Nikita Willy Pernah Memakainya, Pakaian Pengantin Kotogadang yang Semakin Populer
Pakaian pengantin Kotagadang semakin populer. Pakain ini dipakai sejumlah selebritis dalam prosesi pernikahan mereka.
Editor: Anita K Wardhani
Laporan wartawan Wartakotalive.com, Lilis Setyaningsih
TRIBUNNEWS.COM , JAKARTA - Pakaian pengantin Kotagadang semakin populer. Pakain ini dipakai sejumlah selebritis dalam prosesi pernikahan mereka.
Saat artis Laudya Cynthia Bella menikah dengan pengusaha Malaysia Engku Emran pada 2017 lalu, foto preweddingnya menggunakan busana pengantin Kotogadang berwarna ungu dengan sentuhan emas.
Terbaru Nikita Willy juga mengenakan busana pengantin Kotogadang modifikasi pada saat melangsungkan Malam Bainai pada Oktober 2020 lalu.
Masyarakat Indonesia semakin akrab dengan pakaian pengantin Kotogadang, umumnya didentifikasi melalui penutup kepala pengantin wanita yang disamakan dengan kerudung.
Seiring meningkatnya popularitas sebutan pakaian pengantin Kotogadang, muncul
keprihatinan di kalangan bundo kanduang, kaum ibu dan perempuan di nagari Kotogadang.
Keprihatinan mereka terutama karena sebutan pakaian pengantin Kotogadang tersebut tidak
dibarengi dengan kelengkapan dan tata cara pemakaian yang sesuai dengan pakaian
pengantin Kotogadang yang sesungguhnya.
Sebagaimana pakaian adat yang memiliki aturan tersendiri dalam pemakaiannya, pakaian
pengantin Kotogadang pun demikian. Ada kelengkapan dan tata cara pemakaian yang harus diikuti.
Aturan ini berlaku sejak zaman nenek moyang dan diwariskan secara turun temurun.
Bagi masyarakat Kotogadang, pakaian pengantin Kotogadang memiliki nilai historis yang
tidak hanya menumbuhkan rasa kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah leluhur, tapi juga
membentuk identitas tersendiri. Karena itulah, hingga kini pakaian pengantin Kotogadang
masih dipakai.
Melestarikan pakaian adat seperti pakaian pengantin Kotogadang, membutuhkan usaha
tersendiri karena dalam perjalanannya, banyak hal-hal yang menjadi kendala. Antara lain,
adanya keterbatasan serta pengaruh dari luar dan arus modernisasi yang begitu kuat. Sejauh
ini, pakaian pengantin Kotogadang cukup mampu bertahan tanpa ada perubahan yang
membuatnya melenceng jauh dari keasliannya.
Namun, di sisi lain masih banyak ketidaktahuan yang mengancam kelestarian identitas pakaian pengantin Kotogadang.
“Kami ingin meluruskan tata cara pemakaian pakaian pengantin Kotogadang yang sudah melenceng sehingga mengancam kelestariannya. Tidak dapat dimungkiri, usaha ini tidak akan mudah karena melibatkan banyak hal bagi pemakainya. Antara lain; biaya, aspek fashion, dan selera pemakai. Tapi kami tetap berusaha untuk melakukan pelestarian pakaian pengantin adat Kotogadang untuk generasi penerus Kotogadang, maupun pihak lain yang menyukai pakaian tersebut,” jelas Yetty Budiarman, Ketua Umum Yayasan Kerajinan Amai Setia Kotogadang.
Kendala lain yang juga menjadi perhatian dalam melestarikan pakaian pengantin Kotogadang
diungkapkan oleh Halmiati Juni, Dewan Pengawas Yayasan Kerajinan Amai Setia
Kotogadang.
“Karena diwariskan secara turun temurun, seiring perjalanan waktu, ada saja detail-detail yang tidak tersampaikan atau mungkin terabaikan. Akibatnya, masih banyak salah kaprah yang terjadi dalam memakai pakaian pengantin Kotogadang. Selain itu, masih
banyak yang mengabaikan kelengkapan dan tata cara pemakaian pakaian pengantin
Kotogadang,” jelas Halmiati yang juga tampil sebagai pembicara.
Halmiati menjelaskan bahwa Kelengkapan dan tata cara pemakaian pakaian pengantin Kotogadang yang berlaku dalam tradisi masyarakat Kotogadang tidak dapat diabaikan.
Karena, hal-hal yang mendasar itulah yang membentuk identitas tersendiri bagi
pakaian pengantin Kotogadang, sekaligus membedakannya dengan pakaian pengantin adat daerah lain.
