Indikasi Bahaya yang Ancam Proses Pemilu Disebut Sudah Ada Sebelum Putusan Kontroversial MK
Ia mengungkapkan sejumlah pertanda yang dinilainya menggelisahkan jika dilihat dari perspektif demokrasi elektoral atau pemilu.
Penulis: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, MALANG - Titi Anggraini, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mengatakan, peringatan bahwa ada bahaya yang mengancam proses Pemilihan Umum (Pemilu) sudah ada sebelum Mahkamah Konstitusi memutuskan gugatan nomor 90, terkait batas minimal usia capres-cawapres.
Ia mengungkapkan sejumlah pertanda yang dinilainya menggelisahkan jika dilihat dari perspektif demokrasi elektoral atau pemilu.
"Dimulai ketika pembatalan secara elitis pembahasan RUU Pemilu oleh pemerintah, DPR, dan DPD dikeluarkan dari prioritas legislasi (pada tahun) 2021," ucap Titi Anggraini dalam Diskusi Publik “Qua Vadis Demokrasi dan Hukum Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi” yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Jumat (10/11/2023).
Menurutnya, indikasi kecurangan pemilu yang terjadi sampai sejauh ini memang sepertinya by design, mulai dari rekrutmen penyelenggara pemilu yang bersifat partisan sebagai penentu keterpilihan.
Padahal jika penyelenggara pemilunya partisan akan mempengaruhi kemurnian suara pemilih.
"Tantangan besar Reformasi sudah mulai terjadi, justru dilakukan oleh produk reformasi itu sendiri yaitu KPU yang seharusnya menjaga demokrasi tetapi malah melemahkan perjuangan demokrasi."
Berikutnya adalah yudisialisasi politik, yaitu tidak direvisinya undang-undang Pemilu. Selain itu ada tantangan yuristokrasi, dimana para politikus selalu menjawab “silahkan uji ke Mahkamah Konstitusi” atau “Pergi saja ke mahkamah Agung”.
"Jawaban-jawaban seperti itu menunjukkan adanya yuristokrasi. Sementara itu kita tahu lembaga yudisial sudah dipengaruhi oleh kekuasaan dan politisasi yudisial merupakan suatu hal yang nyata hari ini seperti putusan MK nomor 90 tahun 2023," katanya.
Ia mengingatkan, Pemilu merupakan mekanisme yang disediakan oleh demokrasi untuk menghukum atau mengevaluasi kepemimpinan politik secara gradual yakni satu kali dalam 5 tahun.
Untuk itu Pemilu harus bersifat representatif selain harus dilakukan secara jujur dan adil di dalam prosesnya tidak boleh Pemilu menjadi forum tirani mayoritas.
"Demokrasi kita mengalami keterancaman kemarin dengan isu presiden 3 periode atau penundaan Pemilu. Ini sebagai bentuk kemunduran demokrasi yang dilakukan secara legal. Belakangan ini bahkan menjadi lebih advance dengan menggunakan tangan-tangan Yudisial," pungkasnya.