Penyandang Autisme Naik, Kemasan Plastik Mengandung BPA Diduga Jadi Salah Satu Penyebabnya
Jumlah penderita anak Autisme di Indonesia sekitar 2.4 juta. Jumlah ini naik terus dari tahun ke tahun.
Penulis: Anita K Wardhani
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Anita Kusuma Wardani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jumlah penyandang autisme tiap tahun meningkat. Ada 500 anak tiap tahun tambahan anak autis.
Menurut data terkahir, jumlah penderita anak Autisme di Indonesia sekitar 2.4 juta. Jumlah ini naik terus dari tahun ke tahun.
Dr Imaculata Sumayati, pakar pendidikan anak autis membeberkan fakta ini dalam keteragan tertulisnya.
Menurutnyanya, anak Autisme itu satu fakta yang harus diperhatikan. Dr Imaculata Sumayati menjelaskan, dari sisi pengobatannya memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Setidaknya jika sekolah, dibutuhkan jumlah guru yang sama besarnya dengan penderita Autisme itu sendiri.
" Untuk mengajar anak Autisme itu satu murid satu guru. Kalau anak normal, satu guru bisa mengajar 30 murid," ujar Imaculata.
Baca juga: Atur Jarak Kehamilan Cegah Anak Lahir Stunting dan Autism
Tentang data penyandang autisme yang semakin meningkat jika dilihat dari data CDC (Center for Disease Control and Prevention, USA) pada tahun 2012, bahwa setiap setiap 88 anak, ditemukan 1 anak pengidap autisme. Dan angka ini terus meningkat. Pada tahun 2014, setiap 68 anak ditemukan satu anak autis.
Baca juga: Merawat Anak Autis dengan Kasih ala Melly Budhiman
Di Indonesia sendiri sampai saat ini belum ada survey mengenai jumlah akurat anak penyandang autisme. Namun, dari beberapa laporan para profesional yang bergerak dalam penanganan anak autis diketahui pada lima tahun terakhir jumlah angka pertumbuhan jumlah angka penyandang autis meningkat pesat.
Menurut Dr Melly Budiman pada tahun 2000 menyatakan perbandingan anak autis adalah 1:500. Artinya setiap 500 anak terdapat satu anak penyandang autisme.
Baca juga: Muncul Petisi Tolak Label BPA di Kemasan Galon Guna Ulang
Empat tahun kemudian, Menteri Kesehatan Siti Fadhilah Supari menyatakan jumlah anak penyandang autis adalah 475 ribu. Pada tahun 2006 jumlah anak penyandang autis di Indonesia adalah 1:150, artinya setiap 150 anak terdapat satu anak autis. Ini jelas naik 300 persen hanya dalam tempo 6 tahun. Jika mengacu pada jumlah anak Indonesia di tahun 2012 adalah 52 juta, maka jumlah anak autis tahun 2012 sebanyak 532,200 anak.
Jika pertambahan anak autis tiap tahun sebesar 53,220 anak, dan tiap hari kebanjiran penyandang autis sebanyak 147 anak. Dari tahun 2012 sampai tahun 2021 jika tiap hari pertambahan anak autis sebesar 147, maka dalam 10 tahun sedikitnya 529,200. Wajar jika tahun ini diperkirakan sebanyak 2,4 juta.
Baca juga: Kemenperin: Labelisasi BPA Free Pada Kemasan Pangan Belum Diperlukan
DR Imaculata telah mendirikan sekolah Imaculata Autism Boarding School. Sekolah ini adalah sekolah berkebutuhan khusus dan mempunyai asrama .
Didirikan sejak tahun 2000. Pada saat pertama kali dibuka menerima 5 penyandang autis.
Hanya selang sebulan sudah berjumlah 20 siswa autis. kemudian menerima 40 penderita autis.
Dr Imaculata mengaku setiap tahun jumlah pendaftar sekolah tersebut meningkat. Tahun ini saja sedikitnya 600 anak autis yang masuk daftar waiting list untuk bisa masuk sekolah tersebut.
Siapakah yang diduga dicurigai sebagai penyebab anak lahir autisme?
Menurut Dr Imaculata, salah satu yang paling layak untuk diduga dicurigai adalah penggunaan kemasan plastik yang mengandung bisphenol A (BPA)secara terus menerus.
"Kenapa anak anak bisa kena autisme? Lihat saja perilaku kita sehari hari, hampir tak pernah lepas dari plastik yang mengandung BPA. Makan, minum, mainan semua menggunakan plastik yang mengandung BPA," tutur Dr Imaculata.
Seperti yang dimuat oleh halaman sciencedaily. Com dengan judul Prenatal BPA Exposure May Contribute to the male bias of autisme spectrum.
