Komentari Kegagalan Food Estate, Jubir Anies: Pembangunan yang Cenderung Otoriter Berpotensi Gagal
Juru bicara Anies Baswedan, Sulfikar Amir merespon penjelasan Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad yang mengakui kesulitan food estate.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Juru bicara Anies Baswedan, Sulfikar Amir menegaskan, pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) akan meninggalkan model dan praktek pembangunan yang cenderung otoriter.
“Agenda perubahan yang diusung AMIN akan meninggalkan model dan praktek pembangunan yang cenderung otoriter seperti food estate,” katanya, Jumat (22/9).
Pertanyaan Sulfikar ini merespon penjelasan Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad yang mengakui Menhan Prabowo kesulitan menjalankan program food estate, karena tanah untuk program lumbung pangan tersebut masih sulit ditanami (22/9).
Sulfikar mengatakan, permasalahan pangan dan peningkatan produktivitas pertanian nasional akan dilakukan dengan pendekatan kolaborasi di mana program akan diramu bersama semua pihak dari atas ke bawah.
Baca juga: Anies Baswedan Soal Prediksi Pilpres 2024 Hanya Dua Poros: Itu Bukan Isu
AMIN, ujarnya, juga akan memprioritaskan program pembangunan berdasarkan kondisi dan ketersediaan sumber daya lokal dan dengan memanfaatkan sains dan data sehingga program pembangunan dapat berjalan secara efektif dan terukur.
“Model pembangunan seperti ini yang akan diubah oleh Anies-Cak Imin jika terpilih sebagai presiden dan wakil presiden nanti,” katanya.
Ia melanjutkan, kegagalan food estate sebagai proyek pemerintah sudah diprediksi. Dalam teori pembangunan, menurutnya, food estate itu masuk kategori large-scale projects karena dilakukan dalam skala masif dan dengan sumber daya alam dan finansial yang jumlahnya besar.
Baca juga: Semakin Optimis, Pasangan Anies-Gus Imin Bentuk Baja Amin
“Proyek seperti itu sudah pernah dilakukan oleh China, Brazil, Uni Soviet, Uganda, dan banyak lagi. Biasanya dilakukan oleh rejim otoriter yang punya visi yang utopis,” ungkap Sulfikar.
Akhirnya, lanjut dia, proyek seperti food estate memiliki risiko kegagalan yang tinggi karena bersifat top-down dan tidak melibatkan masyarakat lokal. Juga karena ketidakmampuan organisasi negara dalam melakukan koordinasi yang begitu rumit.
“Di samping itu kurangnya pengetahuan yang dimiliki tentang konsekuensi dari eksploitasi alam yang dilakukan dalam waktu yang tergesa-gesa,” pungkasnya. (*)