VIDEO EKSKLUSIF Kepala BKKBN Berbicara Mengenai Pemantauan Angka Stunting Melalui Aplikasi
Aplikasi itu digunakan guna mensetralisasi angka stunting secara nasional guna melakukan evaluasi kinerja menekan penurunan stunting.
Editor: Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr.(HC). dr. Hasto Wardoyo, SP.OG. menjelaskan soal aplikasi Elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (E-PPGBM) yang digunakan guna mendata angka stunting.
Hal ini termasuk upaya secara besar-besaran dalam menurunkan angka stunting di Tanah Air.
Termasuk, menyiapkan langkah-langkah strategis dan terukur dalam melakukan tindakan di lapangan.
Pasalnya, arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar angka stunting bisa di 14 persen pada tahun 2024 mendatang.
Hal itu diungkapkan Hasto saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberiraan Tribun Network Febby Mahendra Putra di Kantor BKKBN, Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (19/1).
Aplikasi itu digunakan guna mensetralisasi angka stunting secara nasional guna melakukan evaluasi kinerja menekan penurunan stunting.
Selain itu, Hasto mengatakan bahwa tugas yang tak kalang penting dilakukan oleh jajajarnnya di BKKBN adalah mengubah cara berfikir atau mindset masyarakat.
Karena, pihaknya menemukan bahwa masyarakat tidak begitu peduli terkait asupan makanan bagi ibu hamil serta bayi yang baru lahir.
Berikut paparan langkap Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo terkait kinerja Lembaganya dalam menekan penurunan angka stunting saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra :
Pak Hasto, sebenarnya apakah benar pemantauan angka stunting itu bisa dilakukan lewat aplikasi tertentu?
Iya saya kira aplikasi itu bisa macam-macam intinya kan. Kita ini mau memantau harus ada datanya yang masuk, apa saja kan bisa dipantau dengan aplikasi. Jadi itu hanya bagaimana sistem penyelenggaraan pemerintahan secara elektronik, ada istilah SPBE, misalkan kita ingin memantau rumah tangga.
Kalau BKKBN ini memantau rumah tangga, siapa anaknya, berapa jaraknya, berapa umurnya, berapa kan semuanya bisa terpantau. Sehingga ketika penimbangan di Posyandu itu dijalankan dengan baik tertib. Kemudian diukur dengan benar, kemudian yang datang banyak dan datanya diinput di dalam aplikasi tentu itu menjadi potret, sehingga kita bisa tahu, siapa, di mana, yang berat badannya tidak naik, panjang badannya tidak naik.
Kalau misalkan saya memantau satu wilayah hari ini, bulan ini dikasih penimbangan semua kan secara otomatis, secara saya sebagai kepala wilayah bisa melihat dong ini saya punya warga di desa A ternyata beratnya naik atau tidak naik, saya rasa sangat bisa.
Pak, apa benar yang sudah menerapkan menggunakan aplikasi itu baru Kabupaten Sumedang, atau memang ada di daerah-daerah lain. Sepengetahuan dari Pak Hasto?
Kan secara nasional sudah ada namanya E-PPGBM, jadi E-PPGBM itu aplikasi Elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat. Nah ini secara nasional sudah ada, dan Kemenkes setiap tahun mengumpulkan data lewat E-PPGBM. Karena, Posyandu diharapkan berjalan tiap bulan ada penimbangan. Hasil penimbangan di input ke E-PPGBM ini. Kemudian data E-PPGBM ini secara nasional tesentralisasi juga. Sehingga menjadi evaluasi.
Sebetulnya sudah ada aplikasi secara nasional ada sistemnya. Kemudian daerah-daerah juga banyak yang sudah punya aplikasi sendiri-sendiri. Saya kira Sumedang serius dengan satu aplikasi dan barangkali dikerjakan betul dalam arti tertib aplikasinya, ada kadernya, dilatih mengisi aplikasi input datanya dan dikontrol betul-betul.
Sumedang ceritanya Bupati, angka stunting turun, harus disertai dengan SDM yang juga dilatih dan juga disiplin untuk input data.
Saya ingin mendapat cerita, bagaimana progres dari penanganan stanting, seperti yang juga disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu yang lalu di Sentul, bahwa beliau bertekat dan memerintahkan supaya jajaran pemerintah tentu saja BKKBN untuk bisa mencapai target (14 persen di 2024) itu?
Jadi Pak Presiden sudah mengamanahkan Perpres, Perpresnya no 72 tahun 2021 tentang percepatan penurunan stunting. Nah sejak Perpres itu dibuat, kemudian kami BKKBN sebagai koordinator membuat namanya rencana aksi percepatan penurunan stunting.
Kemudian setelah itu, kita bentuk infrastrukturnya dari pusat hingga daerah dalam hal ini katakanlah struktur dari organisasi manajemen untuk percepatan penurunan stunting itu. Kita bentuk ada Tim Percepatan Penurunan Stunting di pusat, diketuai tim pengarahnya Pak Wakil Presiden, ketua pelaksana saya, kemudian ada Wakil Ketua Pelaksana dari Kementerian/Lembaga. Kemudian di daerah itu ada kepala daerah sebagai ketua pengarah, wakil kepala daerah sebagai ketua pelaksana. Kemudian sampai di tingkat Desa, clear sampai hari ini di tingkat Desa pun sudah 97 persen terbentuk tim itu.
Nah, itulah progres yang dilakukan di Tahun 2022. Nah sambil jalan di tahun 2022 ini tentu program-program berjalan Jadi gerakan dari Bupati, Walikota untuk mendata menggerakan penimbangan harus lebih banyak lagi yang datang, supaya balita terukur dengan baik.
Kemudian alat-alat ukur yang tidak sesuai kemudian dibenahi karena ini menyangkut masalah ukuran, jadi supaya mendapat ukuran, potret yang tepat, supaya tidak salah diagnosis, salah ukur, maka alat ini harus dilengkapi juga dari Kementerian Kesehatan ini juga sudah membelanjakan alat ukur untuk antropometri.
Sehingga di tahun 2023 ini relatif sudah tinggal di berjalan karena sebagian besar keperluan dan infrastruktur meski belum 100 persen, tetapi sudah luar biasa.
Meskipun angka pastinya belum keluar pasti, Pak Hasto bisa cerita daerah mana yang patut diapresiasi karena capaiannya sudah optimal, dan daerah mana yang perlu meningkatkan lagi supaya target di tahun 2024 datang, secara nasional tercapai?
Ya kalau lihat misalkan di Sumatera seperti daerah Sumatera Selatan ini bisa menjadi bagian dari pilot project, dari Sumatera Selatan gerakan-gerakan misalnya penurunan di beberapa daerah lumayan. Nanti kita lihat sebentar lagi angka akan kita keluarkan nanti kita lihat.
Di Jawa ini rata-rata, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah ini semua mengalami suatu penurunan angka stunting. Jadi provinsi yang ada di pulau Jawa ini mayoritas mengalami penurunan yang signifikan juga untuk stuntingnya. Sehingga secara nasional itu mudah-mudahan pulau Jawa dan di beberapa luar Jawa penduduk besar bisa membandul, sehingga kita berharap penurunannya cukup signifikan ketika di Pulau Jawa ini menurun.
Tetapi memang kalau kita bicara di daerah-daerah yang agak perifer seperti katakanlah Papua, kemudian di daerah NTT, termasuk NTB dan di daerah Sulawesi yang sebagian besar agak sulit. Seperti Sulawesi Barat itu daerah-daerah yang memang masih berat, angkanya masih bisa jadi naik.
Pak Hasto, tadi disebutkan ada beberapa daerah yang angkat stantingnya dari awal sudah rendah seperti di Provinsi Bali. Bagaimana ceritanya?
Ya kita tahu stunting ini banyak dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor yang mempengaruhi adalah faktor sensitif. Faktor sensitif itu ada lingkungan, tempat tinggalnya, air bersih, jambannya. Sedangkan kalau faktor spesifiknya itu gizinya, sehatnya badan sakit atau tidak.
Nah, daerah-daerah katakanlah Bali, Yogyakarta, DKI ini kan stuntingnya cenderung rendah. Karena memang secara umum lingkungannya Bali, lingkungannya mayoritas sarana air bersihnya ada, kemudian rumahnya kumuh praktis tidak banyak, kemudian juga katakanlah jamban di Bali di daerah turis sudah hampir tidak ada. Bisa dibayangkan jika dibandingkan dengan daerah tertentu di luar Jawa yang masih BAB di sungai. Di Jawa saja masih ada daerah yang BAB di sungai. Ini kan beda sekali. Sehingga faktor penyebabnya seperti itu.(TIM TRIBUN)