Papua Barat Tak Lagi Gelap Gulita
Kalau dulu anak-anak sekolah di Sorong, Papua Barat belajar hanya dengan penerangan seadanya, kini keadaan sudah tidak lagi seperti sedia kala.
TRIBUNNEWS.COM – Kalau dulu anak-anak sekolah di Sorong, Papua Barat belajar hanya dengan penerangan seadanya, kini keadaan sudah tidak lagi seperti sedia kala.
Pasalnya, sejak 21 April 2017 lalu, listrik mulai hadir di wilayah timur Indonesia itu. Sebanyak dua pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dengan kapasitas masing-masing 80 kilowatt telah terpasang. Bahkan, pada tahun-tahun mendatang, PLN akan menargetkan daerah lain untuk bisa menikmati listrik.
“Saat ini warga di Fef bisa membeli kulkas atau televisi untuk menikmati siaran berita atau film,” tutur Imelda Yewen, warga Distrik Fef, Kabupaten Tambrauw, Sorong, Papua Barat.
Apa yang dirasakan warga Distrik Fef di Sorong itu merupakan potret pelayanan listrik yang terus menjangkau pelosok Tanah Air. Hingga September lalu, sebanyak 73.656 desa telah teraliri listrik.
"Beberapa daerah memang masih perlu digenjot kelistrikannya, misalnya di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Ini kita pacu terus," ungkap Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka dalam Forum Merdeka Barat 9 bertajuk "Pelayanan Ketenagalistrikan Indonesia" di Jakarta, Kamis (30/11/2017).
Adapun rasio elektrifikasi Papua saat ini sebesar 48,91 persen dan ditargetkan naik menjadi 77,7 persen pada 2019.
Tarif stabil
Tren dalam beberapa tahun terakhir jumlah pelanggan PLN terus meningkat. Jika pada 2012 sebanyak 49,8 juta pelanggan, pada September 2017 jumlahnya menyentuh angka 67 juta. Daya tersambung juga terus merangkak naik. Lima tahun silam daya tersambung sebesar 83.898 MVA. Namun, pada 2016, angkanya telah menjadi 114.348 MVA dan mencapai 119.809 MVA per September 2017.
Tarif listrik pun relatif stabil. Sebagai contoh, jika tarif tegangan rendah pada Juli 2015 adalah Rp 1.548 per kWh, maka pada per September 2017 lalu turun menjadi Rp 1.467 per kWh.
"Tarif listrik di Indonesia masih jauh lebih murah dibandingkan negara lainnya. Lebih kurang tarif listrik rata-rata di Indonesia sekitar 10 sen (dollar AS) per kWh," ujar Made.
Ia melanjutkan, kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan membuat biaya penyediaan listrik antarpulau menjadi berbeda.
"Meskipun begitu, PLN berkomitmen menghadirkan tarif yang sama, baik di Jawa maupun di pulau terluar sekali pun," ucap Made.
Terjangkaunya tarif tersebut tak lepas dari kepiawaian PLN dalam mengendalikan biaya pokok penyediaan (BPP) di tengah kenaikan harga gas dan batubara. Bahkan, tarif listrik diupayakan terus turun sehingga beban masyarakat kian berkurang. Dalam mewujudkan hal itu, PLN membuat terobosan inovatif. Dengan menggandeng pihak swasta, misalnya.
Apresiasi dunia
Kesiapan PLN dalam melayani masyarakat ini telah mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Posisi Indonesia pada 2016 saja sudah berada di urutan ke-61, sedangkan pada 2017 ini telah berada di urutan ke-49.
Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Agoes Triboesono, melesatnya peringkat Indonesia tak lepas dari sejumlah langkah inovatif.
"Jika sebelumnya tahap penyambungan listrik ada 5 prosedur, maka kini telah disederhanakan jadi 4 prosedur saja," ucapnya.
Keempat prosedur itu, lanjut Agoes, terdiri dari pengajuan penerbitan Sertifikat Laik Operasi (SLO), permohonan penyambungan baru ke PLN, pekerjaan konstruksi dan pelaksanaan inspeksi eksternal PLN, serta proses penyalaan.
Lewat segala upaya yang dilakukan, bukan tidak mungkin jika listrik bakal terus menjangkau seluruh pelosok negeri.
"Sekarang concern (fokus) kami adalah wilayah timur Indonesia. Diharapkan, wilayah yang listriknya masih tertinggal, aksesnya segera meningkat hingga 2019 mendatang," tutur Agoes.