Pengamat: Jokowi Pahami Urgensi Reklamasi Jakarta
Untuk itulah reklamasi ini perlu dilakukan dengan harapan wilayah daratan Jakarta akan menjadi luas melalui rekayasa ruang tersebut.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Praktisi tanggul laut dan pengendalian banjir, Sawarendro menilai bahwa Presiden Joko Widodo memahami urgensinya reklamasi pantai utara Jakarta. Ide reklamasi ini berangkat dari permasalahan yang dihadapi oleh DKI Jakarta yang kekurangan wilayah daratan, sementara populasi penduduk terus meningkat.
Untuk itulah reklamasi ini perlu dilakukan dengan harapan wilayah daratan Jakarta akan menjadi luas melalui rekayasa ruang tersebut.
“Reklamasi adalah salah satu solusi dalam mengatasi masalah kurangnya lahan yang kita miliki. Disamping itu, jumlah penduduk yang terus bertambah pun sudah menjadi masalah yang harus kita pikirkan jalan keluarnya. Untuk itulah kita pelu melakukan reklamasi dengan harapan melalui reklamasi ini luas daratan di Jakarta akan bertambah untuk menampung pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat,” kata Sawarendro.
Menurutnya, wacana moratorium atau pembekuan izin reklamasi pantai utara Jakarta yang dikatakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pujiastuti, dinilai kurang tepat , pasalnya bukan kapasitas Menteri Susi untuk melakukan pembekuan izin reklamasi.
"Wilayah yang akan direklamasi masuk dalam teritorial DKI Jakarta dan kebijakannya ada pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta," kata Sawarendro.
Sawarendro menghawatirkan reaksi Susi dalam menyikapi reklamasi bisa membuat semakin panas pertentangan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Menurutnya, jika Susi dibenturkan dengan Ahok, sepertinya kurang cukup baik. "Mereka berdua sama-sama memiliki temperamen yang cukup tinggi, sama-sama keras, dan sedikit unik jika dibandingkan dengan para pejabat lainnya," ujar Sawarendro.
Menurut Sawarendro, akan lebih baik lagi bila Presiden Jokowi juga ikut andil dalam menyelesaikan polemik terkait reklamasi ini. “Toh saat menjadi Gubernur DKI, Jokowi juga sangat memahami urgensi pembangunan reklamasi untuk kepentingan pembangunan DKI Jakarta,” ungkap Sawarendro.
Sawarendro juga menilai pengoptimalan pulau-pulau yang ada di Kepulauan Seribu tidaklah strategis untuk pengembangan pembangunan DKI Jakarta. Menurutnya, pengoptimalan itu tidak terlalu efektif untuk dijadikan tempat tinggal jika penghuninya bekerja di Jakarta.
Selain itu, tambah Swarendro, pulau-pulau yang ada di Kepulauan Seribu juga tidak terlalu luas. Sementara jika dilakukan reklamasi 17 pulau, akan menghasilkan 5.000 ha tanah daratan yang baru.
"Pulau-pulau yang ada di Kepulauan Seribu hanya cocok untuk dijadikan pengembangan tempat wisata," jelas Sawarendro.
Dampak Reklamasi Jakarta
Menanggapi adanya kekuatiran berbagai pihak tentang dampak reklamasi terhadap berbagai hal terkait lingkungan hidup dan lingkungan sekitar, pakar Tata Kota dari ITB, Hesti D. Nawangsidi, mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melalui berbagai kajian, telah mengantisipasi dan menyiapkan strategi untuk mengatasi hal tersebut. "Pemerintah DKI memahami ada banyak hal yang harus dipertimbangkan dan dicarikan solusinya dalam proses reklamasi pantai utara Jakarta," jelas Hesti.
Karena mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, ungkap Hesti, maka salah satu hasil pengkajian yang tertuang dalam re-planing 2012 itu, contohnya, menghasilkan desain bentuk-bentuk pulau yang seperti sekarang ini. "Yang bentuknya terpisah dan ada kanal dalam jarak tertentu, itu karena memperhatikan pipa dan kabel bawah laut," jelas Hesti memberikan contoh.
Melalui studi AMDAL dan kajian teknis lainnya, tambah Hesti, pemerintah Provinsi juga mencari solusi supaya reklamasi tidak mengganggu lingkungan hidup. "Itu semua dituliskan dalam izin prinsip dari Gubernur. Apa yang harus diperhatikan untuk pembangunan setiap pulau itu bisa berbeda-beda sesuai kondisinya. Jadi DKI sangat memperhatikan hal itu," jelas Hesti.
Hesti menyebutkan contoh mengenai hutan lindung mangrove di bagian selatan, di sekitar Angke, yang dikuatirkan nantinya akan mengalami kerusakan. "Tempat seperti ini tidak mungkin dirusak. Karena penting dan dilindungi undang-undang," ujar Hesti.
Mangrove, jelas Hesti, merupakan habitat untuk burung-burung air. Itu telah diratifikasi melalui konvensi. "Burung air datang dari Australia, terbang ke daerah sekitar Bali, lalu menuju Cirebon, dan mampir ke hutan mangrove Jakarta. Setelah itu burung-burung ini terbang ke arah pulau rambut, lalu terbang lagi memutari Asia. Seperti itulah pergerakannya. Karena burung ini dilindungi oleh undang-undang, maka habitat mangrove harus tetap ada sebagai tempat hinggap mereka. Dan nyatanya, hingga saat ini burung-burung air itu masih ada dan hal itu juga akan selalu dimonitor," jelas Hesti.
Menurut Hesti, Pemerintah DKI sangat paham jika dampak reklamasi itu mengena pada banyak aspek, secara teknis dan fisik, yang terkait dengan hidroceanografi, hidrodinamika dan juga secara sosial ekonomi. "Karena di sana ada pusat kegiatan masyarakat perikanan. Di sana ada suaka margasatwa angke, kemudian di bagian barat ada bagian-bagian yang masih memiliki budidaya mangrove," jelas Hesti.
Karena itu, tambah Hesti, dengan memperhitungkan semua aspek yang dikuatirkan akan terkena dampak jika dilakukan reklamasi, Pemerintah DKI menyiapkan prosedur yang sangat ketat dan bertahap kepada pengembang yang melakukan reklamasi. Menurut Hesti, dengan perizinan-perizinan terkait, banyak hal yang bisa ditertibkan secara prosedural.
"Saya kira DKI bisa menjadi contoh untuk itu. Ada izin prinsip, izin membangun prasarana, kemudian ada studi-studi tematik seperti studi hidroceanografi, hidrodinamika dan studi perubahan iklim semua harus dilakukan dan kemudian baru izin reklamasi," tambah Hesti.
Hal-hal yang dikuatirkan banyak pihak, jelas Hesti, kemungkinan besar tidak akan terjadi, karena perkembangan proyek reklamasi selalu dimonitor setiap tiga bulan sekali. "Saya juga selalu ikut dalam proses monitoring, sehingga bisa menjadi saksi untuk hal itu. Kekuatiran tentang perubahan air laut yang menjadi keruh nantinya kalau reklamasi telah dibangun, misalnya, tidak akan terjadi karena saat monitoring juga dilakukan pengukuran tingkat kekeruhan air laut," ungkap Hesti.
Hasil studi juga memperlihatkan bahwa hasil pelaksanaan reklamasi tidak akan menyebabkan kenaikan muka air yang bisa menyebabkan banjir. Dari hasil studi, tambah Hesti, disimpulkan bahwa laut itu dinamis, mengalami pasang surut dan sebagainya. "Berdasarkan studi konsultan dari Belanda, kekuatiran akan kenaikan muka laut yang akan memperburuk genangan di Jakarta itu tidak akan terjadi," ucap Hesti. ***