Peringati Hari Kartini, Kominfo Sosialisasikan HAM dan Perlindungan Hukum Bagi Perempuan
Kasus kekerasan seksual menunjukkan tren meningkat signifikan, terutama sejak pandemi COVID-19.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Direktur Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum dan Keamanan Kemenkominfo, Bambang Gunawan, dalam acara Forum Literasi Hukum dan HAM Digital (FIRTUAL) mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual menunjukkan tren meningkat signifikan, terutama sejak pandemi COVID-19.
“Mayoritas kekerasan seksual dialami oleh perempuan. Pelakunya juga dari berbagai kalangan, termasuk oleh orang di tempat menimba ilmu, seperti sekolah, kampus, dan pondok pesantren,” jelasnya.
Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), laporan kekerasan terhadap perempuan meningkat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
“Angka laporan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat dari 8.864 kasus pada 2019, 8.686 kasus pada 2020, menjadi 10.247 kasus pada 2021. Jumlah korban kekerasan terhadap perempuan juga meningkat dari 8.947 orang pada 2019, 8.763 kasus pada 2020, lalu menjadi 10.368 kasus pada 2021,” paparnya.
Dalam upaya mengatasi kondisi tersebut, ia mengatakan jika pemerintah secara resmi telah mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada tanggal 12 April 2022 lalu.
“Dengan disahkannya UU TPKS ini diharapkan dapat memberikan payung pelindungan bagi korban kekerasan seksual,” jelas Bambang.
Narasumber yang hadir mengisi materi pada acara tersebut antara lain, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia, Kementerian Hukum dan HAM, Dr. Mualimin Abdi, S.H., M.H.; Asisten Deputi Bidang Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan, KemenPPPA, Margareth Robin K, S.H., M.H.; Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, S.H., M.Si.; serta Rapper dan Dosen, Yacko Oktaviana, S.E., BBA (Hons), MBA.
Hak Perempuan adalah Hak Asasi Manusia
Margareth Robin mengatakan bahwa 49% dari jumlah penduduk Indonesia adalah perempuan yang memiliki potensi besar untuk mendukung kemajuan bangsa yang perlu dilindungi serta dipenuhi hak-haknya, mulai dari akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat.
“Perempuan masa kini dan masa depan, mengisi kemerdekaan dengan karya-karya nyata sebagai sumber daya manusia unggul, berdaya saing, inovatif, dan kreatif serta berani melakukan perubahan mengikuti perkembangan zaman dan dinamika yang terjadi pada setiap tahapan kehidupan,” tuturnya.
Ia juga menjelaskan mengenai jaminan pelindungan HAM perempuan di Indonesia yang telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, antara lain hak perempuan di bidang politik pada pasal 46 dan pasal 49 ayat 1, bidang pendidikan pada pasal 48, bidang ekonomi dan pekerjaan pada pasal 49 ayat 2 dan 3, serta dalam pernikahan dan setelah perkawinan pada pasal 47 dan pasal 50.
KemenPPPA juga mendapatkan fungsi tambahan sebagai Penyedia Layanan Rujukan Akhir bagi perempuan dan anak korban kekerasan melalui Perpres Nomor 65 Tahun 2020 Pasal 3 tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Kasus Kekerasan Tidak Hanya Sebatas Tindakan Fisik
Pada sesi selanjutnya, Lidwina Inge memaparkan materi mengenai Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Ia mengatakan jika unsur-unsur KBGO sama dengan kekerasan seksual dalam dunia nyata, perbedaannya dilakukan dengan perantara teknologi digital, meskipun tindakannya tidak terbatas pada ruang digital.
“Perbuatan yang dilakukan atas dasar relasi kuasa yang timpang, bukan soal mau sama mau, bukan soal hasrat, dengan tujuan supaya pelaku atau pihak ketiga memperoleh keuntungan baik seksual maupun finansial atau keduanya, dan buat korban ini merugikan, baik secara fisik, psikologis, bahkan finansial,” jelasnya.
Ia juga menyambut adanya UU TPKS terkait soal eksploitasi seksual anak dan perempuan pada ruang digital, karena baru kali ini sejak Indonesia merdeka memiliki satu Undang-Undang yang mengatur tentang bagaimana perlindungan terhadap korban kekerasan seksual yang tidak hanya terfokus pada soal penghukuman, tetapi juga bagaimana korban bisa memperoleh pemulihan.
Salah satu strategi menekan angka KBGO adalah penggunaan Rights to be Forgotten. Ia menambahkan, “Perlu ada pengaturan tentang Rights to be Forgotten sebagai hak seseorang untuk meminta penyedia platform menghapus jejak pencarian atas dirinya di internet. Namun ini perlu dibatasi supaya pelaku tidak memiliki akses untuk menghapus jejak tindakannya.”
UU TPKS Merupakan Bentuk Tanggung Jawab Negara
Mualimin Abdi mengatakan jika UU TPKS walaupun pada awalnya mengundang pro kontra, pastinya punya maksud dan tujuan baik yaitu agar tercipta suatu keteraturan dan ketertiban, serta perlindungan terhadap kelompok rentan yakni perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat.
“Yang dimaksud rentan bukan tidak berdaya atau tidak berfungsi, tetapi di dalam UUD dijelaskan bahwa perempuan itu memang termasuk di dalam kelompok yang perlu diberikan hak-hak tertentu dalam rangka pengimplementasian Hak Asasi Manusia,” ujar Mualimin.
Ia juga menyampaikan bahwa salah satu tujuan UU TPKS selain mencegah bentuk kekerasan adalah bagaimana UU tersebut bisa menangani korban apabila terjadi kekerasan dan bagaimana korban diberikan perlindungan dan pemulihan. (*)