Pembunuhan 'Tataa Chubby' Mirip dengan Kisah Fientje de Feniks
Fientje de Feniks (19) dan Deudeuh Alfi Syahrin alias Empi alias Tata Chubby (26), dua PSK yang hidup di periode berbeda
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Fientje de Feniks (19) dan Deudeuh Alfi Syahrin alias Empi alias Tataa Chubby (26), dua pekerja seks yang hidup di periode berbeda, tapi nasib mereka sama.
Tewas di tangan tamunya dengan cara dicekik dan sama-sama jadi penanda bahwa urusan prostitusi tak pernah selesai baik di masa Batavia, maupun Jakarta masa modern.
Fientje de Feniks (19), pelacur cantik berwajah campuran Portugis, ditemukan tewas di Kalibaru, Batavia (kini kawasan Senen, Jakarta Pusat) pada 17 Mei 1912 atau 103 tahun sebelum Deudeuh Alfi Sharin alias Empi alias Tataa Chubby (26) ditemukan tewas di kamar kosnya di Jalan Tebet 1 nomor 15 C, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan pada Sabtu (11/4/2015).
Dari berbagai sumber, disebutkan Fientje tewas dengan cara dicekik oleh Gemster Brinkman di rumah pelacuran milik Umar di kawasan yang kini disebut Palmerah.
Brinkman cemburu lantaran sudah mau menjadikan Fientje gundiknya, namun Fientje masih juga melayani laki-laki lain.
Makanya, Brinkman cemburu dan meminta Silun membunuh Fientje.
Sementara Tata Chubby tewas di tangan pelanggannya yang kalap, Muhamad Prio Santoso (24).
Prio kesal lantaran Tata asal-asalan melayaninya.
Bahkan, Tata menyebut tubuh Prio bau sambil berhubungan badan, sampai dia kesal dan mencekiknya hingga tewas.
Pengungkap kasus Fientje adalah Kadapol Kolonial Belanda untuk Kodak Batavia, Komisaris Kepala Toen Ruempol.
Dia mengungkap itu setelah menemukan saksi bernama Raonah.
Sedangkan pengungkap kasus Tata adalah Kanit 1 Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Komisaris Buddy Towoliu, yang mengungkap setelah melakukan pelacakan lewat teknologi informasi.
Aturan Ketat
Di era Fientje, aturan pekerja seks di Batavia ketat. Pekerja seks hanya boleh melayani tamunya di rumah bordir dan setiap pekerja seks memiliki kartu.
Aturan ini mulai terbentuk sejak tahun 1852, setelah pemerintah Kolonial mengeluarkan Reglement tot wering van de schadelijke gevolgen, welke uit de prostitutie voortvloejen (Aturan untuk melawan dampak buruk prostitusi), tahun 1852, yang membuat pekerja seks begitu terkontrol.
Sementara Tata Chubby, yang hidup di Jakarta tahun 2015 ini justru berada di era prostitusi begitu bebas dan tak terkontrol.
Tata menjajakan diri sendiri lewat Twitter dan memakai kamar kos sebagai tempat prostitusi.
Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati mengatakan, usia prostitusi sudah amat tua dan masalah utamanya adalah kehidupan sosial yang timpang. Makanya selama masih ada ketimpangan sosial, prostitusi tetap ada.
Makanya, tak heran sejak kematian Fietnje de Fenik 103 tahun lalu, prostitusi tetap tak bisa dihilangkan. Sebab, kata Devie, ketimpangan sosial di Jakarta masih ada sampai sekarang.
"Saya yakin, penyebab utama prostitusi adalah kesenjangan sosial sebab tak ada seorang pun wanita yang ingin menjadi pekerja seks apabila punya pekerjaan yang lebih baik," ucap Devie kepada Warta Kota, ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (24/4/2015).
Namun, celakanya, di Jakarta kini sudah bukan ketimpangan masalahnya, tapi budaya konsumtif jadi masalah baru.
Makanya, kata Devie, banyak pekerja seks part time di mana mereka bekerja seks bukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tapi untuk memenuhi kebutuhan konsumtif lainnya. "Pekerja seks part time ini sudah punya pekerjaan, tapi pekerja seks jadi sampingannya untuk memenuhi kebutuhan lain," ucapnya.
Devie mengatakan, ada beberapa langkah untuk menghambat prostitusi sambil terus memperbaiki ketimpangan sosial dan budaya hidup konsumtif yang memburuk di Jakarta.
Pertama membuat aturan main yang jelas soal prostitusi.
Menurut Devie, para pengguna jasa prostitusi juga harus diberi sanksi. Kebijakan itu sudah dilakukan di Swedia dan efektif mengecilkan keran prostitusi," katanya.
Kemudian, kedua, membuat kembali lokalisasi seperti keinginan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Sehingga bisa dilakukan intervensi sosial disana. Apabila ada lokalisasi, maka prostitusi di luarr lokasi mesti dibantai habis. (Theo Yonathan Simon Laturiuw)