Kemenperin Pertajam Taji Industri Farmasi dan Alat Kesehatan
Industri farmasi dan alat kesehatan merupakan salah satu sektor yang mampu mencatatkan kinerja gemilang di tengah gempuran dampak pandemi Covid-19.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri farmasi dan alat kesehatan merupakan salah satu sektor yang mampu mencatatkan kinerja gemilang di tengah gempuran dampak pandemi Covid-19.
Hal ini disebabkan tingginya permintaan domestik terhadap produk dari kedua sektor strategis tersebut.
“Oleh karena itu, Kementerian Perindustrian bertekad untuk mewujudkan kemandirian industri obat dan alat kesehatan di Indonesia, serta mendorong sektor ini agar dapat menjadi pemain utama dan tuan rumah di negeri sendiri,” kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Muhammad Khayam pada webinar bertajuk “Efek COVID-19, Urgensi Ketahanan Sektor Kesehatan”, Senin (21/12/2020).
Dirjen IKFT menegaskan, pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan.
Tujuan Inpres tersebut adalah untuk menciptakan kemandirian industri farmasi dan alat kesehatan nasional, sehingga masyarakat memperoleh obat dengan mudah, terjangkau, dan berkesinambungan.
“Saat ini, pemerintah mendorong industri farmasi nasional untuk terus membangun struktur yang lebih dalam dan terintegrasi, sehingga mampu menghasilkan produk-produk dengan inovasi baru dan bernilai tambah tinggi,” paparnya.
Guna mencapai sasaran itu, diperlukan iklim usaha yang kondusif, dengan didukung ketersediaan bahan baku dan penguasaan teknologi.
Lebih lanjut, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) Produk Farmasi.
Melalui penerapan aturan ini, penghitungan TKDN produk farmasi tidak lagi memakai metode cost based, melainkan dengan metode processed based.
Khayam menjelaskan, penghitungan nilai TKDN produk farmasi yang berdasarkan pada processed based, dilakukan dengan pembobotan terhadap kandungan bahan baku Active Pharmaceuticals Ingredients (API) sebesar 50%, proses penelitian dan pengembangan sebesar 30%, proses produksi sebesar 15% serta proses pengemasan sebesar 5%.
“Metode tersebut diharapkan akan dapat mendorong pengembangan industri bahan baku obat (BBO), serta meningkatkan riset dan pengembangan obat baru. Selain itu, dapat mengurangi impor bahan baku obat dan mendorong kemandirian bangsa di sektor kesehatan,” imbuhnya.
Kebijakan TKDN di sektor farmasi diyakini bakal berkontribusi terhadap akselerasi program pengurangan angka impor yang ditargetkan mencapai 35 persen pada tahun 2022.
Apalagi, pasar dalam negeri sangat potensial untuk berbagai produk farmasi dan alat kesehatan dengan kandungan lokal tinggi.
“Potensi pasar yang besar bagi industri farmasi ini juga menjadi peluang untuk menarik para investor untuk bisa mengembangkan bahan baku obat di Indonesia,” ujar Khayam.
Dalam hal ini, Kemenperin berkomitmen untuk terus mendorong kemandirian industri farmasi di tanah air, yang merupakan sektor penting dalam menopang pembangunan kesehatan nasional.
Adapun langkah strategis yang sedang dijalankan Kemenperin, yakni membangun dan mengembangkan industri bahan baku obat di dalam negeri serta mengembangkan industri yang menghasilkan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) berbahan tanaman herbal dalam negeri.
“Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan TKDN farmasi, sehingga dapat memaksimalkan penggunaan obat dalam negeri melalui pengadaan obat pada sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),” terangnya.
Khayam menyebutkan, secara rerata TKDN dari alat kesehatan, hingga saat ini sudah mencapai 25-90 persen.
“Tentunya ini kabar positif, namun kita harus menargetkan terhadap peningkatan dari TKDN alat kesehatan ini di masa yang akan datang,” tandasnya.
Terkait inovasi alat kesehatan, Dirjen IKFT menyampaikan bahwa pengembangan ventilator dalam negeri terus dilakukan.
Saat ini dijalankan melalui kolaborasi triple helix, yaitu industri, akademisi, pemerintah.
