Kisah Sungai Emas Papua Hingga Banjir Jakarta di Galeri Nasional Indonesia
Pameran tunggal ini menampilkan 44 lukisan-lukisan bentang alam (landscape) karya maestro lukis Srihadi yang diproduksi dalam rentang tahun 2016–2020
Penulis: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seniman lukis, Srihadi Soedarsono menggelar pameran tunggal “Srihadi Soedarsono – Man x Universe” di Galeri Nasional Indonesia akan berlangsung dari 11 Maret – 9 April 2020.
Pameran tunggal ini menampilkan 44 lukisan-lukisan bentang alam (landscape) karya maestro lukis Srihadi yang diproduksi dalam rentang tahun 2016–2020.
Karya-karya yang dipamerkan antara lain Horizon – The Golden Harvest (2018), Borobudur Drawing (1948), Borobudur – The Energy of Nature (2017), Mt. Bromo – The Mystical Earth (2017), Papua – The Energy of Golden River (2017), The Mystical Borobudur (2019), dan Jakarta Megapolitan – Patung Pembebasan Banjir (2020).
Seri lukisan landscape merupakan salah satu pendekatan yang sangat dikenal menjadi ciri khas karya-karya Srihadi. Lukisan landscape dalam konteks pameran ini adalah lukisan yang memiliki struktur bentang alam, daratan (bumi), langit, dan unsur-unsur di antaranya.
Kurator pameran ini Dr. A. Rikrik Kusmara, M.Sn., mengelompokkan karya Srihadi dalam empat rumpun besar, yakni Social Critics (Papua Series, Bandung Series, dan Field of Salt), Dynamic (Jatiluwih Series dan Energy of Waves), Human & Nature (Mountain Series, Tanah Lot Series, Gunung Kawi Series), Contemplation (Horizon Series dan Borobudur Series).
Rikrik mengatakan, Srihadi Soedarsono – Man x Universe menginterpretasikan keindahan landscape Indonesia sebagai semangat spiritual atas rasa kemerdekaan dan kebanggaan berbangsa.
Baca: Rocky Gerung Soroti Lukisan Petruk Jadi Ratu Semar Kusirnya yang Dibeli Jokowi: Beli Otobiografinya
Baca: Momen Saat Juergen Klopp Memarahi Suporter yang Minta Jabat Tangan
Baca: Foto-foto Tom Hanks dan Istrinya di Australia Sebelum Positif Virus Corona
"Sebab landscape dalam perspektif Srihadi adalah tema yang lebih dalam dari sekadar lukisan pemandangan yang menghipnotis orang asing untuk datang berkunjung," katanya.
Rikrik Kusmara menyebut pameran ini merupakan pendekatan baru Srihadi dalam mengekspresikan landscape, sebab menampilkan metafora dan simbol yang cukup kompleks.
Proses artistik tersebut tak lepas dari kondisi sosial politik Indonesia yang tensinya naik sepanjang 2016–2019, tahun-tahun Srihadi menghasilkan karya untuk pameran ini.
"Srihadi melukis landscape layaknya mencatat kejadian-kejadian, merekam perubahan-perubahan sampai hari ini. Seperti tertuang dalam Horizon – The Golden Harvest (2018, 200 x 400 cm) yang memampangkan pemandangan panen padi era 1970-an. Penduduk desa bergotong royong, bergantian memanen padi. Sawah luas itu berbatas bukit landai di cakrawala," katanya.
Di sisi lain, Horizon – The Golden Harvest (2018) mengingatkan kita betapa kalimat “hamparan sawah sejauh mata memandang” adalah pemandangan mustahil hari ini.
Tidak ada lagi “sejauh mata memandang”, sebab baru saja sependek 20 meter, pandangan langsung terantuk dinding perumahan, atau pagar tinggi villa mewah, atau malah sawahnya sudah masuk dalam properti restoran yang menjual pemandangan sawah.
Baca: 12 Ribu Orang di Italia Positif Corona, 827 orang Meninggal
Baca: Lima Klub Masih Menunggak Gaji Pemain, BOPI Belum Keluarkan Rekomendasi Gelar Liga 2 2020
Baca: Janin Ditemukan Petugas Kebersihan di Dalam Closet Toilet Mall Kelapa Gading
“Waktu saya kecil diajak kakek berkeliling melihat pemandangan, melihat sawah yang luas. Sekarang, sawah di belakang rumah sudah jadi rumah-rumah. Fenomena ini menjadi paradoks bagi negeri lumbung padi dan tambak garam tapi kekurangan padi dan garam sehingga harus impor,” ujar Srihadi.
Lukisan Papua juga menjadi seri penting dalam pameran ini, yang diwakili Papua – The Golden River Belong to Its People (2017) dan Papua – The Energy of Golden River (2017).
Dua lukisan itu adalah tangkapan ingatan Srihadi atas Papua tahun 1975.
Tentu sangat berbeda jika dibandingkan dengan kondisi Papua saat ini, ketika tambang meluas, jalan aspal sambung bersambung, dan luas hutan menyusut.
Bayangkan Papua di tahun 1975 ketika hutan perawan masih mendominasi.
Dilihat dari udara, menjelang malam, hanya hitam di bawah sana.
Lalu tiba-tiba tertangkap pandangan ada yang meliuk-liuk indah berkilat-kilat dari ujung ke ujung.
