Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Menanti Putusan MK soal Sistem Pemilu 2024, Sebelumnya 8 Parpol Tolak Sistem Proporsional Tertutup

Putusan sistem pemilihan umum (Pemilu) 2024 di Indonesia akan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Kamis (15/6/2023), di Gedung MK.

Penulis: Suci Bangun Dwi Setyaningsih
Editor: Tiara Shelavie
zoom-in Menanti Putusan MK soal Sistem Pemilu 2024, Sebelumnya 8 Parpol Tolak Sistem Proporsional Tertutup
Tribunnews.com/Chaerul Umam
Delapan pimpinan partai politik (parpol) yang punya wakil di Parlemen menyatakan sikap tegas menolak wacana sistem pemilu proporsional tertutup. Hari ini, putusan sistem pemilihan umum (Pemilu) 2024 di Indonesia akan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (15/6/2023), di Gedung MK. 

TRIBUNNEWS.COM - Putusan tentang sistem pemilihan umum (Pemilu) 2024 di Indonesia akan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Kamis (15/6/2023).

Masyarakat pun menunggu hasil putusan MK terkait sistem Pemilu 2024.

Apakah nantinya MK bakal memutuskan pemilu 2024 menerapkan sistem proporsional terbuka atau beralih ke sistem proporsional tertutup.

Berdasarkan jadwal sidang yang tercatat dalam situs resmi Mahkamah Konstitusi, sidang putusan terkait sistem Pemilu 2024 akan digelar mulai pukul 09.30 WIB.

Sidang akan digelar di Gedung MKRI 1 Lantai 2, Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat.

Adapun berkas yang diunggah di laman MK, tercatat pemohon gugatan, yaitu Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, dan Fahrurrozi.

Kemudian, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marjiono.

Baca juga: Fahri Hamzah Yakin MK akan Buat Putusan Sistem Pemilu 2024 Tetap Terbuka

Berita Rekomendasi

Sementara itu, ada delapan partai politik yang menolak sistem digelar secara proporsional tertutup.

Kedelapan partai tersebut, yaitu Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, PKS, Demokrat, dan PPP.

Fakta-fakta Jelang Putusan MK

- Jokowi Ajak Ketua MK Ngopi Bareng Jelang Putusan soal Sistem Pemilu

Presiden Joko Widodo mengajak Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dan sejumlah pejabat ngopi bareng jelang putusan MK soal sistem pemilu di Indonesia.

Kegiatan ngopi bareng itu, dilakukan usai pembukaan Jakarta Fair 2023 di Jakarta Internaional Expo (JIExpo) Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (14/6/2023).

Momen tersebut, terjadi setelah Jokowi dan sejumlah pejabat menyempatkan diri untuk berkeliling area Jakarta Fair.

Setelah berkeliling, Presiden Jokowi bersama pejabat lainnya mengunjungi sebuah stand penjual kopi instan.

Anwar Usman yang terlihat mengenakan kemeja biru pun terlihat duduk di samping Presiden Jokowi.

Keduanya tampak santai bersama para pejabat lainnya, seperti Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Panglima TNI Yudo Margono.

Pantauan TribunJakarta.com di lokasi, kurang lebih 15 menit dihabiskan oleh Presiden Jokowi cs di stand kopi instan tersebut.

Presiden Joko Widodo ngopi bersama sejumlah pejabat, antara lain, Ketua Mahkamah Konsitusi Anwar Usman, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, dan Menparekraf Sandiaga Uno di stan kopi instan seusai membuka Jakarya Fair Kemayoran 2023 di Jakarta Internasional Expo, Rabu (14/6/2023).
Presiden Joko Widodo ngopi bersama sejumlah pejabat, antara lain, Ketua Mahkamah Konsitusi Anwar Usman, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, dan Menparekraf Sandiaga Uno di stan kopi instan seusai membuka Jakarya Fair Kemayoran 2023 di Jakarta Internasional Expo, Rabu (14/6/2023). (KOMPAS.com/Ardito Ramadhan D)

- Pengamat Yakin MK Bakal Tolak Permohonan soal Sistem Proporsional Pemilu

Pengamat pemilu sekaligus Anggota Dewan Pembinaan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, meyakini Mahkamah Konstitusi (MK) bakal menolak permohonan soal sistem proporsional pemilu.

