Cerita Perjuangan Penderita Tuberkolosis Resisten Obat untuk Sembuh
Ketika seseorang mengalami resistensi obat antibiotik, maka akan sulit untuk pulih dari penyakit yang diidapnya. Bahkan berisiko kehilangan nyawa.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketika seseorang mengalami resistensi obat antibiotik, maka akan sulit untuk pulih dari penyakit yang diidapnya. Bahkan berisiko kehilangan nyawa.
Paran Sarimita Winarni adalah seorang penderita tuberkolosis resisten obat antibiotik (TB RO).
Bermula tahun 2008 saat ia didiagnosa flek paru-paru.
Gejala yang dialaminya, yakni batuk terus- menerus, berkeringat di malam hari, kehilangan nafsu makan , hingga berat badannya drop.
"Saya diberikan beberapa obat yang harus saya konsumsi selama dua tahun," ungkapnya pada acara media briefing yang diadakan WHO Indonesia, Rabu (12/10/2022).
Dua tahun setelahnya, Paran dinyatakan sembuh. Namun, ia menyadari pengobatan yang dijalani tidak sesuai standar nasional maupun internasional.
Hingga pada tahun 2011, Paran mengalami gejala yang sama tetapi jauh lebih buruk.
"Saya batuk darah. Saya pergi ke dokter yang sama dan dia merujuk saya ke Puskesmas. Dokter di Puskesmas memberikan obat TBC termasuk suntikan harian (streptomycin). Ini membuat saya sangat tersiksa," kenang Paran.
Baca juga: Ini Upaya Pemerintah Agar Indonesia Targetkan HIV/AIDS, TBC, dan Malaria Terkendali di 2024
Paran diminta untuk memeriksakan dahak saya ke RS Persahabatan. Ia kemudian dinyatakan positif TBC Resisten Obat (RO).
Sontak hidupnya berantakan. Dinyatakan sebagai pasien TBC dengan RO membuatnya kehilangan pekerjaan.
Kepercayaan dirinya hilang. Ditambah lagi masalah finansial yang sangat menyesakkan.
Paran marah, sedih, dan kecewah. Bahkan sempat kepikiran mengakhiri hidupnya.
Tidak sedikit uang yang ia gelontorkan untuk kebutuhan selama menjalani pengobatan. Karena pada saat itu, Paran mengaku tidak mendapatkan bantuan finansial dari pihak manapun.
"Saya juga berubah menjadi orang yang lebih suka menutup diri dan menjauh dari orang lain. Karena label “menularkan” masih sangat kencang. Yang membuat saya bertahan hanyalah keluarga dan juga teman-teman sesama pasien. Karena untuk saya, hanya mereka yang bisa memahami kondisi saya," paparnya lagi.
Stigma dan diskriminasi masih sangat lekat pada penyandang ataupun penyintas TBC. Ini membuat Paran bersama teman-teman penyintas lain sulit mendapatkan pekerjaan.
Padahal pada saat itu umurnya Terhitung masih muda. Dan, ada dalam usia produktif yang seharusnya bisa bekerja untuk kehidupan dan menjadi tulang punggung dari keluarga.
"Setelah selesai pengobatan pun, masih ada yang tersisa. Menjalani kehidupan yang normal setelah sembuh juga menjadi tantangan besar bagi saya. Saya merasa rendah diri, merasa berbeda, dan selalu merasa khawatir jika ada yang tahu saya pernah menderita TBC," kata Paran lagi.
Namun kini, apa yang dirasakan oleh Paran mulai sedikit berkurang ketika dirinya bergabung dengan organisasi penyintas TBC RO, PETA (Pejuang Tangguh). Di sini dirinya merasa punya teman sependeritaan.
Saat ini Paran telah bekerja sebagai Case Manager untuk TBC RO di salah satu rumah sakit.
Dirinya juga bergabung dengan komunitas paralegal yang mengadvokasi teman-teman penyandang TBC RO yang mengalami stigma, diskriminasi dan juga perlakuan tidak menyenangkan karena kondisinya.
"Hari ini, saya berdiri di sini untuk berbagi cerita supaya orang tahu lebih banyak lagi betapa dampak dari resistensi antimikroba sangat mempengaruhi perjalanan hidup seseorang. Dan saya sangat berharap tidak ada lagi yang harus menjalani apa yang saya alami," tutupnya.