Sungai keemasan yang menembus pekatnya hutan Papua.
Baca: Tidak Jadi Dipulangkan, 2 Pasien Positif Virus Corona Tunggu Hasil Lab Kedua
Baca: 6 Foto Bahagia Andik Vermansah Saat Lamar Kekasih Hati, Tertawa Lebar Saat Pinangan Diterima
Baca: Harga Bawang Bombay Meroket, Ini Kata Wamendag
Pemandangan tersebutlah yang dialami Srihadi saat bertugas untuk melukis sumur pengeboran dekat Sorong, Papua, pada 1975.
Dia tiba di kawasan pengeboran di tengah hutan pada sore hari dengan menumpang helikopter. Akses darat nyaris mustahil sebab jalan aspal hanya sepanjang satu kilometer.
“Alam Papua bagus sekali dilihat dari atas. Hutan sudah gelap. Yang terlihat hanya sungai mengkilat keemasan terkena sinar matahari sore. Kesan ini yang saya tangkap,” kata Srihadi Soedarsono.
Setelah berselang 45 tahun, Srihadi menghadirkan diskursus tentang Papua melalui dua lukisannya yang akan dipamerkan yakni Papua – The Golden River Belong to Its People (2017) dan Papua – The Energy of Golden River (2017).
“Yang menarik, Srihadi tidak secara eksplisit menggambarkan realitas konteks sosial politik budaya ini, melainkan melalui metafora sungai keemasan (Golden River),” Rikrik Kusmara menjelaskan.
Seri penting lain yang dipamerkan adalah Borobudur di antaranya Borobudur – The Energy of Nature (2017), Borobudur – Moment of Contemplation (2017), Borobudur – Moment of Meditation (2017), dan The Mystical Borobudur (2019).
Seri Borobudur menjabarkan perjalanan candi Borobudur di tangan Srihadi dari tahun 1948 hingga kini. Perjalanan yang bukan tentang perubahan fisik atau visualnya, melainkan bagaimana Srihadi menyuguhkan konsep filosofis dan estetis situs suci tersebut.
Melalui sketsa Borobudur yang dibuat pada usia 17 tahun menjadi cikal bakal Srihadi dalam membuat lukisan-lukisan landscape di kemudian hari.
Seperti halnya Borobudur – The Energy of Nature (2017). Lukisan dengan ukuran 160 x 150 cm yang dibuat pada 2017 itu memvisualkan candi Borobudur dengan latar belakang langit jingga berikut purnama tegak lurus dengan stupa utama.
Karya enigmatic ini menjadi simbol puncak proses kontemplasi dan spiritualitas tentang kesadaran akan keberadaan diri dalam siklus bumi, bahkan lebih luas lagi, siklus jagat raya.
Baca: Ramalan Zodiak Asmara Besok, Jumat 13 Maret 2020: Cancer Hati-hati Berkomunikasi, Sagitarius Sabar
Baca: Tidak Jadi Dipulangkan, 2 Pasien Positif Virus Corona Tunggu Hasil Lab Kedua
Baca: Pujian Yunarto untuk Anies Soal Penangan Corona: Cepat Ambil Keputusan Dibanding Pemerintah Pusat
Secara filosofis, menurut Rikrik Kusmara, Srihadi ingin menekankan aspek human, culture, dan universe/nature. Tentang bagaimana manusia membuat Borobudur, bagaimana manusia berada di alam, serta eksistensi manusia sebagai bagian dari mikrokosmos dan makrokosmos.
Dra Siti Farida Srihadi, M.Hum, akademisi seni rupa dan penulis buku Srihadi Soedarsono – Man x Universe mengatakan, sistem nilai Jawa membentuk pendekatan simbolis khas Srihadi, dari sudut bentuk maupun warna.
"Bagaimana kuasa Srihadi atas nuansa dan detil dikedepankan serta diperkaya oleh intuisi dan binaan roso, demi mencapai kondisi Manunggaling Kawulo Gusti,” katanya.
Budayawan Dr. Jean Couteau menambahkan, Srihadi mempunyai suatu kemampuan untuk ‘merasa’ yang selain luar biasa, juga dikembangkan dan diasah oleh tradisi Jawa asalnya.
Dengan mempertimbangkan sejarah seni lukis Indonesia dan dunia, Srihadi Soerdarsono bukan hanya maestro simbolis/warna-is Indonesia, tetapi sebenarnya termasuk salah seorang maestro simbolis-koloris kelas dunia.”
Kepala Galeri Nasional Indonesia, Pustanto mengungkapkan, Srihadi melalui karya-karyanya membuktikan bahwa ia adalah sosok seniman yang paripurna.
Dengan ethic, emphatic, dan aesthetic, Srihadi menghidupkan karya-karyanya.
"Sebaliknya, karyanya pulalah yang menyemangati hidupnya, hingga ia tetap sehat dan aktif berkarya di usia senja. Keistimewaan Srihadi ini menjadi sumber inspirasi bagi banyak generasi,” katanya.
Srihadi Soedarsono, kelahiran Solo, 4 Desember 1931, sejak usia dini suka menggambar. Saat jadi pelajar, dia bergabung dalam Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) bagian Pertahanan pada 1945 dengan tugas membuat poster, grafiti, menulis slogan yang mengobarkan semangat juang di dinding-dinding besar dalam kota dan gerbong-gerbong kereta api.