"Menurut saya, MK akan menolak permohonan nomor 114 ini dan menempatkan pilihan sistem pemilu sebagai legal policy atau kebijakan hukum yang menjadi kewenangan pembentuk UU," kata Titi dalam saluran YouTube pribadinya, Rabu (14/6/2023).

Lebih lanjut, Titi menyampaikan alasan kenapa MK bakal memutus sistem pemilu sebagai legal policy atau kebijakan publik adalah karena dalam Pasal 168 ayat 2 Undang-Undang (UU) Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang diajukan ke MK, tidak memuat isu soal konstitusionalitas.

MK, kata Titi, menguji UU terhadap Undang-Undang Dasar (UUD).

Sehingga dalam tahapannya, tentu harus ada norma UUD yang dilanggar oleh UU.

Namun sepanjang penelusuran Titi, tidak ada norma UUD yang dilanggar oleh Pasal 168 Ayat 2 itu.

Hal ini dikarenakan, dalam UUD sendiri tidak diatur sistem pemilu untuk pemilu DPR dan DPRD sebagaimana yang diuji oleh pemohon ke MK.

"Ternyata kalau saya telusuri tidak ada norma UUD yang disimpangi atau dilanggar oleh pasal 168 ayat 2. Karena memang UUD kita tidak mengatur pilihan sistem pemilu untuk DPR dan DPRD," jelasnya.

"Dengan demikian tidak ada isu konstitusionalitasnya terkait norma yang mengatur sistem pemilu, karena UUD sendiri tidak mengatur pilihan sistem pemilu secara spesifik," lanjut Titi.

Titi pun menambahkan, dalam konstitusi memang tidak diatur sistem pemilu untuk DPR dan DPRD.

Sistem tersebut, kata Titi, hanya diatur untuk pemilihan presiden dan wakil presiden.

"Presiden dan wakil presiden itu diatur di pasal 6 a Ayat 3, Ayat 4, yaitu sistem pemilunya majority run of two round system. Sistem pemilu dua putaran. Kalau tidak dapat 50 persen plus 1, maka ada putaran kedua. Jadi kalau mau dapat kursi harus 50 persen plus 1. Itu sistem pemilu presiden wakil presiden. Jelas konstitusi mengatur," Titi menegaskan.

"Tapi kalau untuk pemilu DPR dan DPRD itu tidak ada di dalam bab 7 b Pasal 22 e yang mengatur tentang pemilu. Hanya disebutkan di Pasal 22 e ayat 3 UUD Negara RI tahun 1945 bahwa peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD adalah parpol," imbuhnya.

Ini artinya, lanjut Titi, jika mengacu sistem varian pemilu: sistem pemilu yang pesertanya adalah partai politik bukan hanya proporsional saja.

Tetapi, menurutnya, bisa juga sistem pluralitas mayoritas dengan varian party block vote (pemilih memilih partai, bukan kandidat).

Ketua Umum DPP Partai Golkar, Airlangga Hartarto (kedua kiri) bersama Sekjen Partai Golkar, Lodewijk Freidrich Paulus (kiri) menghadiri pembukaan Rapat Kerja Nasional Partai Golkar tahun 2023 di Kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Minggu (4/6/2023).
Ketua Umum DPP Partai Golkar, Airlangga Hartarto (kedua kiri) bersama Sekjen Partai Golkar, Lodewijk Freidrich Paulus (kiri) menghadiri pembukaan Rapat Kerja Nasional Partai Golkar tahun 2023 di Kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Minggu (4/6/2023). (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

- 8 Parpol Tolak Wacana Sistem Proporsional Tertutup

Sebelumnya, sebanyak delapan partai politik (parpol) di Indonesia sepakat untuk menolak wacana sistem pemilu proporsional tertutup.

Kedelapan parpol itu, meliputi Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, PKS, Demokrat, dan PPP.

Hal itu, sudah disampaikan elite parpol ketika mengadakan pertemuan di Hotel Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Minggu (8/1/2023).

Adapun kesepakatan itu, dilakukan oleh Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PAM Zulkifli Hasan, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Presiden PKS Ahmad Syaikhu.

