Inggit, Tegak Setelah Pandemi
Kehebatan seorang aktris (seniman) akan teruji saat berdiri di panggung teater di hadapan penonton. Happy Salma luar biasa.
Editor: cecep burdansyah
ULASAN TEATER
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah tertunda dua tahun akibat pandemi, “Inggit: Tegak Setelah Ombak”, akhirnya benar-benar berdiri tegak di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta, 20 dan 21 Mei 2022, malam. Inggit hadir dalam monolog musikal.
Lebih dari satu jam Happy Salma mampu memukau penonton yang memenuhi ruangan teater. Usai mengucapkan “kembali ke kehidupan semula” disertai layar turun perlahan dan cahaya memudar, penonton standing aplaus. Di antaranya, Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Happy Salma, seleb yang telah lama bertransformasi menjadi aktris, menjelma menjadi Inggit, seorang perempuan asal Banjaran yang mengantarkan lahirnya seorang pemimpin, Kusno alias Soekarno. Tubuhnya lentur, artikulasinya jernih, napasnya ritmik, betul-betul sempurna menubuhjiwakan Inggit.
Inggit Garnasih, demikian dikenal namanya, bukan istri biasa. Ia memang punya rasa kecewa, sakit hati, cemburu, pintar masak, pintar usaha, tapi lebih dari itu ia seorang perempuan yang masuk menyelami karakter seorang laki-laki dan memunculkan bakat-bakatnya.
Bahkan Inggit melebihi kemampuan di antara perempuan lain, ia mempunyai visi di antara mimpi Soekarno yang ingin memerdekakan bangsanya. Tapi Inggit, lebih dari Soekarno, ia bukan perempuan yang silau dengan istana. Ia tak tergiur mendampingi laki-laki pujaannya yang segera menjadi pemimpin, apabila harus berbagi dengan perempuan lain. Ia memilih kembali ke kehidupan awalnya, kembali ke Bandung menjalani kehidupan biasa.
Hadirnya Inggit malam itu memang tak bisa lepas dari ketangguhan akting Happy Salma. Selain menyelami jiwa seorang perempuan, Happy tahu bahwa Inggit istimewa, mempunyai peran sangat besar bagi bangsa ini. Peran di belakang layar. Dan Happy Salma telah membuka lebar-lebar layar itu ke publik yang hadir di Artrium Ciputra Theater.
Pertama kali tahu Inggit dari surat kabar di era orde baru. Namun perannya yang sangat penting, dan kisah kehidupannya yang dramatik, baru saya ketahui dari novel yang ditulis penyair Ramadhan KH, “Kuantar ke Gerbang”.
Tentu saja unsur dramatik novel dan panggung berbeda. Dalam konteks pemanggungan “Inggit: Tegak Setelah Ombak”, memang terinspirasi dari novel Ramadhan KH. Namun alih wahana memerlukan energi dan tafsir yang matang dan handal. Kolaborasi Ratna Ayu Budhiarti sebagai penulis naskah dan lirik dan Wawan Sofwan sebagai sutradara, layak mendapat apresiasi. Keduanya berhasil menyuguhkan unsur dramatik kehidupan rumahtangga Inggit.
Selain unsur dramatik, perjuangan dan romantika Inggit, Soekarno dan para pendiri bangsa terasa hadir. Pada saat alur mengisahkan perjuangan dan pembuangan, baik ke Ende, Bengkulu dan Padang, serta mengapung di laut, Seokarno terasa nyata hadir. Begitu pula alur yang mengisahkan pertemuan awal Inggit dan Soekarno, dari pertemuan yang wajar menuju keganjilan. Pada saat berahi keduanya menuju puncak, ruangan bukan saja hening, tapi seakan ikut tegang, tersihir panggung.
Alur maju mundur biasanya sulit diikuti. Namun, kolaborasi Ratna sebagai penulis, Wawan Sofwan sebagai sutradara, Happy Salma sebagai pemeran Inggit mematahkan hal tersebut, bahwa alur maju mundur ternyata bisa akrab dipahami, tidak rumit, dan tetap kokoh menopang kisah.
Musik, tata panggung dan cahaya ikut berperan menegaskan suasana dramatik, erotik, dan perjuangan Inggit dan Kusno.
Inggit: Tegak Setelah Ombak diproduksi oleh Titimangsa, dengan produser Happy Salma, didukung oleh Komposer Dian HP, konduktor ternama Apiv Priatna serta pemeran pendukung lain yang memerankan Omi, Amsi dan lainnya.
Inggit ini awalnya akan pentas awal 2020, namun ternyata virus Covid-19 menghentikan rencana pementasan, sehingga ditunda. Bersyukur tahun ini pandemi mulai reda, dan selama penundaan tim produksi tidak tergoda untuk pentas melalui platform digital. Dalam percakapan selintas dengan sang sutradara, Wawan Sofwan, pementasan melalui platform digital lebih banyak kelemahannya, salah satunya unsur emosi tidak terungkap.
Dari pementasan ini, saya, dan saya juga yakin penonton lain pun, tidak menangkap kekecewaan seorang perempuan, malah sebaliknya, ketulusan dan ketegaran, sementara laki-laki, sehebat apa pun, muncul sebagai mahluk yang manja dan terkadang bodoh di depan perempuan. (cecep burdansyah)*