Di balik pakaian pengantin Kotogadang juga terkandung prinsip yang tidak dapat diabaikan.
“Prinsipnya tidak meninggalkan ajaran agama, serba tertutup. Tidak ketat. Langan laweh
(tangan lebar), badan lapang (badan longgar). Pakaian pengantin Kotogadang itu filosofinya,
serba bataratik (tertib), badacak (patut),” jelas Srirayani Irwan, pembicara yang juga aktif
sebagai Ketua Bidang Produksi dan Promosi Yayasan Kerajinan Amai Setia Kotogadang.
Menurut Srirayani, penutup kepala pengantin wanita Kotogadang yang disebut oleh
masyarakat kebanyakan sebagai kerudung, sebetulnya tidak tepat.
Penutup kepala pengantin wanita Kotogadang disebut tilakuang yang bisa berarti mukena, perlengkapan salat untuk wanita.
“Tilakuang anak daro (pengantin wanita) itu tidak sama dengan kerudung. Model tilakuang sama dengan yang dipakai untuk salat. Lihat saja lubang di atas kepala. Posisinya
menghadap ke atas. Perumpamaannya, kalau kita tarik ke depan ke arah muka, posisinya
sama dengan tilakuang salat. Lubang yang menghadap ke atas melambangkan seolah-olah
penghormatan untuk yang di atas (Allah SWT),” papar Srirayani.
Beragam Jenis
Ada beberapa jenis pakaian adat pengantin Kotogadang dengan aturan pemakaian yang
berbeda-beda.
Pada kesempatan tersebut, Yayasan Kerajinan Amai Setia Kotogadang menampilkan dua jenis pakaian pengantin wanita (pakaian anak daro) dan dua jenis pakaian pengantin pria (pakaian marapulai).
Pakaian pengantin tersebut adalah:
Pakaian anak daro Kotogadang:
- Baju Kurung Tarawang Tigo (dengan undok, penutup kepala berupa selendang yang
dikerudungkan) – dipakai setelah ijab kabul terlaksana.
- Baju Kurung Batabua (dengan tilakuang, penutup kepala dari bahan beludru) – biasa
dipakai untuk resepsi. Bisa juga dipakai setelah ijab kabul terlaksana.
Pakaian marapulai Kotogadang:
- Baju Gadang (dengan deta batik, penutup kepala destar batik) – dipakai pada saat
acara nikah maupun resepsi. Biasanya disandingkan dengan Baju Kurung Tarawang
Tigo. Tapi bisa juga disandingkan dengan Baju Kurung Batabua
- Baju Roki (dengan deta gadang ameh, penutup kepala berupa destar emas) – dipakai
hanya pada saat resepsi di gedung. Disandingkan dengan Baju Kurung Batabua.
Semua pakaian ini dijelaskan berikut kelengkapan dan tata cara pemakaiannya.
Webinar “Pakaian Pengantin Kotogadang” diharapkan dapat memberi pengetahuan yang
lebih komprehensif kepada masyarakat Kotogadang dan masyarakat luas mengenai pakaian pengantin Kotogadang.
Dengan demikian, pada akhirnya diharapkan tidak ada lagi salah kaprah yang terjadi.
Tentang Yayasan Kerajinan Amai Setia Kotogadang
Yayasan Kerajinan Amai Setia Kotogadang bermula dari sebuah perkumpulan wanita Amai
Setia yang didirikan oleh jurnalis wanita Indonesia pertama, Rky. Roehanna Koeddoes pada tahun 1911. Beliau bersama Rky. Rakena Puti dan Rky. Hadisah mendirikan perkumpulan ini untuk meningkatkan derajat wanita Minangkabau, khususnya Kotogadang. Amai Setia menjadi pusat kegiatan kaum wanita Kotogadang. Di Amai Setia, kaum wanita Kotogadang dapat belajar membaca, menulis, berhitung, dan berbagai keterampilan lainnya, seperti menyulam dan merenda. Pada tahun 1915, Kerajinan Amai Setia mendapat pengakuan Rechtspersoon atau badan hukum, dengan surat putusan Nomor 31 tanggal 16 Januari 1915.
Pada tanggal 23 Februari 1919, Kerajinan Amai Setia mulai menggunakan gedungnya
sendiri. Sejak itu, gedung ini menjadi salah satu ikon bagi Kotogadang. Amai Setia yang
kemudian berkembang menjadi Yayasan Kerajinan Amai Setia Kotogadang hingga kini giat dalam upaya pelestarian adat budaya dan kerajinan Kotogadang. Pada 8 November 2019, Roehanna Koeddoes dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
(*/Lis)