Kemudian, ada Wakil Ketua Umum PPP Amir Uskara, Sekjen Partai Nasdem Johnny G Plate dan Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali.

Begitu pun pihak Gerindra yang menolak wacana sistem pemilu proporsional tertutup.

Menurut Ketum Golkar, Airlangga Hartarto, pihaknya bersama tujuh parpol lainnya menolak sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional tertutup.

"Sehubungan dengan wacana diberlakukannya kembali sistem pemilu proporsional tertutup, kami menyampaikan sikap, pertama, kami menolak proporsional tertutup," kata Airlangga dalam tayangan Breaking News Kompas TV, Minggu (8/1/2023).

Airlangga menjelaskan, delapan parpol yang sepakat ini memiliki komitmen untuk menjaga kemajuan demokrasi di Indonesia yang telah dijalankan sejak era reformasi.

"Sistem pemilu proposional tertutup merupakan pengunduran bagi demokrasi dari kita."

"Di lain pihak, sistem proporsional terbuka merupakan perwujudan dari demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat, di mana rakyat dapat menentukan calon legislatif yang dicalonkan parpol."

"Kami tidak ingin demokrasi mundur," lanjutnya.

Kemudian, Airlangga menyebut, sistem pemilu dengan proporsional terbuka merupakan pilihan tepat dan telah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada 23 Desember 2008.

Diketahui, sistem pemilihan umum (Pemilu) 2024 di Indonesia akan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Kamis (15/6/2023), di Gedung MK.

Baca juga: Saat Jokowi Ajak Ketua MK Ngopi Bareng Jelang Putusan soal Sistem Pemilu Hari Ini

Dilansir Kompas.com, awalnya gugatan nomor 114/PUU-XX/2022 diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.

Sorotan mencuat ketika Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mengomentari adanya gugatan ini pada 29 Desember 2020.

Yang kemudian ditafsirkan para elite politik sebagai bentuk dukungan KPU RI atas pemilu legislatif sistem proporsional daftar calon tertutup.

Hasyim disanksi oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akibat komentar ini.

Sementara itu, setidaknya ada 17 pihak, termasuk LSM kepemiluan hingga partai politik mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam perkara ini.

Lantas, polemik tersebut muncul lagi setelah eks Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, mengeklaim mendapatkan informasi tepercaya bukan dari internal Mahkamah, bahwa MK bakal memutuskan kembalinya sistem proporsional tertutup zaman Orde Baru.

Di sisi lain, dari tahapan pemilu, KPU RI telah melangsungkan pendaftaran bakal calon anggota legislatif (bacaleg) sejak 1 Mei 2023 menggunakan sistem proporsional daftar calon terbuka.

Tentang Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup

Sebagai informasi, sistem proporsional terbuka, yakni pemilih dapat memilih daftar nama calon legislatif.

Dosen Ilmu Politik FISIP UI, Sri Budi Eko Wardani, pun menjelaskan kelebihan dari sistem tersebut.

“Kelebihan dari sistem ini memang ada hubungan yang terbangun antara pemilih dengan calon legilatif (caleg) yang dipilih, lalu dalam sistem ini memang aspirasi pemilih lebih menentukan siapa yang terpilih, namun dalam sistem tertutup aspirasi elite partai yang menentukan,” kata Wardani di Departemen Ilmu Poltik, dikutip Tribunnews.com dari Fisip.ui.ac.id, kamis (15/6/2023).

Sementara sistem proporsional tertutup, yakni secara teknis pemilih hanya dapat memilih tanda gambar partai saja.

"Ini berlaku sejak masa orde baru dari tahun 1971 sampai 1997 yang mana jumlah partai dibatasi hanya tiga saja, jadi daftar caleg tidak ada di surat suara hanya di umumkan di Tempat Pemungutan Suara (TPS), nantinya yang terpilih berdasarkan nomor urut. Nomor urut ditentukan oleh mekanisme internal partai,” jelasnya.

(Tribunnews.com/Suci Bangun DS, Mario Christian Sumampow, TribunJakarta.com/Dionisius Arya Bima Suci,  TribunBatam.id, Kompas.com)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas