Duh, Tiga Kambing dan Satu Sapi Kurban Ada Cacingnya
Enny mengungkapkan bahwa daging hewan kurban yang organ dalamnya dihinggapi parasit masih bisa dikonsumsi.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Prosesi penyembelihan hewan kurban di lapangan Masjid Agung Al Azhar, Jakarta, Sabtu (4/10/2014), didampingi oleh petugas kesehatan dari Sub Dinas Peternakan Walikota Jakarta Selatan.
Petugas pemeriksa kesehatan hewan kurban yang bertugas di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, adalah Dokter Hewan Luh Putu Enny.
Dokter berpakaian dinas warna khaki itu nampak mengenakan sarung tangan dan dengan seksama, ia nampak memeriksa organ dalam dari hewan kurban yang telah disembelih.
Ia terlihat menyayat-nyayat oran dalam hewan kurban seperti paru-paru, hati, dan jantung sapi maupun kerbau.
Setelah dilakukan pemeriksaan, rupanya ada sebanyak 3 ekor kambing dan satu ekor sapi yang organ dalamnya dihinggapi cacing pipih. Cacing ini menumpang hidup di dalam organ hewan.
"Nah ini terlihat, cacing parasitnya, memang secara kasat mata si hewan tidak kelihatan sakit, kita baru bisa lihat dia dihinggapi cacing setelah dilihat organ dalamnya," kata Enny.
Meski begitu, bila si hewan sakit, maka ada tanda-tandanya, misalnya si sapi atau kambing nafsu makannya berkurang atau semakin kurus.
Enny mengatakan, cara pengobatannya adalah dengan memberikan obat cacing pada si hewan. Tujuannya adalah mencegah hewan-hewan ternak itu dari penyakit yang disebabkan oleh hinggapnya cacing parasit.
Meski begitu, Enny mengungkapkan bahwa daging hewan kurban yang organ dalamnya dihinggapi parasit masih bisa dikonsumsi.
"Dagingnya sih boleh, tetapi kalau bagian yang terserang si cacing tidak boleh dikonsumsi. Karena habitatnya hanya di dalam hati, sehingga daging masih bisa dikonsumsi," jelasnya.
Menyoal kebersihan tempat penyembelihan hewan kurban, Enny mengatakan, sudah cukup baik dan bersih.
Namun, alangkah lebih bersih jika alas penyincangan daging hewan diperbesar dan diberi alas yang cukup banyak sehingga tak membuat dagingnya kotor, imbuhnya. (Agustin Setyo Wardhani)