Alasan Pria Amerika Makin Tertarik Menikahi Wanita-wanita Asia
Makin banyak pria bule Amerika tertarik memacari dan menikahi wanita-wanita Asia, termasuk dari Indonesia. Ini alasannya.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Banyak perempuan di sekitar kita yang menikah dengan pria asing, khususnya Amerika. Hal ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia.
Pria Amerika ternyata juga banyak yang ingin menikah dengan perempuan-perempuan dari berbagai negara lain di Asia.
Inilah yellow fever, fenomena di mana pria kulit putih tertarik dan kadang-kadang terobsesi dengan perempuan Asia. Menurut Debbie Lum, generasi keempat keturunan China-Amerika dari St Louis, Missouri, ada sebab mengapa banyak pria menganggap perempuan Asia sebagai istri yang ideal.
Disebut-sebut, karena perempuan Asia lebih penurut dan patuh. Selain itu, mereka punya impian untuk hidup lebih makmur di negara-negara Barat.
Menikah dengan pria Amerika menjadi cara mereka untuk memperoleh green card. Stereotip ini memang menyinggung perasaan komunitas Asia-Amerika karena seringkali tidak benar, demikian pendapat Lum.
Menurut Goal Auzeen Saedi, lulusan program doktoral dalam konseling dari Stanford University, persepsi yang dominan mengenai perempuan Asia adalah bahwa mereka adalah tipe submissive.
Penurut, tapi juga mampu mendominasi. Dalam artikelnya di Psychology Today tahun 2011, Dr Saedi menjelaskan bahwa pria kaukasia yang mendambakan perempuan Asia sebenarnya mengirimkan pesan mendasar bahwa mereka lebih berkuasa, dominan, punya keleluasaan sebagai kulit putih.
Psikologi di balik yellow fever inilah yang coba digambarkan oleh Debbie Lum dalam film dokumenternya, Seeking Asian Female. Dalam filmnya Lum mengikuti kehidupan Steven, pria Amerika berusia 60 tahun, dalam pencariannya akan pengantin Asia; dan Sandy, perempuan China berusia 30 tahun yang ditemui Steven di internet dan akhirnya menikah.
Menurut situs untuk film dokumenter tersebut, Steven pertama kali tertarik dengan perempuan Asia setelah menyaksikan kesuksesan pernikahan putranya dengan seorang imigran asal Jepang.
Steven, yang bekerja sebagai petugas di bandara San Francisco, selama bertahun-tahun memburu lewat katalog-katalog dan situs-situs kencan untuk mencoba menemukan pasangannya.
"Selama lima tahun terakhir pasti sudah ada ratusan gadis yang berbeda-beda dari China yang saya kirimi surat," jelasnya dalam trailer film tersebut.
Sampai akhirnya ia bertemu Sandy, buruh pabrik yang tumbuh di kebun teh di sebuah pegunungan China. Steven pun terbang ke China untuk menjumpai gadis itu. Steven tidak kembali dengan tangan kosong. Dua minggu kemudian, ia kembali ke California bersama Sandy, setelah gadis itu setuju untuk menikah dengannya.
"Aku bahagia sekali," ujar Steven sambil menyeringai seperti remaja laki-laki yang sedang jatuh cinta.
Hanya saja, begitu mereka hidup bersama dan memenuhi impian dan fantasinya masing-masing, barulah keduanya sadar bahwa mereka sulit berkomunikasi. Bahasa Inggris Sandy standar sekali, sementara Steven tidak tahu sepatah pun kata bahasa China (entah bagaimana mereka berkomunikasi dalam surat-suratnya).
Trailer film itu menunjukkan bagaimana mereka kerap bertengkar karena tak satu pun memahami apa yang dikatakan yang lain. "Apa?" teriak Steven pada istrinya. "Bicaralah dalam bahasa Inggris!"
Debbie Lum lah yang bertindak sebagai mediator sekaligus penerjemah bagi pasangan ini. Pada Lum, Steven kerap berkeluh kesah dan meminta bantuan untuk memecahkan masalahnya. "Aku tidak tahu dia (Sandy) ngomong apa," katanya pada Lum.
Namun, pernikahan mereka masih berjalan setelah empat tahun, karena Steven menyadari bahwa ia bisa mencintai Sandy meskipun karakternya yang berapi-api. Dalam film terlihat juga bahwa Sandy tidak takut untuk menegaskan pendapat atau pandangannya.
Bahkan, dengan nada bercanda ia mengancam akan memotong jari tangan Steven bila pria itu berbohong padanya. Inilah satu bukti yang bertentangan dengan gambaran stereotip perempuan Asia yang kerap disebut penurut tadi.
"Obsesi Steven dengan perempuan Asia mana pun telah digantikan dengan Sandy yang nyata," jelas Lum, yang mengaku bahwa persepsinya sendiri mengenai Steven mungkin sama buruknya dengan persepsi Steven mengenai perempuan Asia.
Lum berharap filmnya bisa menjadi bahan diskusi mengenai kategorisasi negatif secara umum, termasuk tentang pria-pria kaukasia seperti Steven. Film ini berkisah tentang harapan-harapan dan stereotip-stereotip, yang sebenarnya sangat berkaitan. Yaitu stereotip mengenai pria-pria kulit putih, dan harapan-harapan mengenai sebuah hubungan.
(Felicitas Harmandini/Daily Mail)