“Saat ini memasuki fase uji klinis, kemudian telah mendapat Sertifikat Uji Peforma Alat Kesehatan dari Balai Keamanan Fasilitas Kesehatan Surabaya, Kementerian Kesehatan. Sebanyak 10 unit R-03 telah selesai dilakukan uji klinis, serta lima unit V-01 telah selesai di kalibrasi dan siap untuk dilakukan uji klinis,” ungkapnya.
Memacu industri fitofarmaka
Di samping itu, Dirjen IKFT mengemukakan, industri jamu juga menjadi perhatian pemerintah untuk terus dikembangan. Sebab, sektor ini memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional.
“Keunggulan yang dimiliki industri jamu, antara lain tersedianya bahan baku di tanah air yang sangat melimpah,” ujarnya.
Indonesia dinilai memiliki keanekaragaman hayati terbanyak di dunia, seperti jahe, lempuyang, pala, dan nilam.
Bahan baku tersebut merupakan modal utama dalam upaya membangun kemandirian untuk memproduksi obat.
Namun demikian, pertumbuhan pasar obat tradisional di Indonesia masih perlu dioptimalkan.
“Oleh karena itu, Indonesia harus meningkatkan kualitas dan daya saing produk, serta menerapkan strategi pemasaran yang tepat. Sebab peluang pasar produk obat tradisional dan obat herbal, paling tidak di wilayah Asia, masih terbuka lebar,” ungkapnya.
Berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) tahun 2020, terdapat 129 industri obat tradisional, dengan 22 perusahaan yang telah memproduksi obat herbal terstandar (OHT).
Lima perusahaan di antaranya telah mengembangkan fitofarmaka. Selebihnya, tergolong dalam industri ekstrak bahan alam.
“Saat ini, yang telah terdaftar di Badan POM sekitar 11 ribu produk jamu, tetapi yang merupakan produk OMAI sejumlah 23 produk fitofarmaka dan 69 OHT,” imbuhnya.
Dengan potensi yang begitu besar, Kemenperin sedang menyusun draft Rencana Aksi Pengembangan Industri Fitofarmaka.
Rencana Aksi ini diharapkan menjadi panduan untuk peningkatan industri farmasi agar mampu secara mandiri menghasilkan obat untuk kebutuhan nasional yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan manfaat, terjangkau oleh masyarakat.
“Pengembangan OMAI membutuhkan sinergi dari semua pemangku kepentingan, mulai dari petani yang menghasilkan bahan baku yang bagus dan terstandar, peneliti, pelaku industri, pemangku kepentingan hingga masyarakat sebagai konsumen,” tutur Khayam.
Oleh karena itu, langkah strategis yang perlu dilakukan adalah pengembangan bahan baku obat dalam negeri. Ini merupakan salah satu upaya untuk menjaga ketahanan nasional di bidang obat.
“Pandemi ini mengajarkan bahwa akan sangat riskan bagi suatu negara sebesar Indonesia apabila membiarkan ketergantungan industri farmasi dalam negeri terhadap bahan baku obat impor,” ungkapnya.
Salah satu kebijakan yang perlu dilaksanakan adalah pengembangan industri bahan baku obat dengan memperkuat struktur manufaktur industri farmasi di dalam negeri, antara lain dengan memacu kegiatan riset untuk menciptakan inovasi produk industri farmasi di sektor hulu atau produsen bahan baku.
“Dengan terintegrasinya sektor hulu dan hilir, nilai tambah produk farmasi akan semakin meningkat. Selain itu, pengembangan sektor hulu juga mendukung substitusi impor bahan baku yang dapat menekan defisit neraca dagang di sektor industri farmasi,” paparnya.
Guna menarik investasi di sektor tersebut, pemerintah memberikan fasilitas kepada para penanam modal di Indonesia, antara lain melalui pemberian berbagai insentif fiskal maupun nonfiskal.
“Pemerintah akan memberikan dukungan fiskal terhadap pertumbuhan industri farmasi melalui tax allowance, tax holiday, serta super tax deduction, yang diberikan bagi industri yang terlibat dalam program vokasi dan inovasi melalui kegiatan riset,” terangnya.
Sementara itu, untuk pemberian insentif nonfiskal, di antaranya adalah program pelatihan dan sertifikasi SDM, penerapan Objek Vital Nasional Sektor Industri (OVNI), sertifikasi standar dan kegiatan litbang bagi industri kecil menengah (IKM), pembangunan infrastruktur industri, dukungan promosi, serta konsultasi bantuan hukum dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).(*)