Surat Al Baqarah Ayat 184, Lengkap Tulisan Arab, Latin dan Tafsir tentang Puasa Ramadhan
Simak bacaan surat Al Baqarah ayat 184 lengkap dengan tafsir tentang kewajiban puasa Ramadhan dengan keringanan.
Penulis: Lanny Latifah
Editor: Endra Kurniawan
TRIBUNNEWS.COM - Berikut inilah bacaan surat Al Baqarah ayat 184 lengkap dengan tulisan Arab, latin, terjemahan, dan tafsir.
QS Al Baqarah ayat 184 menjelaskan tentang kewajiban puasa Ramadhan dengan keringanan, dimana Allah memberi pilihan kepada hamba-Nya untuk memilih antara dua hal, yakni berpuasa atau memberi makan orang miskin sebagai ganti berpuasa.
Diketahui, Al Baqarah merupakan surat ke-2 dalam kitab suci Al Quran yang terdiri dari 286 ayat.
Surat Al Baqarah artinya sapi betina.
Baca juga: Surat Al Baqarah Ayat 183 dalam Tulisan Arab dan Latin: Perintah Wajib Berpuasa di Bulan Ramadhan
Selengkapnya, Inilah bacaan QS Al Baqarah ayat 184 dalam tulisan arab, latin, dan terjemahan, dikutip dari quran.kemenag.go.id :
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Ayyāmam ma‘dūdāt(in), faman kāna minkum marīḍan au ‘alā safarin fa ‘iddatum min ayyāmin ukhar(a), wa ‘alal-lażīna yuṭīqūnahū fidyatun ṭa‘āmu miskīn(in), faman taṭawwa‘a khairan fahuwa khairul lah(ū), wa an taṣūmū khairul lakum in kuntum ta‘lamūn(a).
Terjemahan QS Al Baqarah ayat 184 :
(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,51) itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Al-Baqarah [2]:184)
Tafsir QS Al Baqarah ayat 184:
Dilansir dari quran.kemenag.go.id, Al Baqarah ayat 184 menerangkan bahwa puasa yang diwajibkan ada beberapa hari yaitu pada bulan Ramadhan menurut jumlah hari bulan Ramadhan (29 atau 30 hari).
Nabi Muhammad saw semenjak turunnya perintah puasa sampai wafatnya, beliau selalu berpuasa di bulan Ramadhan selama 29 hari, kecuali satu kali saja bulan Ramadhan genap 30 hari.
Sekalipun Allah telah mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan kepada semua orang yang beriman, namun Allah yang Mahabijaksana memberikan keringanan kepada orang-orang yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dan menggantinya pada hari-hari lain di luar bulan tersebut.
Baca juga: Makna dan Hikmah Puasa Ramadhan sebagai Panduan Umat Islam dalam Beribadah
Pada ayat tersebut tidak dirinci jenis atau sifat batasan dan kadar sakit hingga musafir itu, sehingga para ulama memberikan hasil ijtihadnya masing-masing antara lain sebagai berikut:
1. Menurut Ibnu Sirin dan Dawud az-Zahiri, dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit atau musafir tanpa membedakan sakitnya itu berat atau ringan, demikian pula perjalanannya jauh atau dekat, sesuai dengan bunyi ayat ini.
2. Dibolehkan tidak berpuasa bagi setiap orang yang sakit yang benar-benar merasa kesukaran berpuasa, karena sakitnya. Ukuran kesukaran itu diserahkan kepada rasa tanggung jawab dan keimanan masing-masing. Pendapat ini dipelopori oleh sebagian ulama tafsir.
3. Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit atau musafir dengan ketentuan-ketentuan, apabila sakit itu berat dan akan mempengaruhi keselamatan jiwa atau keselamatan sebagian anggota tubuhnya atau menambah sakitnya bila berpuasa. Kemudian, bagi orang-orang yang musafir, apabila perjalanannya itu dalam jarak jauh, yang ukurannya paling sedikit 16 farsakh (kurang lebih 80 km).
4. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai perjalanan musafir, apakah dengan berjalan kaki, atau dengan apa saja, asalkan tidak untuk mengerjakan perbuatan maksiat.
Sesudah itu Allah menerangkan pada pertengahan ayat 184 yang terjemahannya, "Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan orang miskin."
Menurut ayat 184, siapa yang benar-benar merasa berat menjalankan puasa, maka boleh menggantinya dengan fidyah, walaupun ia tidak sakit dan tidak musafir.
Termasuk orang-orang yang berat mengerjakan puasa itu adalah:
a. Orang tua yang tidak mampu berpuasa, bila ia tidak berpuasa diganti dengan fidyah.
b. Wanita hamil dan yang sedang menyusui.
Menurut Imam Syafi‘i dan Ahmad, jika wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui khawatir akan terganggu kesehatan janin/bayinya, lalu mereka tidak puasa, maka wajib atas keduanya mengqada puasa yang ditinggalkannya, dan membayar fidyah.
Namun, jika mereka khawatir atas kesehatan diri mereka saja yang terganggu dan tidak khawatir atas kesehatan janin/bayinya, atau mereka khawatir atas kesehatan dirinya dan janin/bayinya, lalu mereka tidak puasa, maka wajib atas mereka diqada puasa saja.
Sedangkan menurut Abu Hanifah, ibu hamil dan yang sedang menyusui dalam semua hal yang disebutkan di atas, cukup mengqada puasa saja.
c. Orang-orang sakit yang tidak sanggup berpuasa dan penyakitnya tidak ada harapan akan sembuh, hanya diwajibkan membayar fidyah.
d. Mengenai buruh dan petani yang penghidupannya hanya dari hasil kerja keras dan membanting tulang setiap hari, dalam hal ini ulama fikih mengemukakan pendapat sebagai berikut:
Ibnu Hajar dan Imam al-Azra'i telah memberi fatwa, "Sesungguhnya wajib bagi orang-orang pengetam padi dan sebagainya dan yang serupa dengan mereka, berniat puasa setiap malam Ramadan. Apabila pada siang harinya ia ternyata mengalami kesukaran atau penderitaan yang berat, maka ia boleh berbuka puasa. Kalau tidak demikian, ia tidak boleh berbuka.
Kalau seseorang yang pencariannya tergantung kepada suatu pekerjaan berat untuk menutupi kebutuhan hidupnya atau kebutuhan hidup orang-orang yang harus dibiayainya dimana ia tidak tahan berpuasa maka ia boleh berbuka pada waktu itu (dengan arti ia harus berpuasa sejak pagi)."
Pada akhir ayat 184 juga menjelaskan, bahwa orang yang dengan rela hati mengerjakan kebajikan dengan membayar fidyah lebih dari ukurannya atau memberi makan lebih dari seorang miskin, maka perbuatan itu baik baginya.
Setelah itu, Allah menutup ayat ini dengan menekankan bahwa berpuasa lebih baik daripada tidak berpuasa.
(Tribunnews.com/Latifah)