Psikolog Forensik: Tidak Ada Bukti Kekerasan Seksual Pada Kasus JIS
Reza telah mencermati berkas-berkas persidangan kasus JIS untuk mengetahui pembuktian adanya kekerasan seksual tersebut.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembuktian dalam persidangan untuk kasus tuduhan pelecehan seksual terhadap tiga mantan murid TK di Jakarta Intercultural Shcool (JIS) secara psikologi forensik tidak terdapat gejala kekerasan seksual. Sebab bukti yang terungkap dalam persidangan bukan bukti kekerasan seksual.
Pendapat tersebut disampaikan ahli Psikologi Forensik dari Universitas Indonesia, Reza Indragiri Amriel. Reza telah mencermati berkas-berkas persidangan kasus JIS untuk mengetahui pembuktian adanya kekerasan seksual tersebut.
"Saya melihat berkas-berkas persidangan, dan pada berkas-berkas yang saya lihat tersebut menurut saya tidak ada bukti kekerasan seksual," kata Reza, Jumat (11/3/2016) di Jakarta.
Kasus tuduhan pelecehan seksual di JIS telah menjerat enam petugas kebersihan yang bekerja di JIS. Mereka adalah Virgiawan Amin, Agun Iskandar, Zainal Abidin, Syahrial, (Alm.) Azwar, dan Afrischa Setyani, yang dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap MAK. Selain itu, tuduhan tersebut juga dialami dua guru JIS yaitu Neil Bantleman dan Ferdinand Tjiong dengan korban MAK, DA dan AL. Menurut orang tua pelapor, pelecehan tersebut terjadi sejak Desember 2013 hingga Maret 2014.
Korban kekerasan seksual, lanjut Reza, memiliki ciri-ciri tertentu. Tetapi karena ciri-ciri tersebut juga bisa muncul pada kekerasan non-seksual, maka perlu dipastikan apakah disebabkan oleh kekerasan seksual atau kekerasan jenis lain. "Nah, untuk mengetahui ada tidaknya dan tipe kekerasan yang (mgkn) dialami si anak, maka dilakukan pemeriksaan oleh kedokteran forensik. Pada berkas-berkas yang saya lihat, menurut saya tidak ada bukti kekerasan seksual," tegasnya.
Dengan demikian, ciri atau gejala yang semula diyakini sebagai efek kekerasan seksual bukanlah ciri atau gejala yang spesifik. "Dari situ, saya terus terang tidak sependapat dengan vonis MA. Walaupun demikian, saya menghormati putusan hakim. Tinggal langkah PK (Peninjauan Kembali), bukti-bukti tambahan semoga lebih mengungkap kejadian yang sesungguhnya," jelasnya.
Sementara saat menanggapi putusan MA, kuasa hukum dua guru JIS Patra M Zen mengungkapkan sekitar bulan Oktober 2015, MAK dinyatakan tidak pernah terkena penyakit seksual menular dari sebuah klinik di Belgia. Saat ini pihaknya sedang berusaha meminta rekam medis tersebut ke Belgia karena akan dijadikan bukti baru atau novum untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).
"Informasi ini didaparkan dari jurnalis Kanada yang melakukan investigasi dan menemukan bukti bulan Oktober kalau tidak salah tahun 2015. Si anak diperiksa lagi di sana, hasilnya negatif dan ini sedang kita upayakan untuk mendapatkannya untuk bukti di PK," kata Patra kepada media, Jumat (26/2).
Pada 24 Februari 2016 lalu, MA memutuskan menganulir putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang sebelumnya memutus bebas Neil dan Ferdi dengan pelapor orang tua dari MAK, DA, dan AL. Menurut Majelis hakim MA yang dipimpin Artidjo Alkostar, ada penerapan hukum keliru dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta bahkan menambah hukuman menjadi 11 tahun kurungan.
Padahal Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sudah menilai pertimbangan majelis hakim PN Jaksel tidak tepat karena berdasarkan keterangan korban yang masih di bawah umur dan keterangan saksi ahli. Selain itu, terdapat sejumlah kejanggalan dalam perkara JIS. Salah satunya menyangkut hasil visum yang dijadikan salah satu dasar dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pun menganulir vonis 10 tahun Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sejak awal, kasus JIS sangat janggal dan cenderung dipaksakan karena opini publik begitu besar terhadap tuduhan pelecehan seksual di lingkungan sekolah. Salah satu kejanggalannya, Azwar meninggal dunia saat masih dalam proses penyidikan Polda Metro Jaya, dengan wajah ditemukan penuh lebam dan bibir pecah. Para penyidik memaksakan pengakuan dari Virgiawan Amin, Agun Iskandar, Zainal Abidin, Syahrial dan (Alm.) Azwar selama dalam masa tahanan dengan tindak kekerasan. Untuk kasus tuduhan terhadap dua guru JIS, Neil Bantleman dan Ferdinand Tjiong juga penuh kejanggalan karena keduanya merupakan guru SD dan tidak pernah bertemu dengan ketiga anak yang mengaku korban tersebut.