalam realitas dunia sekarang dan di masa depan," katanya. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas