Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pakar Hukum Sayangkan Beberapa Hakim MK Tak Jelaskan Alasan Gunakan Pendekatan Formalistik

Tiga hakim yang memposisikan diri dissenting opinion atau pendapat berbeda dinilai menggunakan pendekatan aktivisme yudisial.

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Pakar Hukum Sayangkan Beberapa Hakim MK Tak Jelaskan Alasan Gunakan Pendekatan Formalistik
Tangkapan Layar
Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar, dalam diskusi bertajuk Bedah Putusan Mahkamah Konstitusi: Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden yang digelar Pusat Kajian Konstitusi, Demokrasi dan HAM (Pandekha) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dikutip dari siaran YouTube Pandekha FH UGM, pada Rabu (24/4/2024). 

Laporan Wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar menyoroti perbedaan pandangan di antara hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan sengketa Pilpres 2024.

Zainal menilai, dalam putusan sengketa Pilpres 2024, terdapat hakim MK yang berpikir menggunakan pendekatan judicial activism atau aktivisme yudisial dan ada juga yang berpikir dengan pendekatan judicial restraint atau formalistik.

Dalam hal ini, tiga hakim yang memposisikan diri dissenting opinion atau pendapat berbeda dinilai menggunakan pendekatan aktivisme yudisial.

Sedangkan, sisa lima hakim menggunakan pendekatan formalistik.

Baca juga: Sikapi Keputusan MK, PGI Minta Prabowo Rangkul Semua Elemen Bangsa

"Saya tidak mengatakan formalistis buruk. Saya tidak mengatakan substantif lebih baik," kata Zainal, dalam diskusi bertajuk "Bedah Putusan Mahkamah Konstitusi: Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden" yang digelar Pusat Kajian Konstitusi, Demokrasi dan HAM (Pandekha) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dikutip dari siaran YouTube Pandekha FH UGM, pada Rabu (24/4/2024).

Terkait hal ini, Zainal mengatakan, tiga orang hakim yang dissenting opinion, yakni Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih telah menjelaskan alasan mereka dalam mendalami dalil-dalil para pemohon menggunakan pendekatan aktivisme.

Berita Rekomendasi

Berbeda dengan para hakim yang menggunakan pendekatan formalistik, kata Zainal, justru tidak menjelaskan alasannya lebih lanjut.

"Masuk ke dalam proses disentting, beberapa di antaranya itu kan menjelaskan kenapa dalam kasus ini saya harus melakukan pendekatan yang lebih activism. Sayangnya, sebaliknya kenapa dilakukan pendekatan yang bersifat formalistik itu tidak terjelaskan dalam hubungan ini," jelas Zainal.

Akademisi hukum itu kemudian memberikan contoh terkait perbedaan pandangan hakim-hakim MK dalam menafsirkan etika presiden terkait dugaan politisasi bantuan sosial (bansos) dan cawe-cawe presiden.

"Di putusan aslinya itu mengatakan bahwa ia (presiden) bukan berarti tidak ada pelanggaran. Sebenarnya ada pelanggaran prinsip moralitas yang dia salah katakan bahwa sayangnya prinsip moralitas ini belum terlembagakan, tidak ada alat ukurnya dan tidak terlembagakan dalam konsep aturan," kata Zainal.

Baca juga: Jagoannya Kalah di MK, Ganjarist Pastikan Tetap Berada Satu Barisan Bersama Ganjar

"Pertanyaan saya, bagaimana paradigma soal pemahaman etik dan kedua kenapa Anda memilih melakukan pendekatan formalistik yang itu berbeda dengan pendekatan dissenting, yang itu melakukan lompatan yang lebih progresif dalam melakukan penafsiran," tutur akademisi hukum UGM itu.

Sebelumnya, Hakim MK Saldi Isra mengajukan dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam putusan sengketa pilpres yang diajukan Pemohon I, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Dalam dissenting opinion-nya, Saldi menyoroti dua hal yang dilalilkan Pemohon I, di antaranya politisasi bantuan sosial (bansos) dan keterlibatan pejabat negara.

Saldi mengatakan, secara umum ia melihat adanya pengelolaan anggaran negara yang berdekatan dengan penyelenggaraan pemilu.

Selain itu, Pemohon I juga mendalilkan, penyaluran bansos beriringan dengan kunjungan kerja Presiden.

"Berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta tersebut, pembagian bansos atau nama lainnya untuk kepentingan elektoral menjadi tidak mungkin untuk dinafikan sama sekali. Oleh karena itu, saya mengemban kewajiban moral (moral obligation) untuk mengingatkan guna mengantisipasi dan mencegah terjadinya pengulangan atas keadaan serupa dalam setiap kontestasi pemilu," kata Saldi, dalam persidangan di gedung MK, Jakarta, Senin (22/4/2024).

Terlebih, kata Saldi, dalam waktu dekat, akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak secara nasional.

Ia menilai, penggunaan anggaran negara/daerah oleh petahana, pejabat negara, ataupun oleh kepala daerah demi memenangkan salah satu peserta pemilihan yang didukungnya dapat dimanfaatkan sebagai celah hukum dan dapat ditiru menjadi bagian dari strategi pemilihan.

"Dengan menyatakan dalil a quo terbukti, maka akan menjadi pesan jelas dan efek kejut (deterrent effect) kepada semua calon kontestan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah bulan November 2024 yang akan datang untuk tidak melakukan hal serupa. Dengan demikian, saya berkeyakinan bahwa dalil Pemohon terkait dengan politisasi bansos beralasan menurut hukum," ucapnya.

Kemudian, terkait dengan netralitas pejabat, Saldi meyakini, telah terjadi ketidaknetralan sebagian PJ Kepala Daerah termasuk perangkat daerah yang menyebabkan pemilu tidak berlangsung secara jujur dan adil.

"Semua ini bermuara pada terselenggaranya pemilu yang tidak beritegritas," jelas Saldi Isra.

Terkait alasan-alasan yang disampaikannya tersebut, Saldi menilai, dalil kubu Anies-Muhaimin terkait politisasi bansos dan netralitas pejabat, beralasan menurut hukum.

Ia memandang, Mahkamah seharusnya memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa daerah.

"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, dalil pemohon sepanjang berkenaan dengan politisasi bansos dan mobilisasi aparat atau aparatur negara atau penyelenggara negara adalah beralasan menurut hukum."

"Oleh karena itu, demi menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil, maka seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum di atas," ucap Saldi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas