Stok Obat ARV Menipis, Januari 2020 Ribuan Pengidap HIV/AIDS Bakal Putus obat
Pihaknya menilai respon pemerintah terkait pengadaan obat ARV ini dirasa kurang padahal dananya sudah tersedia
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana mengatakan stok obat Antiretroviral (ARV) yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menekan virus HIV/AIDS dalam tubuh orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sudah menipis.
"Dilihat dari data stok ARV yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, beberapa obat ARV sudah menunjukkan stok diambang kekurangan atau dalam kondisi “merah” ," ucap Aditya Wardhana dalam keterangannya memperingati Hari AIDS Sedunia, yang diperingati hari ini, Minggu 1 Desember 2019.
Aditya Wardhana menuturkan kondisi tersebut dapat diartikan bahwa dalam jangka waktu 1 atau 2 bulan kedepan ODHA yang mengkonsumsi obat ARV jenis ini akan menghadapi kesulitan dalam mengakses obat ARV karena stok obat habis.
Pihaknya menilai respon pemerintah terkait pengadaan obat ARV ini dirasa kurang padahal dananya sudah tersedia dan bahkan beberapa obat sudah tercantum dalam E-Katalog.
Baca: Hari AIDS Sedunia 1 Desember: 640 Ribu Orang Indonesia Terinfeksi HIV, Sekarang Ada Obat ARV
Berdasarkan data yang didapat dari Kementerian Kesehatan mengenai stok ARV nasional per tanggal 22 November 2019, untuk obat ARV jenis TLE (Tenovofir, Lamivudin, Zidovudine) dengan jumlah pasien yang dalam pengobatan ARV jenis ini sebanyak 48.981 ODHA hanya tersisa 290.908 botol saja sehingga apabila dikalkulasikan stok tersebut hanya akan cukup untuk konsumsi 5,9 bulan kedepan.
Padahal idealnya stok kecukupan ARV dikatakan dalam batas aman bisa dapat menyuplai kebutuhan selama 9 bulan dikarenakan beberapa obat ARV ini masih di import dan oleh karenanya memerlukan waktu yang cukup guna bisa didistribusikan kepada pasien.
Putus pengobatan ARV bagi ODHA, diungkap Aditya Wardhana akan memperburuk tingkat kesehatannya bahkan bisa menemui kematian dan juga akhirnya bila ODHA tersebut melakukan kegiatan beresiko maka dia akan menularkan HIV kepada orang lain.
"Status “merah” tidak hanya ARV jenis TLE saja, ada beberapa obat lain yang masuk dalam status “merah” yaitu Abacavir 300mg, Efavirenz 200mg, Liponavir/Ritonavir, Tenofovir 300mg dan Zidovudine Emtricitabine," tuturnya.
Status stok obat-obatan tersebut semuanya tidak berada dalam batas aman. Yang terendah adalah obat ARV dari jenis Tenofovir 300mg yang tersisa stock untuk 2,5 bulan dan dikonsumsi oleh 29.131 pasien dan obat ARV jenis kombinasi Tenofovir Emtricitabine yang lebih parah lagi hanya dapat bertahan selama 1,5 bulan untuk 5.238 pasien.
"Dapat dipastikan, bisa pengadaan obat tidak segera dilakukan secepatnya, mulai dari bulan Januari 2020 ribuan ODHA akan mengalami putus obat. Angka kasus HIV sampai dengan bulan Oktober 2019 menunjukan bahwa dari estimasi 640.443 ODHA yang ada di Indonesia, baru terdapat 368.239 ODHA yang mengetahui statusnya dan hanya 124.813 orang yang masih dalam pengobatan," ungkapnya.
Untuk diketahui obat ARV merupakan satu-satunya metode terapi pengobatan yang telah terbukti dapat mempertahankan kondisi orang dengan HIV tetap berada dalam kondisi sehat seperti pada orang pada umumnya dan mencegah timbulnya fase AIDS.
Dengan hadirnya pengobatan ARV, epidemic HIV dapat dikendalikan sehingga ini merupakan strategi utama. Orang dengan HIV yang meminum obat ARV secara teratur memiliki kondisi kesehatan yang tidak berbeda dengan orang lainnya yang tidak terinfeksi HIV.
Tidak hanya menjadikan kondisi tetap sehat, ARV juga merupakan upaya dalam mengurangi penularan ke orang lain karena ODHA dengan kepatuhan yang baik akan memiliki nilai Viral Load atau jumlah virus dalam tubuh hingga tingkat tidak terdeteksi dan tidak lagi dapat menularkan virusnya pada orang lain.