Sebuah studi terbaru oleh peneliti dari Universitas Chulalongkorn, Universitas Tohoku dan Universitas George Washington yang pertama mengidentifikasi gen kandidat autisme yang mungkin bertanggung jawab atas spesifikasi jenis kelamin dari Bisphenol A (BPA) pada otak. Ini menunjukkan BPA dapat berfungsi sebagai faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap prevalensi bias pria pada gangguan spektrum austime (ASD).
Penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal scientific Reports. BPA banyak digunakan dalam banyak produk kehidupan sehari - hari dan berlimpah dalam mikro/nano plastik yang ditemukan di lingkungan, makanan, atau plasenta manusia. Ini dianggap sebagai pengaruh lingkungan pada ASD- gangguan perkembangan saraf yang ditandai dengan gangguan komunikasi sosial, minat terbatas, dan perilaku berulang.
"Banyak penelitian telah menunjukkan BPA merusak fungsi neurologis yang diketahui terganggu pada ASD, membuat para ilmuwan percaya bahwa BPA mungkin menjadi salah satu faktor risiko lingkungan utama untuk ASD, " kata asisten profesor Dr. Tewarit Sarachana, kepala unit penelitian System Neuroscience of Autism and Psychiatric disroder (SYNAPS) di Fakultas Ilmu Kesehatan Sekutu Universitas Chulalongkorn.
Di tahun 2021 sedikitnya ada lima penelitian penting tentang zat BPA sebagai salah satu faktor penyebab autisme. Pada 12 Maret 2021, eh journal. Biomedcentral mempublikasikan jurnal berjudul Prenatal exposure to Bisphenol A and autistic and ADHD-related symptoms in children aged 2 and 5 years from the Odense Child Cohort. Dalam jurnal tersebut ditemukan bahwa paparan BPA prenatal bahkan dalam konsentrasi yang rendah dapat meningkatkan risiko gejala autisme yang dapat memprediksi kemampuan sosial di kemudian hari.
Tepat sebulan kemudian, 12 April 2022, nature. Com merilis artikel berjudul Bisphenol exert detrimental effects on neuronal signalling in mature vertebrate brains. Jurnal tersebut dikeluarkan oleh Universitas Bayreuth yang menyimpulkan bahwa, "Bahan plastik (BPA) yang terkandung dalam banyak benda sehari hari dapat merusak fungsi otak yang penting pada manusia. Studi mereka menunjukkan bahwa bahkan sejumlah kecil pemlastis bisphenol A dan bisphenol s mengganggu transmisi sinyal antara sel sel saraf di otak.
Adapun penelitian paling mutakhir dipublikasikan oleh mdpl. Com pada 8 Desember 2021 lalu. Dalam jurnal yang berjudul Autisme - Related Transcription Factors Underlying the sex - Spesific Effects of prenatal Bisphenol A Exposure on Transcription - Interactome Profiles in the offspring Preprontal Cortex.
Jurnal tersebut menyatakan bahwa Bisphenol A (BPA) adalah faktor resiko lingkungan untuk gangguan spektrum autisme (ASD). Dan berkesimpulan berdasarkan risetnya temuan menunjukkan bahwa paparan BPA dalam rahim dapat meningkatkan risiko ASD dengan memengaruhi gen terkait ASD di korteks preprontal keturunan, mungkin melalui faktor transkripsi spesifik jenis kelamin yang terkait dengan gangguan tersebut.
Lantas bagaimana BPA bisa meracuni tubuh manusia?
Guru besar Departemen Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Prof. Dr Andri Cahyo Kumoro, S.T., M.T memberi pemahaman bagaimana zat BPA bisa lepas dari plastik polycarbonat.
Pelecutan zat BPA itu bisa terjadi apabila ada pemanasan dan gesekan. Dan kemungkinan terjadinya pelecutan atau migrasi BPA ke air yang paling mungkin terjadi di kota besar.
Misal galon guna ulang, kalau beredar di kota pasti frekwensinya lebih tinggi bila di banding bukan di kota.
"Di kota besar siklusnya lebih cepat. Di depo-depo isi ulang. Saya melihat di beberapa daerah membersihkan secara tradisional. Yang penting cepat, harusnya menggunakan sikat yang lembut sehingga kemungkinan kecil terjadinya pelecutan BPA," ungkap Prof. Andri.
Dengan fakta - fakta penelitian bahwa BPA sebagai salah satu faktor penyebabnya beberapa penyakit, dirinya sangat mendukung jika dilakukan pelabelan.
"Banyak konsumen tidak tahu simbol 7 itu artinya apa? Hanya produsen yang paham atau mereka yang berkecimpung di bidang ini," ungkap Prof Andri.
Karena banyak masyarakat tidak paham kode-kode dalam kemasan tersebut, lebih baik kemasan mengandung BPA di beri label agar tidak dikonsumsi oleh bayi, balita dan janin pada ibu hamil.