Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Bamsoet: Jangan Langgengkan Praktik Demokrasi yang Manipulatif

Bamsoet menyebut penyederhanaan syarat menjadi calon presiden memang terkesan populis namun membawa implikasi yang kompleks bagi dinamika politik.

Editor: Content Writer
zoom-in Bamsoet: Jangan Langgengkan Praktik Demokrasi yang Manipulatif
Istimewa
Bambang Soesatyo, Anggota DPR RI/Ketua MPR RI ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua Komisi III ke-7/Dosen Tetap Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Jayabaya, Trisakti dan Universitas Pertahanan (UNHAN). 

TRIBUNNEWS.COM - Bambang Soesatyo, Anggota DPR RI/Ketua MPR RI ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua Komisi III ke-7/Dosen Tetap Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Jayabaya, Trisakti dan Universitas Pertahanan (UNHAN) merespons Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 62/PUU-XXII/2024 tentang penghapusan presidential threshold.

Berkaitan dengan hal tersebut, ia mengingatkan akan bahaya populisme tak terukur, yang bisa menjadi jebakan yang menghancurkan. Dalam keterangan resminya, Bamsoet menyebut bahwa menihilkan standar kompetensi kepemimpinan dalam memilih pemimpin publik adalah awal kehancuran. Nuansa populis dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 62/PUU-XXII/2024 tentang penghapusan presidential threshold, menurutnya, justru memperluas ruang bagi manipulasi nilai dan prinsip-prinsip demokrasi.

"Sudah menjadi fakta tak terbantahkan bahwa sebagian dari perjalanan sejarah demokrasi Indonesia modern diwarnai dengan praktik demokrasi yang manipulatif. Adalah nyata bahwa kekuasaan politik bisa dibeli, dengan terlebih dahulu membeli suara warga negara yang sudah memiliki hak untuk memilih. Itu sebabnya, semua elemen masyarakat tahu dan mengenal apa itu politik uang," ujarnya dalam keterangan tertulis, 17 Januari 2025. 

"Demikian popularnya praktik dan ungkapan politik uang sehingga sering dijadikan candaan atau materi lawakan oleh berbagai kelompok masyarakat, tidak peduli dengan program dan janji kandidat pemimpin publik yang sedang berkampanye, sebagian masyarakat justru lebih menunggu ‘serangan fajar’, saat-saat ketika para relawan sang kandidat bagi-bagi uang," sambungnya.

Selain politik uang, Bamsoet menyebut bahwa manipulasi terhadap praktik berdemokrasi juga dilakukan dengan menunggangi salah satu kewajiban negara, yakni ragam program bantuan sosial. Program ini sering direkayasa sedemikian rupa untuk membentuk persepsi bahwa bantuan diberikan oleh kandidat atau pribadi bersangkutan. Modus manipulasi lainnya adalah menekan pemimpin lokal untuk ‘memaksa’ dan memastikan warga setempat memilih kandidat tertentu.

"Jika sang pemimpin lokal menolak ‘paksaan’ itu, dia akan dikriminilisasi," kata Bamsoet.

Baca juga: Ketum IMI Bamsoet: Indonesia Siap Gelar Jakarta Formula E Tanggal 21 Juni 2025

Ia menegaskan, kehendak bersama untuk membangun kehidupan berdemokrasi yang dewasa, bijaksana dan matang akan sulit diwujudkan jika praktik demokrasi yang manipulatif seperti sekarang ini dibiarkan berlarut-larut. Karenanya, suprastruktur dan infrastruktur politik negara memiliki kewajiban untuk terus berupaya mengeliminasi praktik demokrasi yang manipulatif itu.  

Berita Rekomendasi

"Benar bahwa semua warga negara berhak dan bisa menjadi pemimpin publik; dari kepala desa, camat, lurah, bupati, gubernur hingga presiden. Tetapi sosok pemimpin publik, apalagi presiden sebagai pemimpin nasional, harus dipersiapkan dan secara pribadi dia pun harus mempersiapkan dirinya. Masyarakat harus tahu bagaimana seorang calon pemimpin publik dipersiapkan. Semua aspek pada figur calon pemimpin publik haruslah positif," lanjut Bamsoet.

Ia pun menyebut, pengetahuan dan pemahaman tentang pemimpin  yang harus dipersiapkan menjadi sebuah keniscayaan dan berlaku pada bidang apa pun.

"Pemimpin dari satuan kerja terkecil hingga yang berskala besar harus dipersiapkan. Utamanya karena  sosok yang memimpin harus punya kompetensi dan kompetensinya pun harus diketahui publik. Rakyat di sebuah negara pun pasti menginginkan pemimpinnya punya kompetensi untuk mengelola kepentingan semua elemen masyarakat," tuturnya.

Adapun syarat menjadi calon presiden telah disederhanakan sedemikian rupa, sebagaimana tercermin pada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 62/PUU-XXII/2024. Penyederhanaan ini, menurut Bamsoet, memang terkesan populis namun membawa implikasi yang kompleks bagi dinamika politik dan proses pendewasaan demokrasi di Indonesia.

"Selain itu, penyederhanaan tersebut juga berpotesi makin membuka dan memperluas ruang bagi manipulasi nilai dan prinsip-prinsip demokrasi dalam memilih pemimpin publik, utamanya memilih presiden," ungkapnya.

Baca juga: Catatan Akhir Tahun Bamsoet: Program Prioritas 2025 Hendaknya Berpijak pada Aspirasi Masyarakat 

"Berpijak pada putusan MK itu, bisa dipastikan bahwa jumlah bakal calon pasangan Presiden-Wakil Presiden pada agenda pemilihan presiden (Pilpres) berikutnya, atau tahun 2029, lebih banyak dibanding agenda Pilpres sebelumnya. Selain itu, tidak tertutup kemungkinan akan banyak inisiatif dari elemen-elemen masyarakat untuk mendirikan partai politik baru demi kemudahan mendapatkan tiket Pilpres," kata Bamsoet.

Dalam hal ini, ia juga menyebut bahwa mendirikan partai baru dan menjadi kandidat Pilpres butuh pembiayaan sangat mahal. Karena itu, pada waktunya nanti latar belakang kandidat peserta Pilpres dan partai-partai baru yang muncul tentu harus tranparan dan harus ada kejelasan tentang latar belakang figur dan transparansi tentang asal-usul pembiayaan.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas