Proses Hukum Harus Memiliki Parameter yang Jelas
Empat saksi ahli yang dihadirkan kuasa hukum mantan Dirut Pelindo II RJ Lino dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jaksel, Rabu (20/1)
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Empat saksi ahli yang dihadirkan kuasa hukum mantan Dirut Pelindo II RJ Lino dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jaksel, Rabu (20/1) lalu, menegaskan proses hukum sejak awal harus memiliki parameter yang jelas, seperti menghadirkan alat bukti.
“Penetapan tersangka sah untuk dilakukan, namun harus memiliki parameter yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal itulah kemudian hukum pidana Indonesia diatur dalam praperadilan yang dimaksudkan untuk menghormati hak dari pihak yang ditersangkakan,” ungkap Eva Acjani
Zulfa.
Pengamat Hukum Pidana dari ini menambahkan hukum pidana Indonesia yang diatur oleh KUHAP menyatakan proses hukum sejak awal harus jelas dan dapat dipertanggung jawabkan untuk menghormati hak dari pihak yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
Kuasa Hukum RJ Lino, Maqdir Ismail, menambahkan dasar penetapan tersangka kepada kliennya oleh KPK tidak melalui proses hukum yang jelas.
RJ Lino mengajukan gugatan praperadilan karena menilai tidak ada perbuatan menyalahgunakan kewenangan yang dia lakukan dan belum ada kerugian negara yang dapat dibuktikan oleh KPK.
“Undang-Undang tentang kerugian negara ini harus jelas, nyata dan pasti. Tidak bisa hanya berdasarkan potensi. Potensi itu bisa ya bisa tidak. Jadi seharusnya yang diikuti KPK untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan korupsi harus nyata dan pasti sesuai dengan UU Keuangan Negara dan sudah dilakukan tahapan hukum yang jelas sebelum mempersangkakan seseorang," jelasnya.
Argumentasi Eva didukung pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis yang menyatakan sidang praperdilan memiliki hak untuk menghadirkan alat bukti asli yang menjadi dasar penetapan seseorang sebagai tersangka.
Margarito juga menegaskan penetapan status tersangka tanpa melalui proses penyidikan lebih dulu untuk mengumpulkan bukti adalah sebuah
kesalahan dan kekeliruan. Seharusnya ada bukti yang diperoleh pada tahap penyelidikan digunakan untuk dinaikkan kepada status penyidikan
untuk mencari bukti baru hingga kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
“Tidak bisa pada proses penyidikan sudah ditetapkan sebagai tersangka, harus naik dulu ke tahap penyelidikan terlebih dahulu. Ada bukti baru,
baru pada tahap penyelidikan ditetapkan status tersangka,” jelasnya.
Sementara itu, saksi ahli DR Dian Simatupang yang merupakan pakar Keuangan Negara FHUI menyatakan yang disebut kerugian negara harus dapat dibuktikan dan sudah terjadi.
“Selain itu ada proses administrasi yang mengatur hal ini yaitu pengembalian uang negara tersebut. Tidak serta merta masuk ranah pidana,” katanya.
Dia menegaskan, kerugian negara yang dimaksud tentu saja juga harus jelas apakah benar hal tersebut benar-benar merupakan negara ataukah
menggunakan dana korporasi.
“Untuk itu dibutuhkan penghitungan yang dilakukan oleh lembaga yang berhak yaitu Badan Pemeriksan Keuangan," tuturnya.
Ditempat terpisah, ahli Hukum Korporasi DR Ibrahim menegaskan ketika ada suatu keadaan yang dibutuhkan oleh pemegang kekuasaan tertentu, tetapi hukum tidak memberikan jalan keluar, maka disitulah diskresi dibutuhkan.
"Sepanjang diskresi itu proporsional dan tidak ada kepentingan pribadi di dalamnya dan tidak ada niat untuk memperkaya diri, orang lain dan
sebuah korporasi maka diskresi itu sah dilakukan," ujar mantan Komisioner Komisi Yudisial tersebut.