Tren Industri Fashion di Tanah Air Berubah Selama Pandemi, Nuansa Kasual Tengah Jadi Primadona
Tren industri fashion di Indonesia berubah selama pandemi Covid-19, nuansa kasual dan nyaman tengah digandrungi oleh pasar.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Advisory Board dari Indonesian Fashion Chamber (IFC), Dina Midiani menanggapi soal tren fashion di Indonesia selama pandemi Covid-19.
Menurutnya, pandemi Covid-19 membawa pengaruh pada perubahan fashion di Tanah Air.
Sebelumnya masyarakat banyak melakukan aktifitas di luar rumah, namun karena pandemi, maka mereka lebih banyak beraktifitas di dalam rumah.
Secara otomatis, perubahan tersebut mempengaruhi konsep fashion dan cara orang berpakaian.
Baca juga: Brand Lokal Bersaing di Bisnis Fesyen Anak di Tengah Gempuran Produk Impor
Baca juga: Kemenperin Luncurkan Program Inkubator BCIC untuk Industri Kreatif Kriya dan Fesyen
Dina Midiani menilai saat ini konsep fashion berubah kepada nuansa kasual, nyaman dan lebih mengarah pada keseharian dibandingkan busana formal.
Gaya seperti ini dipercaya akan menyatu dalam kehidupan masyarakat ke depannya.
"Konsep fashion yang berorientasi pada aktifitas keluar akan banyak berkurang sampai nanti vaksin ditemukan," kata Dina, dalam keterangan yang diterima Tribunnews, Sabtu (5/12/2020).
Ia menuturkan, saat ini pelaku industri fashion sedang memperkenalkan konsep 'The New Beginning'.
Konsep tersebut menyesuaikan tren dan bahan sesuai kebutuhan pasar.
"Sebab respon orang terhadap pandemi ini berbeda-beda. Ada yang berpikir logis spiritualis, maka konsep minimalis, simpel dan praktis menjadi pilihan mereka."
Baca juga: Omzet Menurun 85 Persen karena Covid-19, Ini Cara Desainer Samuel Wongso Bangkitkan Bisnis Fesyen
"Pilihan warnanya pun lebih yang mudah dipadupadankan. Ada juga segmen yang menghargai proses kerja, biasanya lebih cenderung memilih pakaian yang ada pekerjaan tangannya."
"Namun kelompok yang tetap ingin tampil keluar pun masih tetap eksis, sehingga konsep busana extravaganza masih banyak peminatnya," kata Dina.
Dina juga menyarankan, pelaku industri tekstil harus mulai memikirkan bahan yang tahan lama dan higienis selama masa pandemi ini.
Khususnya jika memproduksi masker, karena penekanannya lebih kepada bagian riset dan pengembangan.
"Apalagi industri ini menyerap tenaga kerja yang sangat banyak, mulai dari konseptor, produksi, distribusi, pemasaran, promosi dan sebagainya."
"Fashion adalah kebutuhan yang cukup tinggi karena orang membeli busana untuk berbagai alasan, salah satunya adalah untuk menampilkan citra diri," ujarnya.
Baca juga: Industri Fesyen Muslim Terkena Dampak Covid-19, Kemenperin Dorong IKM Jualan Lewat Jalur Digital
Di sisi lain, pelaku industri fashion lokal asal Bandung dan pemilik Cottonology, Carolina Danella Laksono juga membenarkan tentang perubahan tersebut.
Menurutnya, saat ini industri fashion di Kota Kembang mulai kembali menggeliat.
Hal itu terbukti dengan meningkatnya permintaan pasar terhadap produknya, khususnya busana rumahan.
"Setelah beberapa bulan pertumbuhan bisnis terkoreksi karena korona, di kuartal keempat 2020 ini sudah mulai kembali ke titik normal."
"Bahkan prediksi kami akan melebihi dari kuartal yang sama tahun lalu," tuturnya.
Pihaknya sampai membuka empat gerai di departement store Kota Bandung serta satu offline store.
Baca juga: Terapkan Konsep Sociopreneur, Cottonology Sukses Berbisnis Fesyen dengan Berdayakan Warga
Buntutnya membuat kebutuhan sumber daya manusia di bidang produksi pun ikut meningkat.
"Di kuartal ini kami menambah jumlah karyawan sebanyak 25 persen dari kuartal pertama saat pertama kali pandemi masuk ke Indonesia."
"Tentu ini adalah sesuatu yang sangat kami syukuri karena bisa membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar," ujar lulusan University of California, Berkeley ini.
Karyawan-karyawan baru yang direkrut tersebut rata-rata masyarakat yang berdomisili di sekitar pabrik Cottonology.
Olin menegaskan, sejak awal ia memang ingin usahanya bisa menghidupi masyarakat sekitar.
"Bagian produksi dan bagian sales counter mayoritas kami rekrut dari masyarakat sekitar. Bahkan di bagian produksi pun ada ketua RT," katanya.
Hanya saja, khusus untuk desainer mereka mencari yang berpengalaman dan memiliki keahlian di bidang tersebut.
Hal ini disebabkan karena Cottonology ingin memproduksi fashion dengan motif yang disukai pasar.
"Dari sisi bahan dan motif, tentu yang lebih paham adalah mereka yang telah lama berkecimpung di industri ini."
"Koleksi terbaru kami seperti kemeja tie dye misalnya, pilihan bahan rayon yang licin tentu ada dasarnya."
"Kemeja ini bisa dipakai untuk acara resmi maupun untuk baju tidur. Kolaborasi antara tim desainer dan tim riset pasar kami menghasilkan produk seperti ini," paparnya.
Baca juga: Incar Pasar Milenial, Produsen Brand Fesyen Lokal Ini Buka Gerai Baru di Summarecon Mal Bekasi
Tingginya minat terhadap pakaian yang bisa 'memanipulasi penampilan' pun direspon Cottonology dengan memproduksi koleksi busana wanita terbaru.
Menurut Olin, banyak sekali wanita yang ingin terlihat kurus namun dengan pakaian yang nyaman.
"Karena itulah baru-baru ini kami meluncurkan koleksi pakaian wanita yang ukurannya dibuat untuk membentuk badan terlihat lebih kurus," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Maliana)