Sistem Proporsional Terbuka Menghadirkan Praktek Pasar Bebas dan Individualis
sistem proporsional terbuka dalam pemilihan calon legislatif lebih menghadirkan semangat individualis, akibat praktek pasar bebas yang terjadi.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Dr. Putu Gede Arya Sumertha Yasa, menyampaikan bahwa sistem proporsional terbuka dalam pemilihan calon legislatif lebih menghadirkan semangat individualis, akibat praktek pasar bebas yang terjadi. Ketimbang menghadirkan iklim musyawarah dalam menghadirkan wakil-wakil rakyat yang mumpuni sebagaimana dalam Sila ke IV Pancasila.
Menurut Doktor Putu Gede, fenomena caleg-caleg terpilih karena popularitas dan banyak uang, merupakan realita yang terjadi dan tidak dapat dibantah. Sehingga kerap kali, dalam rekrutmen caleg, kemampuan untuk memperjuangkan hak rakyat tidak menjadi ukuran prioritas.
“Bayangkan saja, caleg yang memiliki kualifikasi yang mumpuni dari aspek intelektual selalu kalah dengan caleg yang mengandalkan modal besar, bahkan ironisnya, dari Pemilu ke Pemilu, biaya yang dikeluarkan caleg semakin mahal," ujar Putu Gede kepada media, Kamis (5/1/2023).
"Disamping itu, realita menunjukkan bahwa kader partai yang mumpuni yang selama ini ikut bersama-sama menjalankan roda organisasi kepartaian dalam menjalankan pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas, serta ikut membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, seringkali dikalahkan dengan calon yang punya banyak uang," sambungnya.
Tentunya, ini jauh dengan semangat nilai musyawarah, yang dikehendaki oleh pendiri bangsa Indonesia, tambah Putu Gede.
“Bahkan karena sistem proporsional terbuka menghendaki persaingan sebebas-bebasnya, berdampak pada ruang-ruang perselisihan antar calon legislatif, termasuk di internal Partai semakin mengeras. Lambat laun, kerapuhan partai-partai politik, dapat terjadi akibat kuatnya individual bermodal di tubuh partai. Pada akhirnya tujuan dari Partai Politik sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan untuk turut andil dalam pembangunan Negara bisa terhambat,” sambungnya.
Untuk diketahui, saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) sedang menguji materi (judicial review) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka.
Apabila judicial review itu dikabulkan oleh MK, maka sistem pemilu pada 2024 mendatang akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.
Sistem proporsional tertutup memungkinkan para pemilih hanya disajikan logo partai politik (parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pileg.
Baca juga: Pakar Hukum Hendry Indraguna Berpendapat MK Harusnya Tolak Gugatan Pemilu Proporsional Terbuka
Uji materi ini diajukan oleh enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).
Di sisi lain, mayoritas fraksi di DPR justru menyatakan keberatan bila sistem proporsional tertutup diberlakukan.
Mereka menginginkan sistem proporsional terbuka yang digugat itu untuk terus dipertahankan.