Ekosistem Laut Pulau Labengki Konawe Utara Terancam Ikut Musnah
Ekosistem laut Taman Nasional Lasolo di Pulau Labengki Konawe Utara Sulawesi Tenggara dikhawatirkan ikut musnah akibat ekses penambangan ore nikel.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, KONAWE UTARA – Aktivis lingkungan Habid Nadjar mencemaskan punahnya ekosistem di Pulau Labengki, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Dampak penambangan ore nikel di wilayah itu yang berlangsung sangat masif dalam beberapa tahun terakhir, sangat merusak alam.
Pulau Labengki yang tak jauh dari Desa Boedingi, desa yang kini nyaris punah, terancam kehilangan eksistensinya.
Menurut Nadjar, kehidupan sumber daya alam laut Sulawesi Tenggara memiliki kekayaan yang menunjang kehidupan masyarakat setempat.
Namun perlahan, kekayaan itu tergerus beserta rusaknya ekosistem laut tempat para nelayan selama ini menggantungkan hidup dan harapan.
Habib Nadjar membayangkan masa kelam ketika perlahan kehidupan manusia di daerah itu tak lagi seindah dan semudah saat ini atau beberapa tahun lalu.
Baca juga: Terumbu Karang Desa Boedingi Konawe Utara Tertutup Lumpur Nikel Setebal Empat Meter
Baca juga: Warga Boedingi Konawe Utara Berhenti Melaut, Menganggur atau Jadi Buruh Pasir Ore Nikel
Baca juga: Murid-murid SD Boedingi Perangi Polusi Debu Nikel dan Deru Mesin Berat
Oksigen tak lagi diproduksi plankton di laut akibat habitatnya ikut punah. Laut menurut Nadjar merupakan penghasil 50 persen hingga 80 persen oksigen di bumi.
Jika laut tercemar, maka oksigen yang masuk ke dalam tubuh manusia juga ikut tercemar. Menyebabkan dampak gangguan kesehatan yang mengancam kehidupan manusia pula.
"Kalau ekosistem lautnya rusak, maka tidak akan ada lagi yang memproduksi oksigen. Bayangkan, jika itu terjadi maka kita semua akan habis," tuturnya.
Habib Nadjar menegaskan terjadinya kerusakan ekosistem laut di wilayah perairan Pulau Labengki, dan sejumlah kawasan wisata lainnya seperti Pulau Sombori, dan Pulau Bawulu tidak lain akibat aktivitas pertambangan yang tak terkontrol.
Sedimen tambang dibiarkan merembes ke lautan hingga perlahan mengenai rumah ekosistem laut atau terumbu karang sampai mati dan tak berkembang lagi.
"Kalau tidak salah secara regulasi para penambang ini punya kewajiban untuk menata wilayah tambang mereka agar sedimen itu tidak jatuh ke laut," jelasnya.
Terlebih saat musim hujan dan banjir melanda, sedimen tambang akan lebih mudah tumbah ke laut mengakibatkan kerusakan alam di laut.
"Nah, kelihatannya tambang tambang ini tidak melakukan upaya itu, jadi harusnya kan ditembok, supaya tidak berdampak pada ekosistem yang ada," tuturnya.
Sama dengan pelabuhan jetty ore nikel di Desa Baedingi, harusnya ditembok sehingga saat proses bongkar muat dapat diantasipasi agar material tak sampai jatuh ke laut.
"Tapi fakta di lapangannya kan tidak seperti itu dibiarkan begitu saja gitu kan?" keluh aktivis yang pernah jadi jurnalis di Makassar itu.
Lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dan stakeholder terkait, kata Habib Nadjar menjadi salah satu alasan aktivitas pertambangan bekerja serampangan.
“Berarti pengawasan yang tidak ada. Harusnya ada pengawasan wilayah kewenang dari dinas terkait kalau kita berbicara kebijakan," tuturnya.
"Ini kan tanggung jawab mereka (pemerintah) sebenarnya, keputusan ini (perizinan aktivitas pertambangan) kan semua berizin artinya ini atas nama negara harusnya pelaksana di lapangan eksekutor di lapangan untuk memonitor segala dampak itu," jelasnya.
“Makanya kenapa kita sangat khawatirkan, 10 tahun kedepan Labengki dan Sombori hilang. Dalam artian sebagai kawasan wisata. Apalagi andalannya kan alam, terumbu karang, dan ekosistem yang sehat,” kata Nadjar.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang sempat memperingatkan Pemerintah Daerah (Pemda) terkait aktivitas tambang nikel di Konawe Utara (Konut).
Sebab, aktivitas tambang nikel ini menurut KLHK menjadi ancaman nyata untuk kawasan Taman Wisata Alam Teluk Lasolo, khusunya Pulau Labengki.
Hal itu diungkap Kepala Subdirektorat Penguatan Fungsi dan Pembangunan Strategis Kawasan Konservasi, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), KLHK, Toni Anwar.
"Wilayah sini selain pengembangan wisata, ada juga tambang, ini saya kira perlu diperhatikan, jangan sampai ini terganggu," ujar Toni Anwar di Pulau Labengki, pada Sabtu (3/12/2022).
Untuk itu, Toni meminta pemerintah daerah melalui analisis dampak lingkungan yang sangat ketat. Sebab, dampak lingkungan akibat aktivitas penambangan akan berpengaruh terhadap alam itu sendiri.
"Seperti adanya sedimentasi di laut, menghilangkan spot-spot di sini. Sehingga perlu keseimbangan antara Pemda dan KSDAE untuk pengembangan wisata," katanya.
Meski saat ini, aktivitas tambang dan pengembangan pariwisata berjalan beriringan, tetapi belum memberi dampak berarti.
"Walaupun memang sudah sangat marak pembangunan untuk menyediakan mineral nikel, harapannya bisa diimbangi, mudah-mudahan tidak mengganggu kondisi alam," harap Anwar.
Dosen Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Kendari, Dwiprayogo Wibowo SSi MSi, pernah melakukan penelitian analisis kandungan logam nikel (Ni) dalam air laut dan persebarannya di wilayah perairan Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara pada 2019-2020.
Hasilnya, ada hubungan aktivitas kegiatan masyarakat terhadap tingginya kandungan logam Ni yang terakumulasi dalam air laut Teluk Kendari.
Berdasarkan baku mutu air laut untuk biota laut standar kandungan Ni dalam air laut sebesar 0,05 mg/L, sehingga pada T2, T3, T4, dan T5 dinyatakan telah melebihi ambang batas.
Tingginya konsentrasi logam Ni dalam lingkungan perairan Teluk Kendari disebabkan berbagai factor, mulai limbah rumah tangga, penggerusan batuan atau lapisan tanah dari aktivitas pembukaan lahan baru dan pertambangan di sekitaran Kota Kendari.
Menurut pria yang sedang menemupuh pendidikan Doktoral Ilmu Lingkungan, Sekolah Ilmu Lingkungan, di Universitas Indonesia, kondisi lingkungan yang sudah berubah ini salah satunya diakibatkan dari air hujan yang membawa sedimen dari hulu ke hilir.
Misalkan ada aktivitas (pertambangan) di atas gunung yang nantinya ketika kondisi hujan, sebagian air hujan mengalir di atas permukaan tanah dan membawa sejumlah partikel yang akan tertampung di sekitar bibir pantai.
“Tentunya itu yang bisa mengakibatkan apa yang disebut dengan pencemaran lingkungan. Sehingga kita mengambil lima titik lokasi sampel di area Teluk Kendari, mulai dari di dekat Masjid Al Alam, Pelabuhan Perikanan Samudera, Wisata Agribisnis Kendari, Kendari Beach, hingga Pelabuhan Nusantara,” tuturnya saat dihubungi TribunnewsSultra beberapa waktu lalu.
Setelah diuji laboratorium ternyata, berdasarkan standar Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, ada sebagian yang tinggi.
Ia juga menjelaskan dampak limpasan lumpur sedimentasi dari hasil penelitiannya pada 2019 di Teluk Kendari itu, sangat berpengaruh dengan kondisi laut yang ada. Khususnya di wilayah Masjid Al Alam. Ia juga memastikan, ekosistem ikan di wilayah tersebut sudah berkurang.
Dwiprayogo Wibowo menjelaskan kandungan nikel ini bisa berpotensi mencemari lingkungan karena mudah terionisasi dan mengendap bentuk sedimen.
Tak hanya nikel, namun berbagai ion-ion logam bisa larut di air laut. Pasalnya air laut bisa saja dalam kondisi asam atau basa.
Ia lantas mengambil contoh saat bekerja di area pertambangan Desa Marombo, Konawe Utara yang jaraknya 20,6 kilometer dari Boedingi.
Berdasarkan pengalamannya, saat hujan turun sedimentasi juga banyak turun ke laut karena aktivitas tambang yang ada di bukit.
Sebagai peneliti, ia mencurigai jika wilayah pesisir yang ada di Konawe Utara memiliki kandungan logam dari sedimentasi.
“Hanya saja secara fisik, identifikasi saya adalah jika ada aktivitas tambang boleh jadi (terjadi pencemaran). Kebolehjadian dapat membuat parah kondisi lingkungan atau berdampak minim pencemaran lingkungan,” tuturnya.
Saat melihat dokumentasi jurnalis Tribun Sultra Tribun Network terkait sedimentasi area terumbu karang di perairan Desa Boedingi, Dwiprayogo terkejut.
Gambar yang didokumentasi dari kedalaman 10 meter itu, terlihat kondisi terumbu karang Desa Boedingi diselimuti sedimentasi yang tingginya mencapai satu hingga dua meter.
“Wah kasihan ya karangnya tertutup sedimentasi. Secara fisik, terlihat karangnya tertutup oleh sedimen.. ini bisa mengakibatkan pertumbuhan terumbu karang terhambat karena tertutup oleh sedimen sehingga sedikit memperoleh cahaya matahari untuk melakukan fotosintesis,” jelasnya.
Ia juga mencoba melihat dokumentasi foto udara di Kawasan Desa Boedingi. Meski begitu, ia menyatakan perlu dilakukan penelitian mendalam di lapangan dan laboratorium.(Tribunnews.com/TribunSultra/Desi Triana)
ARTIKEL INI JUGA TAYANG DI ;
Baca Selanjutnya: Harta karun yang hilang di desa boedingi kampung suku bajo sulawesi tenggara sejak tahun