Kasus JIS Diduga Bergeser Menjadi Tuntutan Uang
Ada pihak lain yang diduga memiliki kepentingan lain dengan menunggangi kasus JIS tersebut.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presidium Aliansi Perempuan Indonesia menilai kasus Jakarta International School (JIS) diduga sudah bergeser dari isu sosial menjadi komersial. Semakin hari kasus ini bergeser dan lebih sarat dengan tuntutan uang ganti rugi.
"Ada pihak lain yang diduga memiliki kepentingan lain dengan menunggangi kasus JIS tersebut. Akibatnya, bukan saja anak didik yang kemudian dirugikan melainkan membuat celah untuk memanfaatkan peluang ini," ujar Ketua Presidium Aliansi Perempuan Indonesia, RA. Berar Fathia, dalam rilisnya di Jakarta, kemarin.
Disebutkan, dalam kasus ini ada yang menunggangi pihak korban dengan menaikkan gugatan yang awalnya 12 juta US dollar menjadi 125 juta US dollar. "Mestinya, jika benar ada korban dibantu dan bukan JIS jadi alat kepentingan pihak lain," kata Berar.
Dia menilai penyelesaian kasus ini semakin berlarut-larut. Sampai saat ini negara tidak berperan dalam mengupayakan pencarian kebenaran, siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab.
“JIS telah lama menyelenggarakan pendidikan dari tingkat TK hingga SMA dan selama ini tidak ada masalah. Namun ketika muncul kasus dugaan pelecehan seksual, pihak yang sangat berperan yakni negara, tidak melakukan tindakan yang bisa meredam persoalan," ujarnya.
Pengacara pihak JIS, Hotman Paris Hutapea sempat melayangkan surat khusus yang ditujukan kepada presiden terpilih Joko Widodo. Ia mengungkapkan keanehan penetapan status dua guru JIS.
Menurutnya sejak tiga bulan lalu, yang ditetapkan tersangka kasus pelecehan seksual terhadap siswa Taman Kanak-kanak di JIS adalah 6 petugas cleaning service. Hal itu sesuai keterangan ahli dan saksi serta hasil visum.
Namun setelah adanya penolakan pihak JIS atas permintaan ganti rugi sebesar US$ 13,5 juta oleh ibu korban akhir Mei 2014, secara tiba-tiba mereka membuat laporan susulan terhadap dua guru JIS. Hal ini diduga untuk memberikan tekanan kepada pihak JIS.
Terhadap dua guru JIS atas nama Ferdinant Tjiong dan Neil Bantleman itu sendiri telah disidik dan dilakukan penahanan oleh Unit II Subditrenakta Ditreskrimum. Hotman mengatakan penahanan terhadap dua kliennya oleh Polda Metro tidak ada alat bukti yang cukup.
"Pelapor bahkan mengirim pesan kepada JIS, bahwa mereka siap mencabut gugatan itu asal uang damai sebesar US$ 13,5 juta itu dikabulkan," tulis Hotma dalam suratnya kepada Jokowi.
Bahkan belakangan uang damai itu meningkat menjadi US$ 125 Juta. Sehingga Hotman menduga ada kaitan antara penetapan status tersangka dengan upaya memuluskan ganti rugi yang sangat besar.
Hotman juga mengungkap sejumlah kejanggalan penyidikan yang dilakukan polisi. Diantaranya tidak pernah ditunjukkan atau dipertanyakan dalam pemeriksaan soal barang bukti tindak pidananya.
Penyidik juga menolak memberikan kopi Berita Acara Pemeriksaan dan menolak untuk memeriksa sejumlah saksi penting, seperti dokter yang melakukan visum terhadap dua orang guru JIS maupun korban.
Penyidik menurut Hotma juga menolak untuk memeriksa sejumlah saksi karyawan JIS yang duduk dekat dari tempat para guru itu melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap muridnya.
Untuk itu dalam rilisnya Hotman mendesak Kejakaan Agung untuk memeriksa saksi-saksi tersebut dan meminta polisi mengungkap barang bukti tindak pidana yang dilakukan oleh dua guru tersebut.