Jelang Putusan MKMK, Ada Rencana Demo, Polisi Kerahkan Ribuan Personel Amankan Aksi
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) akan membacakan putusan terkait laporan dugaan etik hakim konstitusi, Selasa (7/11/2023) sore ini.
Penulis: Milani Resti Dilanggi
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) akan membacakan putusan terkait laporan dugaan etik hakim konstitusi, Selasa (7/11/2023) sore ini.
Dugaan pelanggaran etik itu terkait putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Dikutip dari Kompas.com, ada rencana aksi unjuk rasa dari sejumlah elemen massa di kawasan Patung Kuda menjelang putusan MKMK yang dibacakan sore nanti.
Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, pun ditutup dari kedua arah, baik arah Istana maupun Jalan MH Thamrin, Selasa (7/11/2023) siang.
Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Susatyo Purnomo Condro mengatakan, sebanyak 1.998 personel gabungan dikerahkan untuk mengamankan aksi unjuk rasa tersebut.
"Kami siap mengamankan pelaksanaan putusan sidang MKMK hari ini dengan menerjunkan 1.998 personel gabungan yang akan kami tempatkan baik di kawasan Monas maupun di Gedung MK," kata Susatyo.
Baca juga: Jelang Putusan MKMK: Anies Singgung Etika dan Objektivitas, Prabowo Irit Bicara
Kombes Susatyo pun mengimbau massa untuk saling menghormati.
"Mari saling menghormati antar pendukung massa aksi dan masyarakat umum apapun putusan dugaan pelanggaran kode etik yang akan diputuskan oleh MKMK pada hari ini," jelasnya.
Diwartakan sebelumnya, sidang pembacaan putusan bakal digelar pukul 16.00 WIB sore.
"Sidang Pleno Pengucapan Putusan MKMK terhadap dugaan kode etik dan perilaku hakim konstitusi mengenai putusan 90/PUU-XXI/2023 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umun akan digelar pada Selasa (7/11), mulai pukul 16.00 WIB," kata Ketua Sekretariat MKMK, Fajar Laksono, Selasa.
Sidang tersebut rencananya akan digelar di Ruang Sidang Pleno Gedung I gedung MKRI.
MKMK akan memutuskan soal dugaan pelanggaran kode etik buntut putusan terkait usia capres-cawapres yang sebelumnya diketok MK pada Senin (16/10/2023) lalu.
Gugatan tersebut diajukan oleh mahasiswa asal Solo bernama Almas Tsaqibbirru Re A dengan nomor gugatan 90/PUU-XXI/2023.
Pada gugatan ini, pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK, Anwar Usman, di dalam persidangan, Senin (16/10/2023).
Sehingga Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi:
"Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."
Namun, putusan tersebut kontroversial. Bahkan, dinilai tidak sah oleh sejumlah pakar.
Sebab dalam putusan itu kental akan dugaan konflik kepentingan antara Ketua MK Anwar Usman dengan keponakannya, yakni putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.
Putusan tersebut diduga memuluskan langkah Gibran maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024 mendatang.
Hingga saat ini MK telah menerima sebanyak 21 laporan terkait dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim.
Anwar Usman mendapat laporan terbanyak atas dugaan etik ini, yakni 15 laporan.
Putusan MK Digugat Kembali
Dikutip dari Kompas.com, saat ini, Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang diubah melalui Putusan 90 itu digugat lagi ke MK.
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama (NU) Indonesia, Brahma Aryana (23), mengajukan uji materiil atas pasal tersebut.
Gugatan Brahma sudah diregistrasi dengan nomor 141/PUU-XXI/2023 dan akan disidang besok, Rabu (8/11/2023).
Sebagai informasi, besok adalah hari terakhir pengusulan bakal capres-cawapres pengganti ke KPU RI.
Mereka berharap, MK bisa memutus perkara itu dalam waktu sehari karena perkara itu dianggap sudah sangat jelas lantaran sudah diperiksa MK melalui gugatan-gugatan sebelumnya.
Mereka juga meminta agar Ketua MK Anwar Usman, yang merupakan paman Gibran, tidak turut mengadili perkara itu.
(Tribunnews.com/Milani Resti/Ibriza Fasti/Fahmi Ramadhan) (Kompas.com/Xena Olivia)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.