Berpotensi Timbulkan Kontroversi dan Merusak Nilai Agama, MK Larang Kampanye di Tempat Ibadah
Adapun Mahkamah menyampaikan, penggunaan tempat ibadah sebagai tempat kampanye berpotensi memicu emosi dan kontroversi serta merusak nilai-nilai agama
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materiil penjelasan pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Gugatan uji materiil ini diajukan Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDIP, Ong Yenny dan karyawan swasta, Handrey Mantiri.
Melalui putusan ini, Mahkamah menegaskan tempat ibadah dilarang menjadi lokasi kampanye.
Baca juga: KPU Bolehkan Baksos Sebagai Sarana Kampanye, Perludem: Buka Potensi Politik Uang
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang putusan, di Gedung MK, Jakarta, Selasa (15/8/2023).
Dalam putusannya, Hakim Anwar menyatakan penjelasan pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu sepanjang frasa "Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Lebih lanjut, Mahkamah pun melakukan revisi terhadap materi pasal 280 ayat (1).
Baca juga: KPU RI Nilai Wajar Spanduk Parpol dan Caleg Bertebaran di Luar Masa Kampanye
"Menyatakan Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'mengecualikan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu', sehingga Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi, 'menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu'," terang Ketua MK Anwar Usman.
Mahkamah menilai pokok permohonan para pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Adapun Mahkamah menyampaikan, penggunaan tempat ibadah sebagai tempat kampanye berpotensi memicu emosi dan kontroversi serta merusak nilai-nilai agama.
Terlebih, jika diletakkan pada situasi dan kondisi masyarakat yang semakin mudah terprovokasi dan cepat bereaksi pada isu-isu yang berkaitan dengan politik identitas tanpa menilai fakta yang objektif.
Hal tersebut, menurut Mahkamah, berpotensi memperdalam polarisasi politik di tengah banyaknya narasi dan opini yang dapat bermuara pada melemahnya kohesi sosial.
Terkait hal tersebut, Mahkamah menilai pembatasan penggunaan tempat ibadah untuk berkampanye tidak berarti adanya pemisahan antara agama dengan institusi negara.
Baca juga: Hoaks Masih Jadi Titik Rawan Pemilu 2024, Bawaslu Khawatir Terjadi Polarisasi Seperti Pemilu 2019
Melainkan, lebih pada proses pembedaan fungsi antara institusi keagamaan dengan ranah di luar agama dalam masyarakat terutama untuk masalah yang memiliki nilai politik praktis yang sangat tinggi.
Sebagai informasi, pemohon dalam permohonannya menilai penjelasan pasal itu menyebabkan hak konstitusionalnya sebagai pemilih dan/atau sebagai calon anggota DPRD DKI Jakarta dirugikan.
Oleh karena itu, pemohon meminta MK untuk menghapus penjelasan pasal 280 ayat (1) huruf h tersebut dalam petitum permohonannya.