Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pihak Rumah Sakit Beberkan Kronologi Pembelian Lahan Sumber Waras

Kami pada dasarnya tidak pernah menawarkan lahan RS Sumber Waras kepada Pemprov DKI

Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Pihak Rumah Sakit Beberkan Kronologi Pembelian Lahan Sumber Waras
WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN
Direktur Utama RS Sumber Waras Abraham Tedjanegara dalam jumpa pers menanggapi polemik jual beli lahan di RS Sumber Waras, Jalan Kyai Tapa, Jakarta Barat, Sabtu(16/4/2016). Tanah seluas 36410 meter persegi yang dibeli pemprov DKI Jakarta dari Yayasan Sumber Waras ini sudah di tanggani KPK. WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gonjang-ganjing yang semakin memanas membuat pihak Rumah Sakit Sumber Waras memberikan penjelasan terkait proses pembelian lahan rumah sakit yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta.

Direktur Utama RS Sumber Waras, Abraham Tedjanegara, mengatakan, proses jual beli mulai dilakukan pada pertengahan Mei 2014.

Ketika itu, pihak RS Sumber Waras mengetahui bahwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diberitakan telah membeli lahan RS Sumber Waras senilai Rp 1,7 triliun.

"Pada pertengahan Mei 2014, kami melihat running text bahwa Ahok (sapaan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama) telah membeli RS Sumber Waras senilai Rp 1,7 triliun," ujar Abraham di RS Sumber Waras, Tomang, Jakarta Barat, Sabtu (16/4/2016).

Padahal, menurut Abraham, pihak RS Sumber Waras ketika itu tidak pernah menawarkan lahan mereka atau pun berhubungan dengan Pemprov DKI.

"Kami pada dasarnya tidak pernah menawarkan lahan RS Sumber Waras kepada Pemprov DKI," kata Abraham.

Sebab, sejak November 2013, RS Sumber Waras tengah melakukan pengikatan jual beli dengan PT Ciputra Karya Utama (CKU).

Berita Rekomendasi

Dalam perjanjian jual beli, kata dia, PT CKU akan menjadikan lahan tersebut sebagai wisma susun.

Namun, karena dalam waktu yang ditentukan PT CKU tidak dapat memenuhi perjanjian tersebut, maka proses jual beli pun dibatalkan.

Selain itu, proses jual beli pun dibatalkan karena Pemprov DKI tidak mengizinkan pembangunan wisma susun tersebut.

Hal itu disampaikan Ahok saat bertemu dengan pihak RS Sumber Waras yang hendak mengonfirmasi pemberitaan pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI.

"Pada waktu pertemuan tersebut (dengan Ahok), Pak Ahok mengatakan bahwa pada dasarnya dan tidak mungkin perizinan itu diubah karena sampai saat ini DKI masih kekurangan rumah sakit," tutur Abraham.

Menurut Abraham, pihak rumah sakit hendak menjual sebagian lahannya untuk melakukan peremajaan.

Pada saat itulah Ahok menawarkan agar RS Sumber Waras menjualnya kepada Pemprov DKI.

"Di situlah Pak Ahok bilang, 'Kenapa lahan tersebut enggak dijual saja ke pemprov DKI tetapi dengan satu syarat dijual dengan harga NJOP?'," kata Abraham.

Akhirnya, tanah yang hendak dijual kepada PT CKU itulah yang dijual RS Sumber Waras kepada Pemprov DKI.

Mulanya, selain pembelian dengan harga NJOP, pihak RS Sumber Waras pun meminta harga beli bangunan senilai Rp 25 miliar.

Namun, Pemprov DKI tidak menyetujuinya.

"Pada 17 Desember 2014 terjadi penandatanganan akta pelepasan hak dari RS Sumber Waras ke Pemprov DKI. Di dalam akta tersebut, harga tanah sesuai NJOP yang menganut pada PBB tahun 2014, yaitu Rp 20.755.000. Kedua, bangunan senilai Rp 25 miliar," ujar Abraham.

Setelah bernegosiasi, pihak RS Sumber Waras pun mengabulkan permintaan Pemprov DKI dengan membatalkan harga pembelian bangunan.

Pemprov DKI pun membeli lahan seluas 36.410 meter persegi itu pada akhir 2014.

"Jumlah tepatnya Rp 755.689.550.000, kita terima di rekening kita yang di Bank DKI, ditransfer," kata Abraham.

Lahan yang dijual kepada Pemprov DKI ini merupakan lahan sayap kiri yang dimiliki RS Sumber Waras.

Sementara itu, bagian sayap kanan RS Sumber Waras memilik sekitar 3,3 hektare.

Dalam sertifikat hak guna bangunan, lahan tersebut atas nama Yayasan Kesehatan Sumber Waras.

Menurut Abraham, total lahan seluas 69.888 yang terdiri dari dua bidang tanah itu hanya memiliki satu lembar PBB.

Abraham mengaku tidak mengerti perihal tersebut karena pemerintah yang mengatur itu.

"Itu yang mengatur dari pemerintah dan kita tidak tahu kenapa jadi satu, itu sudah berjalan sejak 1970, tidak pernah berubah," kata dia.(Nursita Sari)

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas